Pak Rio tahu betul jika Darren bisa saja akan menjadi pengacau di pertandingan nanti. Sehingga kini ia hanya menjawabnya dengan sebuah gelengan pelan juga senyuman tipis. Sebelum ia berlalu begitu saja meninggalkan seorang Darren yang masih dikuasai emosi saat ini.
“Tapi Pak... Pak... saya mohon, Bapak jangan berat sebelah begini dong, Pak...” Darren masih saja terus berusaha memanggil-manggila Pak Rio namun pelatihnya itu lebih memilih untuk tak lagi mengindahkannya. Hingga kini emosinya itu semakin meningkat dan dengan keras ia tendang bola basket yang berada tepat di hadapannya.
Aaaaaaaaaaaaaaargh!!!
Darren berteriak frustrasi penuh emosi. “Oh s**t! Kenapa selalu dia dan dia lagi yang diunggul-unggulkan! Keterlaluan! Ini bener-bener keterlaluan! Gak akan gue biarkan lo bisa bermain dengan tenang dan bawa sekolah kita menang! Karena besok gue akan bikin lo nyesel udah buat gue direndahkan!” umpat Barra dengan sebuah rencana buruk yang sudah memenuhi isi otaknya.
Jam pelajaran baru saja usai. Setelah saling berbincang dengan para timnya untuk strategi turnamen sebagian dari mereka segera kembali pulang, namun Bayu dan Bima kini menghampiri Barra seraya merangkul bahunya. Yang hal ini membuat Barra cukup merasa aneh dengan sikap mereka.
“Mau pada ngapain nih? Gue mau langsung cabut ada urusan,” ucap Barra dengan tatapan penuh selidik kearah keduanya. Yang karenanya keduanya pun tersenyum penuh arti padanya.
“Kan lo baru aja berhasil ngalahin si loser itu. Bisa kaleee lo telaktir kita di kafe biasa,“ jawab Bima.
“Yoi, Bar. Sekalian kita ngegame disana. Ayo lah, daripada balik, ini kan baru jam empat,” imbuh Bayu. Yang bagi Barra memang ajakan mereka itu tak ada salahnya. Ketimbang ia kembali pulang dan bertemu sang Papa. Maka kini ia menjawabnya dengan anggukan setuju.
“Aseeeeek... kuy lah...” ajak Bima yang kini tanpa berlama-lama lagi mereka segera menuju kafe.
Setibanya disana tentunya mereka segera memesan beberapa cangkir kopi juga camilan. Mereka habiskan waktu mereka dengan bersenang-senang untuk melepas setiap rasa penat juga melupakan sejenak kepelikan dalam hidupnya. Besama mereka Barra bisa tertawa lepas dan menemukan sebuah kenyamanan serta kebahagiaan. Karena memang mereka adalah teman yang saling mendukung juga tulus satu sama lain. Bayu adalah putra orang terpandang di Jakarta. Sedangkan Bima putra dari keluarga yang biasa saja. Namun karena kecerdasannya ia mendapatkan beasiswa disana. maka merekalah salah satu yang dijadikannya sebagai alasan untuk tetap bertahan hingga lulus sekolah. Selain hobi bermain basketnya.
Kini mereka saling bersulang satu sama lain karena berhasil memenangkan permainan. Kembali terbahak dan menyesap kopi mereka secara bersamaan. Yang bagi Barra, hal ini adalah sebuah hal sederhana yang membuatnya masih bisa menikmati hidupnya.
“Emang keren lo, Bar. Kalau gak lo abisini udah hampir abis tuh tadi gue,” ucap Bayu seraya ia garuk kepalanya yang tak gatal.
“Huuuuu... makanya, Bay, jangan noob dong! Malu-maluin Triple B aja lo...” celetuk Bima dengan pongahnya. Seraya ia dorong tubuh Bayu. Triple B adalah nama julukan mereka bertiga yang diawali dengan huuf B diawal nama mereka.
“Yeee lo juga mainnya gak cakep-cakep amat... tetep lah si Barra yang ngover kita!” bantah Bayu yang balik mendorong Bima.
“Aduuuuh... udah deh lo pada sesama noob gak usah pada ribut! Mending lo pesen lagi sana. Kita lanjut main, biar gue yang bayar,” ajak Barra lagi dengan bersemangat.
“Yah, sorry, Bar. Gue harus cabut sekarang nih. Udah janji sama bokap, mau nemenin golf. Gak enak gue kalau nolak lagi,” ucap Bayu tak enak hati.
“Lo kane mau ke golf. Kalau gue udah janji ama nyokap mau nemenin anterin pesana kue. Bisa dicoret dari KK kalau gue nolak. Lo paham lah, Bar. Sorry, ye,” imbuh Bima.
Mendengar urusan mereka yang begitu dekat dengan keluarga mereka masing-masing tentunya membuat keirian tersendiri dihati Barra. Kembali teringat kepelikan permasalahan keluarganya yang memang sudah begitu memuakan baginya. Hingga kini ia hanya tersenyum getir dengan tatapan kosongnya kesembarang arah. Bayu juga Bima yang sudah mengetahui apa penyebabnya pun kini semakin merasa tak enak hati. karena memang Barra yang sudah begitu bersikap baik kepada mereka. Hingga kini Bima rangkul bahunya seraya ia tersenyum.
“Bar, sorry ya. Kalau gue lagi gak ada tugas sih ya udah pasti lah gue milih stay disini sama lo. Apalagi lo telaktirin kita terus, Bar,” ucap Bima berusaha memberi pengertian.
“Iya, Bar. Pastinya ntaps banget. Tapi, gimana kalau lo ikut gue ke golf. Lo juga udah kenal baik kan sama, bokap. Gue jamin seru deh, Bar,” ajak Bayu yang ingin membuat Barra merasa lebih baik.
Kini Barra pun tersenyum manis seraya ia tepuk bahu keduanya secara bergantian. “Selow aja kale! Gue gak apa-apa, kok. Lo kerja yang bener, Bim. And lo, Bay. Gue gak mau ganggu quality time lo sama bokap lo. Yaudah, kalian have fun, ya. Gue masih kepengin disini,” jawabnya yang berusaha bersikap sebiasa mungkin. Hingga akhirnya keduanya pun setuju dan saling berpamitan.
Barra pandangi dengan tatapan yang nanar kepergian mereka. Kini matanya mulai berkaca dengan bibir yang merapat. Meratapi dirinya yang begitu menyedihkan. Selalu saja sendirian bagai hidup sebatang kara. “Mereka beruntung. Mereka punya keluarga yang bisa membuat mereka nyaman juga bahagia. Kalau, Tuhan, gak mengambil, Mama, secepat ini, pasti hidup, Barra, gak akan semenyedihkan ini, Ma,” gumamnya seraya kini kembali ia memanggil salah seorang pelayan disana. Kembali ia memesan secangkir kopi beserta camilannya.
Kali ini, Barra tak memainkan game onlinenya. Karena ia memilih untuk kembali melanjujtkan lukisannya. Lukisan wajah sang Mama yang sebelumnya baru ia lukiskan setengahnya. Hingga kembali ia merasa jenuh dan kembali pulang. Setelah adzan Magrib ia segera menuju rumah. Tak peduli sudah ada sang Papa atau belum dirumahnya. Karena memang ia yang ingin segera beristirahat agar besok staminanya baik dan ia bisa menjalankan tugasnya pula dengan baik. Hanya basket yang saat ini membuatnya merasa jauh lebih dihargai. Juga melepaskan semua emosi dan kekecewaannya disana. Dengan kecepatan sedang ia mengemudikan mobilnya. Sebab ia yang sedang merasa lelah tak ingin lagi terkena masalah. Seperti dikala ia yang tengah mengantuk dan tak sengaja menabrak seorang lansia.
Kini baru saja Barra tiba dirumah. Kali ini Papa menyambutnya dengan wajah yang sumringah. Namun meski begitu, Barra tetap saja memilih untuk tak mengindahkannya. Ia berjalan begitu saja melewati sang Papa. Tapi lagi-lagi Papa lebih dulu mencekal satu tangannya. Namun bedanya, kali ini Papa menggenggam jemari Barra dengan begitu lembut. Seraya ia tatap wajah Barra dengan penuh kasih sayang. Yang hal ini sempat membuat Barra merasa larut. Yang dikala ia sadari hal itu, segera kembali ia pasang wajah sinisnya seraya ia alihkan pandangannya.
“Nak, terima kasih, ya. Hari ini kamu sudah membuat, Papa, bangga. Papa tahu kalau kamu memenangkan pertandingan itu, Nak. Papa juga senang sekali karena kamu belajar dengan baik disekolah. Kamu jadi kebanggaan sekolah karena kemampuan kamu dalam bermain. Good job, Nak,” ucap Papa dengan mata yang berkaca karena rasa bangganya. Yang sebenarnya Barra pun cukup terenyuh namun ia masih berusaha menutupi perasaannya.
Barra tersenyum pahit serya dengan perlahan ia lepaskan genggaman tangan sang Papa. “Pa, Papa, gak usah merasa terlalu senang ya, Pa. Karena nantinya kalau, Papa, tahu apa alasan aku kesekolah hari ini. Pasti hati, Papa, akan tersaikiti. Cause, aku kesekolah, itu demi basket. Bukan belajar. Dan aku bermain basket, itu karena aku yang disetiap melempar bola itu, seakan aku sedang melempar kekecewaan yang sudah, Papa, lukiskan dalam diriku, Pa. Bukan karena aku kepengin buat orang yang menyakiti hati aku, menjadi bangga memilikiku,” jelasnya dengan airmata yang berusaha tertahan dikedua pelupuk matanya. Seraya kini dengan segera ia berlalu begitu saja meninggalkan sang Papa yang masih mematung dengan perasaan yang campur aduk disana.
“Apapun alasanmu, apapun motivasimu, Papa, akan tetap bangga padamu, Nak. Teruskanlah perjuanganmu. Papa akan tetap mendoakan yang terbaik untuk kamu,” pekik Papa dengan lantang. meski hatinya sedang teramat terluka saat ini.
Di kamar Barra lemparkan tasnya ke ranjangnya seraya ia duduk disudut ranjang dengan tangisnya yang sesenggukan. Rasanya ia sendiri pun selalu saja tersiksa tak pernah bisa bersikap baik juga sopan kepada Ayahnya sendiri. Selalu saja hanya rasa dendam yang memndominasi. Juga kekecewaan yang tak pernah dapat terbendung.
“Ambil saja nyawaku Tuhan! Aku lelah hidup seperti ini! Aku hidup sebagai manusia yang dipenuhi dendam juga kekecewaan! Aku tak tahu lagi bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari kehidupan yang menyedihkan ini! Hentikanlah siksaanmu padaku! Cukup! Hiks..hiks..hiks..” umpatnya dengan perasaannya yang tak karuan. Melihat usaha sang Papa yang begitu bersikeras mendapatkan maaf darinya justru hal itu semakin membuatnya teramat membencinya. Karena ia yang jauh lebih merasa tersiksa melihatnya. Akan lebih baik jika sang Papa tak usah lagi memedulikannya.
Barra yang tak ingin semakin larut dalam kekecewaannya kini dengan segera pergi mandi. Setelah mandi sebenarnya ia ingin pergi tidur. Namun sayang karena perutnya yang terasa lapar maka kini ia tak dapat menutup matanya. Sebenarnya sudah berulang kali Bi Tina memanggilnya untuk mengajak makan bersama. Namun karena memang Barra tak bernafsu maka kini dengan terpaksa ia tetap menuju ruang makan. Langkahnya sempat terhenti dikala kini ia dapati ada masih ada Papa yang menunggu kedatangannya disana. Jika kembali menunggu maka ia akan telat tidur dan bisa saja ia akan terlambat kesekolah. Kini waktu sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam. Namun Papa masih setia menunggunya disana. Yang karenanya kembali Barra lanjutkan langkahnya. Melihat kedatangan Barra tentu saja Papa begitu bahagia, yang karenanya kini Papa tersenyum lebar padanya. Membuat Barra kembali memasang wajah sinisnya.
“Akhirnya anak, Papa, kesini juga. Ayo, Nak, kita makan sama-sama,” ucap Papa masih dengan ekspresi sumringahnya. Namun tetap Barra tak menjawab setiap sapaannya.
Papa masih berusaha tersenyum memandangi Barra. Rasanya sudah begitu lama mereka tak pernah makan bersama disatu meja. Terakhir kalinya ialah dikala mereka sedang menjadi tamu undangan disalah satu rekan bisnis Papa. Hingga kini ingin Papa manfaatkan waktu mereka dengan saling berbincang hangat dengan putra semata wayangnya itu.
“Barra. Papa, yakin kamu pasti bisa membawa nama baik sekolahmu lagi. Papa, doakan semoga saja kamu memang, Nak,” ucap Papa dengan lembut.
“Amin.” Jawab Barra disela-sela kunyahannya. Yang Papa cukup merasa senang karena Barra mulai meresponnya.
“Pertandingan kamu jam berapa, Nak? Papa boleh datang menonton?” tawar Papa yang sontak membuat Barra menghentikan makan malamnya.
“No! Papa, gak usah lebay deh! Selama ini saja, Papa, gak pernah, kan, pedulikan, Barra, soal hal itu?! jadi gak usah, Papa, sok-sokan peduli kayak gini! Karena sampai kapanpun, Barra, gak akan mau, Pa, menjadi pewaris tunggal atas semua harta Papa yang gak ada gunanya itu!” makinya yang kini tanpa berkata lagi ia segera bangkit begitu saja dari posisi duduknya.
“Nak, dihabiskan dulu makan malammu, Nak. Okay, Papa, gak akan ganggu kamu... Nak...” setiap cegahan Papa selalu saja sia-sia. Tak pernah Barra mau mendengar setiap ucapannya. Seketika, dadanya pun terasa begitu sesak karena lagi dan lagi Barra seakan tak mengaggapnya ada.
Karena rasa kesalnya, dikamarnya Barra pukuli perutnya sendiri. Sebab ia yang begitu kesal karena baginya tak seharusnya ia kembali makan disatu meja yang sama bersama sang Papa. “Aaaarghhh! Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa juga sih lo harus lapar! Kenapa lo gak tahan aja rasa lapar lo itu! Seharusnya lo bisa tahan, Bar! Kalau begini jadinya udah pasti, Papa, bakalan ngira kalau lo udah maafin dia! Aaaaarghh! Bodoh!” umpatnya yang kini dengan kasar ia rebahkan tubuhnya diatas ranjangnya untuk dapat segera ia pejamkan matanya.
***
Karena ada perandingan maka kini Barra bangun lebih pagi. Seperti biasa Barra ambil sebuah roti isi dan ia minum segelas susunya. Ia lakukan semua itu dengan begitu terburu-buru karena ia yang tak ingin bertemu dengan sang Papa dan harus berpamitan dengan Papanya. Kini, Papa, yang baru saja menuruni anak tangga pun dapat melihat kepergian Barra dengan langkah yang tergesa. Dan Papa juga tahu betul jika saat ini Barra sedang begitu menghindarinya. Yang lagi-lagi hal itu membuat dadanya terasa begitu sesak juga ia yang cukup sulit untuk membendung airmatanya.
“Nak, tak bisakah kamu berikan sedikit saja ruang untuk, Papamu, ini? Papa, rindu seorang Barra yang penurut dan berprestasi! Papa, menyesal, Nak! Karena memang, Tak, seharusnya, Papa, melukai, Mamamu yang begitu baik hingga sejauh itu! Hingga kita benar-benar kehilangan Mama untuk selamanya,” gumam Papa yang masih memandangi kepergian Barra dengan tatapan yang nanar. Barra yang kini baru saja menancap gas dengan kasar.
Setibanya disekolah, kali ini para wanita yang fanatik akan dirinya itu bukan memberinya buku catatan. Tapi mereka semua memberikan berbagai ucapan semangat serta makanan untuknya. Barra selalu saja menerimanya dengan senang hati. Namun setelahnya selalu saja ia bagikan makanan itu kepada semua pekerja disekolahnya kecuali para guru dan kepala sekolah tentunya. Tak lupa ia sisakan utuk Bima yang memang ia memiliki banyak adik dirumah dan ia juga kurang mampu. Momen seperti inilah yang selalu Bima tunggu-tunggu. Sebab ia merasa dapat membahagiakan para adiknya yang memang terbilang jarang bisa memakan berbagai jenis snack dan coklat seperti yang saat ini sudah ia simpan di ranselnya.
Darren yang melihat momen ini, semakin ingin segera menghancurkan Barra. Yang baginya, Barra adalah seorang lelaki yang terlalu buruk untuk mendapatkan sebuah perlakuan yang sedemikian spesial. ‘Lo itu gak pantas dipuja-puja sama mereka! Karena lo emang cuma anak sampah yang gak punya guna! Lo lihat aja, Bar, gak bakalan gue biarin lo bermain dengan baik siang ini! karena kalau bukan gue ketua dan pemain intinya, gak akan pernah sekolah ini bisa juara!”
“Sering-sering deh nih sekolah ikutan turnamen. Kalau begini kan berasa sultan gue,” ucap Bima dengan wajah sumringahnya. Yang sungguh kebahagiaannya itu rasanya ingin dapat Barra rasakan. Berbagi dengan keluarganya dan saling berbahagia bersama.
Hingga kini Barra hanya menanggapinya dengan sebuah sebuah senyuman manis juga kedua mata yang berkaca. ‘Andai gue bukan anak tunggal. Mungkin gue masih bisa berbagi cerita bersama dengan Adik atau Kakak gue. Pasti gak akan seberat ini rasanya,’ gumamnya dalam hati.
“Bar Bar Bar...” panggil Bayu seraya ia tepuk bahunya. Yag hal itu membuat Barra terjingkat seketika.
“Apa-apaan sih lo, Bay! Ngagetin gue aja lo!” omel Barra yang cukup kesal dengan sikap Bayu.
“Abisnya lo tu tadi ngelamun. Udah gitu lo b***k banget lagi gue panggil panggilin! Lo lagi kenapa sih? Ada hal yang lo pikirin lagi?” tanya Bayu yang mulai merasa curiga dengan sikap aneh Barra.
“Iya bener, Bar. Lo tuh kelihatan lagi mikir sesuatu yang berat. Bar, kita kan mau tanding. Lo harus fokusin diri lo ke pertandingan,” belum sempat Barra menjawabnya sudah lebih dulu Bima yang menambahi, seraya ia rangkul bahu Barra.
“Ehehehe... lo pada tuh gak jelas ya! Aneh deh lo pada! Orang lagi bengong mikirin pertandingan malah udah mikir yang aneh-aneh aja,” Barra memilih untuk terkekeh untuk menutupi setiap kegugupannya. Yang hal ini sebenarnya masih di ragukan oleh Bayu dan Bima. Namun sudah lebih dulu ada seorang guru pengajar yang memasuki kelas mereka. Maka kini mereka tak dapat lagi berusaha mencari tahu mengenai perasaan Barra.
Tentunya sedikitpun Barra tak bisa menyerap pelajaran hari ini. beruntungnya guru itu tak lagi memberikan sebuah pertanyaan padanya, sehingga ia dapat meluapkan setiap kekecewaannya kepada gambarannya. Yang hal ini membuatnya cukup merasa jauh lebih tenang. Dan ia yakin jika disaat nanti pertandingan berlangsung, ia sudah bisa merasa lebih tenang juga menyelesaikan permainan dengan hasil yang terbaik. Pertandingan kali ini akan berlangsung pukul empat sore. Seusai mereka pulang sekolah. Sebuah doa dari sang Papa sebenarnya adalah sebuah hal yang berarti bagi Barra, namun tetap ia tak pernah memperlihatkan rasa senangnya itu karena ia tak ingin lagi mengecewakan dirinya dengan kembali terlukai jika nantinya sang Papa akan kembali meninggalkannya sesuka hatinya setelah Papa berhasil membujuknya. Barra ganti pakaiannya dengan cekatan dan kini kembali ia sudah berada di lapangan.
Seperti biasa, setelah tim cheerleaders usai kni mereka mulai memasuki lapangan. Terlihat Darren yang kini mulai memandangi Barra dengan tatapan penuh amarahnya. Darren yakin jika sudah pasti pelatihnya akan segera memasukannya kedalam lapangan dikala nanti ada salah seorang temannya yang cidera. Melihat tatapan Darren yang sedemikian meyebalkan justru membuat Barra semakin termotivasi untuk menjadi seorang pemenang. Semakin ia fokuskan dirinya dan akhirnya kembali ia mendapatkan banyak poin. Lagi dan lagi teriakan penuh kebanggaan itu kembali Barra dapatkan. Tentunya hal ini semakin membuat Darren begitu ingin mengacaukan pertandingan, hingga dikala game pertama berakhir segera ia memohon kepada pelatihnya untuk memasukannya. Karena terus saja berusaha memohon maka pada akhirnya pelatihnya itu mengijinkannya.
Dilapangan kembali Darren mencari cara untuk membuat fokus Barra menghilang. Dengan gaya pongahnya dengan sengaja ia lemparkan bola itu kearah Barra namun tepat mengenai kepalanya. Tetapi setelahnya berulang kali ia meminta maaf kepada Barra seakan-akan ia melakukan hal itu secara tidak sengaja. Awalnya Barra masih bisa memaafkannya dan masih berusaha berpikir positif, namun bukan hanya sekali Darren melakukan kesalahan itu kepada Barra hingga kini ia mulai curiga juga tak dapat terima. Barra mulai meyadari jika saat ini Darren sedang bersaha untuk membuyarkan konsentrasinya, hingga kini Barra pun punya caranya sendiri untuk membalaskannya tanpa sedikitpun terpancing emosi juga membuat penampilannya menurun.
Yakni dengan cara ia yang tak sama sekali memberikan bola kepada Darren. Ia bermain seakan dalam timnya tak ada seorang Darren. Yang karenanya kini kembali seorang Darren lah yang kalah telak dan Barra berhasil mendapatkan sebuah kemenangan. Memenangkan sebuah pertandingan, selalu saja membuat Barra merasa begitu bahagia juga bangga kepada dirinya sendiri. Karena sebuah kemenangan yang ada, membuatnya seakan kembali menemukan sebuah kehidupan yang nyaris sempurna walau ia hanya mendapatkannya sejenak. Karena setelah ia kembali keluar dari lapangan, tetaplah ia menjadi seorang Barra yang jauh dari kata bahagia. Kini para timnya terkecuali Darren, Dino dan Dody tengah mengangkat tubuh Barra bersamaan. Mereka bersorak-sorai atas kemeangan yang berhasil mereka raih sore ini. Dan mereka tahu betul jika Barra lah seorang pemain yang paling sering menciptakan poin.
Tentunya Darren yang juga berdiri disana sudah begitu muak dengan keadaan di lapangan. Sehingga ia segera mengajak Dino dan Dody untuk segera pergi dari sana, karena tak lama lagi adalah penyerahan penghargaan serta piala, yang sudah pasti akan segera diberikan kepada seorang kapten tim sebagai perwakilan. Yakni seorang Barra. Benar saja, kini nama Barra mulai dipanggil. Dengan langkah penuh rasa bangga ia mulai menaiki podium. Senyumnya begitu lebar saat menerimanya. Senyumannya itu terlihat begitu nyata, membuat Bayu dan Bima turut merasa senang sebab ia yang memang tahu betul seperti apa peliknya kehidupan Barra yang membuatnya cukup sulit tersenyum. Yang tak jarang hayalah sebuah senyuman penuh kepalsuan.
Barra angkat piala yang berukuran cukup besar itu dengan tingginya masih dengan senyuman lebarnya. ‘Ma, sore ini, Barra, kembali berhasil membuat sekolah, Barra, bangga kepada, Barra. Apakah, Mama juga bangga? Barra, harap Mama juga akan menyukainya, Ma, I love you,’
***
“Kecurangan memang terkadang menciptakan sebuah kemenagan. Namun yang curang tak akan pernah hidup tenang.” -Tulisannisa-
To be continue