7. Good Day

3102 Kata
Keduanya yang semkain merasa kesal pun kini mereka lepaskan rangkulan Barra secara bersamaan dengan kasar. Yang hal ini cukup membuat Barra terkesiap. “Sumpah ya, Bar, gue masih gak ngerti! Maksud lo apaan sih?!” maki Bima yang mulai emosi. “Iya, Bar. Dari tadi tuh lo aneh tahu gak. Dari kemaren malahan,” imbuh Bayu. Yang kembali hal ini membuat Barra tersenyum miring. “Ahahahaha... okay okay. Iya bakal gue jelasin sama kalian yang emang otaknya pentium satu. Lo pada tahu kan kalau siapa yang lebih dulu cari masalah dan mukul bakalan masuk BK dan di skors? Menurut kalian gimana? Cara gue buat balas dia dengan cara ini udah keren belom?” jelas Barra yang membuat keduanya seketika dapat mengerti maksud dari sahabatnya itu. “Gila nih orang! Strategi lo itu ternyata bukan cuma epic di permainan aja ya, Brad. Tapi di dunia nyata juga,” ucap Bima dengan tatapan kagumnya. “Yoi, Brader. Bagi-bagi lah tuh tips ke gue. Siapa tahu gitu, habis ini jadi bakalan banyak cewek-cewek yang bakalan caper ke gue,” imbuh Bayu yang juga menatapnya dengan tatapan kagumnya. “Apa-apaan sih lo pada! Biasa aja kali! Udah-udah sana bentar lagi guru masuk nih,” titah Barra dan mereka pun tergelak seraya menurutinya. Selama pelajaran berlangsung, kali ini Barra tak menggambar ataupun pergi ke toilet memainkan ponselnya. tapi kali ini, ia sibuk melihat-lihat galeri diponselnya, yang isinya adalah materi pelajaran bahasa Indonesia yang dahulu sering mendiang Mamanya ajarkan kepadanya. Ya, siang ini adalah waktunya pelajaran bahasa Indonesia. Yang selau saja mengingatkannya kepada sang Mama. Memandangi foto-foto itu tentunya membuat Barra seakan kembali merasakan masa itu. yang karenanya, sama sekali tak dapat ia pahami setiap apa yang gurunya jelaskan. Hingga kini penjelasan usai dan guru itu mulai memberikan tugas kepada mereka dan diminta untuk dikumpulkan hari itu juga. Tugas yang diminta kali ini adalah membuat sebuah karangan puisi. Barra yang memang tak pandai membuatnya tentunya ingin meminta kepada seseorang untuk membuatkannya. Namun karena saat ini ia sedang begitu malas untuk meladeni wanita yang dimintainya tolong, maka mau tak mau ia harus membuatnya sendiri. Karena meminta tolong kepada Bayu dan Bima bukanlah suatu hal yang memungkinkan. Bima memang seorang siswa yang cerdas, namu tidak dibidang bahasa Indonesia. Bima hanya pandai pelajaran matematika dan sejenisnya. Barra yang memang sedang merindukan sang Mama pun mulai memiliki sebuah ide, jika ia yang memang harus membuat puisi yang akan ia tujukan kepada sang Mama. Hingga kini ia pun tersenyum seraya ia mulai membuatnya. Merindu Hidupku selalu semu Tiada daya tiada berarti Hatiku kelam kelabu Selalu sendiri selalu sunyi Semangatku tak lagi membara Tekadku tak lagi sempurna Sendu, pilu, merana Warnaku tiada tersisa Aku tengah merindu Merindu pada sosok terindahku Yang terindah yang takkan terganti Kini dia telah bertemu bahagia abadi Salam riduku sebuah salam yang takkan sampai Teruntuk sang Ibu yang telah bahagia di surga-Nya Barra buat pusisinya itu hanya dalam sekali coretan, tak sekalipun ia menggantinya juga menghabiskan banyak helai kertas. Seusai menuliskannya membuat Barra tak mampu menahan aimatanya, sebab memang hal itulah yang kini tengah ia rasakan, yang sudah bertahun-tahun lamanya ia pendam, yang telah bertahu-tahun pula tak pernah dapat terobati. Akan terlalu sakit jika saat ini pun ia masih harus membohongi dirinya sendiri jika memag ia sudah ikhlas. Namun tetap buru-buru harus ia lupakan setiap kerinduannya itu. Ia seka airmatanya dengan kasar. Segera ia kumpulkan tugasnya seraya kini ia meminta ijin pergi ke toilet. Karena baginya, ia tak sanggup jika harus kembali menahan tangisnya. Sebuah tangis pilu karena rasa rindu yang sudah terlalu menyiksa tanpa batas waktu. Barra teruskan tangisnya itu dibilik toilet. Ia kembali terisak frustrasi dengan terus mengacak rambutnya. Wajahnya memerah begitu pula matanya. Jantungnya seakan berhenti berdetak karena rasa sesak yang mulai menyeruak. Kembali teringat saat dimana mendiang Mamanya tengah meregang nyawa, berusaha bertahan namun tak bisa. Sebab takdir Tuhan yang sudah memanggilnya. Teramat sakit yang ia rasa, hingga isaknya semakin memenuhi seisi bilik itu. Yang tak tahu kehidupannya, memang mereka semua akan mengira jika Barra adalah seorang lelaki yang kuat, penuh kebahagiaan dalam hidupnya sebab bergelimangan harta. Yang dibalik terkaan itu, tersimpan sebuah luka besar yang teramat sulit untuk disembuhkan. Namun buru-buru ia kembali mencoba menenangkan dirinya. Kembali ia seka airmatanya dan kini ia basuh berulang kali, Barra tengah berusaha untuk meredam setiap rasa sakit hatinya. Ia tengah berusaha untuk kembali menjadi Barra yang kuat, cuek dan dingin. Bukan seorang Barra yang cengeng, lemah, juga penuh harap akan sebuah rasa kasih sayang dari orang-orang tersayang. Hingga dikala kini hatinya mulai menenang, maka dengan segera ia kembali kekelasnya, sebelum gurunya akan meminta kepada salah satu temannya untuk memanggilnya, seperti sebuah kejadian beberapah hari yang lalu. “Came on, Bar, stay believe if you can do it! Just belive it! Karena lo bukan lelaki lemah, yang cengeng juga penuh drama. Mama, lo, itu udah bahagia di surga-Nya sana. Jadi tugas lo saat ini hanyalah, ikhlas dan menerima segalanya dengan tangan terbuka dan hati yang lapang. Meski nyatanya disaat lo telah mencoba, semua itu gak bisa lo lewati semudah lo membalikan telapak tangan,” ungkapnya penuh tekad yang bulat. Sebelum kini ia mulai kembali melangkahkan kakinya menuju kelasnya. Dengan harapan, jika setelah ini ia tak akan lagi menitihkan airmatanya ditempat umum seperti saat ini. Sebab memang ia tak pernah mau dan sudi, airmatanya itu terlihat oleh orang lain, terutama Bayu dan Bima, yang selalu menganggapnya seorang lelaki tanpa beban. Dikala kini Barra baru saja memasuki kelasnya, ia terkejut bukan main, karena gemuruh tepuk tangan itu tertuju untuk dirinya. Yang kini sama sekali tak dapat Barra mengerti mengenai apa penyebabnya. Mereka semua bertepuk tangan seraya memberikan sebuah senyuman manis untuk Barra, termasuk guru bahasa Indonesianya yang sebelumnya selalu saja bersikap sinis padanya yang memang tak jarang bolos pada pelajaran ini. Terkecuali seorang Olivia yang kini memilih untuk mengalihkan pandangannya, tanpa sedikitpun menanggapi mereka semua. Tetapi Barra tak mementingkan mengenai hal itu. Yang ia bingungkan saat ini ialah ia yang tak mengerti apa penyebab hal itu terjadi. Membuat Barra tetap berdiri didepan pintu kelasnya sebab rasa ragunya. ‘Ini apaan sih, kenapa coba mereka semua kasih applous begini buat gue? Sumpah ini aneh,’ gumamnya dalam hati. Seraya kini ia mulai kembali melanjutkan langkahnya. “Barra, bisa kemari sebentar,” pinta Bu Risya, guru bahasa Indonesianya. Barra pun hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan seraya kini ia mulai berjalan mendekat kearah Bu Risya. “Iya, Bu. Adaa apa ya, Bu?” tanya Barra hati-hati. Bu Risya pun beranjak dari posisi duduknya seraya ia berikan buku tugas Barra kepadanya. “Selamat ya, Barra. Puisi kamu ini bagus sekali. Dan kamu berhasil mendapat nilai yang tertinggi,” ucapnya dengan bangga. Yang hal ini cukup membuat Barra terkejut. Sebab memang sebelumnya ia tak pernah membuat puisi. Ia juga tak mengira akan hal ini. ‘What?! Ini gue lagi gak mimpi, kan? Apa iya gue beneran dapet nilai tertinggi? Kok rasanya kayak mimpi? Secara, selama ini gue selalu aja jadi yang terbuncit di kelas ini,’ gumam Barra dalam hati. Penuh dengan keheranan yang tak dapat ia pungkiri. “Terima kasih, Bu,” jawab Barra yang memang hanya bisa berkata demikian. “Ibu ingin kamu bacakan puisi yang indah itu didepan para temanmu bisa? Karena, Ibu, rasa mereka memang harus mengetahuinya,” pintanya lagi yang kini cukup membuat Barra merasa berat hati. “Ehehehe, maaf, Bu. Sepertinya saya gak bisa, Bu. Karena saya gak paham intonasi pembacaan puisi,” tolak Barra secara halus. Yang hal ini cukup mengecewakan Bu Risya. “Kamu tidak perlu membacakannya sesuai dengan pembacaan puisi pada umumnya. Karena memang ini bukanlah sebuah kompetisi. Ibu hanya ingin teman-temanmu bisa mengetahui isinya. Tolong, kamu bacakan sekarang, ya. Karena jam pelajaran, Ibu, gak lama lagi akan berakhir,” titahnya lagi yang kini Barra rasa tak akan baik jika ia harus kembali menolaknya. Barra pun mengangguk seraya ia tersenyum. “Baik, Bu,” ucap Barra setengah yakin,” Bayu juga Bima pun memandangi Barra dengan senyuman manis mereka. sebab keduanya tak menyangka jika hari ini Barra benar-benar mengalami banyak kemajuan. Mulai dari ide cemerlangnya mengenai Olivia dan Darren. Juga Barra yang memilih untuk mengerjakan tugasnya sendiri ketimbang meminta bantuan para wanita itu. Mulai Barra bacakan puisinya dengan begitu menghayatinya disetiap baitnya. Membuat banyak pasang mata yang terenyuh dengan setiap katanya. Olivia pun urut menyimaknya dengan tataapan kagumnya. Terlebih dikala Barra membacakannya seakan ia mengungkapkan seperti apa besar rasa rindunya untuk sang Ibu. Karenanya kini Barra tak menyadari jika airmatanya mulai menitih begitu saja membasahi kedua pipinya. setelah kini ia bacakan puisi itu hingga akhir. rasanya dapat ia rasakan sebuah kebahagiaan tersendiri. Sebab rasanya, ia telah berhasil mengungkapkan setiap rasa rindunya yaang sudah sejak lama ia pendam sendirian. “Terima kasih,” ucap Barra setelahnya, yang kini karenanya kembali Barra mendapatkan sebuah tepuk tangan yang meriah dari para temannya. Mem buat Barra merasa bangga pada dirinya sendiri. sebab ia juga masih tak menyangka jika ia bisa membawakan puisi itu dengan amat baik. “Bagus sekali, Barra. Ibu, yakin. Pasti Mamamu sudah bahagia di surga-Nya. Dan beliau juga akan bangga jika bisa membaca pusisi indah kamu itu. Silakan kamu kembali ke kursi kamu,” ucap Bu Risya lagi dan Barra pun mengangguk setuju. “Aaaamiiin. Terima kasih banyak, Bu,” jawab Barra seraya dengan segera ia kembali menduduki kursinya. Bayu dan Bima pun memberikan salaman persahabatan mereka senan keduanya yang memang merasa senang dengan setiap usaha Barra. “Emang paling keren dah, Brader, gue yang satu ini,” ucap Bayu seraya ia rangkul bahu Barra. “Yoi, Bay. Barra emang paling mantap dah. Coba, Bar, sekarang lo jelasin sama kita. Dari mana lo bisa belajar buat puisi sampai sedalam itu? Ayo dong bagi-bagi ke kita ilmunya. Apa jangan-jangan diem-diem lo udah punya cmewew nih ya?” imbuh Bima dengan yakinnya. Membuat pipi Barra seketika memerah karena ia yang semakin merasa gugup. “Ah lo pada nih ya! Bisa gak sih kalian tuh stop untuk lebay ke gue! Ya gue bisa buat dan bacain tuh puisi sampai sedalam itu, karena memang rasa rindu itu udah terlalu dalam, Bay, Bim. Kalian beruntung orangtua kalian masih lengkap. Makanya, pesan gue sih cuma satu ya. Jangan pernah lo sia-siakan kesempatan emas ini. Manfaatkan sebaik mungkin. Sebelum nantinya kalian akan menyesal dengan setiap kesalahan kalian sendiri. Karena kalian yang lebih mementingkan waktu hangout kalian dan yang lainnya. Yang hal itu sebenarnya teramat menyakiti keduanya tanpa kalian sadari,” jelas Barra yang cukup membuat kedua sahabatnya itu terenyuh juga menyadari dimana letak kesalahan mereka. Hingga kini keduanya mengangguk setuju. “Lo bener, Bar. Thanks, ya karena lo udah ngingetin kita lagi,” ucap Bima dengan senyuman manisnya. Dan Bayu pun menanggapinya dengan anggukan setuju juga sebuah senyuman. Begitu pula dengan Barra. Tak lama setelahnya, Bu Risya menyudahi pelajaran hari ini. Di pelajaran selanjutnya, yakni pelajaran kimia. Kembali ia menjadi seorang Barra yang tak niat belajar. Sama sekali ia tak memerhatikan pelajarannya. Karena kembali ia menggambarkan wajah sang Mama. Ia begitu bahagia karena hari ini dapat ia buatkan sebuah puisi yang indah untuk mendiang Mamanya. Ia gambarkan wajah itu tengah tersenyum lebar kali ini, sesuai dengan suasana hatinya saat ini yang memang tengah berbunga-bunga. Barra merasa beruntung karena gurunya saat ini hanya memberikan sebuah tugas rumah untuk minggu selanjutnya. Yang kini ia pasrahkan kepada Bima yang akan ia janjikan utnuk ia berikan sebuah imbalan. Bima yang memang membutuhkannya pun selalu saja menyetujuinya. Kini mereka sudah berada di parkiran. Senyuman Barra kembali terbit dikala kini ia menyadari jika Olivia sudah tak lagi mengejarnya hingga kesana dan merengek meminta pulang bersama. “Bim, kerjain yang bener tuh tugas gue. Jangan ada yang salah satupun,” titahnya dengan pongahnya. “Siaaaap... asal jangan telat aja tuh transferannya,” tantang Bima tak kalah pongah. “Lo tenang aja kali, Bim. Anak sultan mah kagak bakalan ingkar, hahaha,” ledek Bayu. Barra buka pintu mobilnya seraya ia memasukinya. “Udah lo gak usah khawatir. Kalau soal itu, gue gak akan ngecewain lo. Asal kerjaan lo beres. Yaudah, gue duluan. Hati-hati lo pada, jangan pada ngebut,” ucapnya seraya ia tutup pintu mobilnya dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. “Wah, songongnya gak ada obat emang nih anak. Untung ngepro soal game,” ucap Bayu dan Bima pun tergelak seraya merangkul bahu Bayu. “Ahahahaha... biarin lah, Bay. Asal dia bahagia. Seneng gue lihat dia bangga sama karyanya sendiri. Karena kan memang aslinya dia itu seorang anak yang cerdas,” jawab Bima. “Wah wah wah... bijak juga ternyata si t*i yang satu ini,” ledek Bayu seraya ia gelengkan kelapalanya. “Anying lo... gini-gini gue sahabat yang super, Bre,” jawab Bima lagi yang karenanya mereka tergelak bersama turut bahagia dengan kebahagiaan Barra. Sore ini, Barra tak lebih dulu kembali pulang. Karena kembali ia ke makam untuk menunjukan pusisi buatannya itu. Ia ingin sang Mama mengetahuinya dengan ia membacakannya disana. Ia juga ingin banyak bercerita mengenai setiap kebahagiaan yang ia rasakan seharian ini. Walau ia pun sadar jika tak akan mungkin sang Mama bisa melihat ataupun mendengar setiap perkataannya. Namun baginya, dengan mendatangi peristirahatan terakhirnya, maka akan membuatnya jjauh lebih merasa tenang juga bahagia. Karena ingin cepat sampai, Barra mengemudikannya dengan kecepatan yang tinggi. Beruntungnya, jalanan sore ini tak terlalu padat, hingga kini ia sudah tiba disana. Yang dengan segera ia berikan sebouquet bunga lily kesukaan sang Mama. Ia sapa si penjaga makam yang berjaga disana dengan wajah sumringahnya. Dan dengan senyuman manisnya ia melangkahkan kakinya menuju makam sang Mama. Ia letakan sebouquet bunga itu lalu ia belai dengan lembut nisan sang Mama. “Assalam’alaikum, Ma. Barra, datang lagi sore ini. tapi kali ini, Barra kembali datang dengan sebuah berita yang bahagia. Karena memang seharian ini, Barra benar-benar menemukan sebuah kebahagiaan yang cukup indah. Dan alasannya masih sama, Ma. itu semua karena, Mama. Karena, Mama, yang sudah menjadi seorang inspirasi terbaik untuk, Barra. “Barra, berhasil menyelesaikan sebuah puisi yang dinilai begitu baik sama guru, Barra. Kaena Barra yang berhasil mendapatkan nilai tertinggi dikelas, Ma. Ini, suatu hal yang cukup membanggakan untuk, Barra. Setelah sekian lama Barra sudah gak lagi dipuji disekolah. Bahkan banyak guru yang memandang, Barra, sebelah mata karena kelakuan, Barra, yang memang buruk, Ma. Terima kasih karena hari ini, Mama, sudah menjadi penyemangat baru untuk, Barra. Barra, juga sedang senang. Karena kedua orang yang gak jarang menyusahkan hidup Barra juga, mereka saat ini sudah berhasil, Barra, buat menjadi jera. Jadi sekarang, Barra, yakin jika mereka gak akan lagi ganggu, Barra, lagi. “Oh iya, Ma. kalau Barra bacakan puisinya untuk, Mama, apa Mama mau dengar? Biar, Barra, bacakan ya, Ma. Semoga saja, Mama, juga akan menyukainya,” ungkap Barra panjang lebar. Yang kini dengan wajah sumringahnya, mulai Barra bacakan pusisi itu untuk sang Mama. Ekspresi wajahnya saat ini memang tengah penuh dengan kebahagiaan. Namun tetap airmatanya itu tak dapat terbendung dikala ia ucapkan setiap katanya. Kerinduannya itu memang sudah terlalu menyiksanya, namun lewat sebuah puisi yang ia buat, rasa rindunya itu dapat tersalurkan, meski hanya sedikit. Setelah selesai membacanya, kini Barra letakan buku tugasnya di nisan sang Mama. Ia potret untuk ia jadikan kenangan lalu kembali ia mengambil dan menyimpannya. “Puisi ini, kembali, Barra, simpan ya, Ma. karena kalau, Mama, yang simpan nanti jadinya rusak. Puisi ini adalah puisi yang pertama, Barra, buat, Ma. Puisi yang paling berharga karena memang, Mama lah, inspirasinya,” ucap Barra seraya kembali ia kenakan ranselnya. Mulai barra panjatkan doa untuk san Mama sebelu ia kembali pulang. Tak lupa kembali Barra belai nisan sang Mama juga mengecupnya dengan lembut. “Barra, pulang dulu ya, Ma. Jika, Barra, ada waktu luang, Barra, janji akan kembali mengunjungi, Mama. Assalamu’alaikum, Ma,” pamitnya seraya ia segera bersanjak dari sana dengan wajah sumringahnya. Kunjungannya kali ini tak membuatnya merasa sedih. Melainkan ia merasa merasa banga bisa mempersembahkan suatu hal yang menyenangkan juga membanggakan untuk sang Mama. Yang ia yakin jika Mama juga sudah merindukan momen mereka yang seperti ini. Sebelum pulang, kembali Barra hamiri si penjaga makam itu. Untuk pamit juga memberikan sesuatu. “Pak, kalau boleh saya tahu. Nama, Bapak ini siapa ya, Pak?” tanya Barra dengan santun. “Nama saya, Firman, Mas. Ada apa ya, Mas?” jwab Pak Firman dengan senyuman manisnya. “Salam kenal ya, Pak. Nama saya, Barra, Pak. Panggil saja saya, Barra. Gak usah pakai, Mas.” Jelas Barra serya ia julurkan tangannya. “Oh, iya-iya, Nak Barra. Senang bisa mengenal, Nak Barra. Nak Barra, ini pasti baru saja mengunjungi makam, Mamanya, ya?” tanyanya. “Iya benar Pak. Ini untuk, Pak Firman. Seperti biasa, Pak, saya titip doa dan tolong dibersihkan makam, Mama, saya,” pinta Barra seraya ia berikan sejumlah uang kepada Pak Firman. “Aduh, Nak Barra. Tidak usah, Nak. Untuk doa dan pembersihan makam, memang sudah tugas saya. Jadi, Nak Barra, gak usah beri saya uang seperti ini ya, Nak,” ucapnya seraya ia berikan kembali uang itu kepada Barra. Namun Barra tetap berusaha untuk memberikannya. “Tidak apa-apa, Pak. Saya hanya ingin beramal untuk, Mama, saya. Tolong diterima ya, Pak, amalan, Mama, saya ini. agar, Mama, selalu tenang juga bahagia disana,” pinta Barra lagi yang membuat Pak Firman akan merasa tak enak hati jika tak menerimanya. “Niatan kamu ini bagus sekali, Nak. Pasti, almarhumah Mama, kamu itu bangga memiliki seorang anak lelaki yang salih seperti kamu. Yasudah, Nak Barra. Ini saya terima ya, Nak. Semoga saja ini jadi amalan yang terbaik untuk, Mamanya, Nak Barra,” jawab Pak Firman seraya ia tepuk bahu Barra. “Aaaamiiiin... terima kasih ya, Pak. Kalau begitu saya pamit pulang ya, Pak. Assalamu’alaikum,” salam Barra seraya menyalaminya. “Wa’alaikumussalam. Hati-hati, Nak, Barra,” jawabnya dan Barra pun mengangguk seraya ia tersenyum. Lalu kini dengan segera ia memasuki mobilnya. Sebab yang Barra tahu Papanya hari ini akan pulang tepat pukul tujuh malam nanti. Maka ia ingin lebih dulu tiba dirumah dan tak perlu saling bertemu dengannya. Sebab dihari baiknya ini, tak ingin lagi ia ada perdebatan diantara mereka seperti dihari-hari berikutnya. Karenanya kini, Barra kemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia cukup merasa senang karena saat ini jalanan sedang sepi, hingga membuatnya merasa jauh lebih bebas. Barra kemudikan mobilnya dengan senyuman manis yang masih terukir indah dibibirnya. Dan senyumannya itu seketika sirna dikala kini tiba-tiba saja tanpa sengaja ia meyerempet sepeda yang melaju cukup kencang disebelahnya. Sebab memang ia yang mengemudikannya seraya melamun maka ia tak melihat sepeda disampingnya itu. Kini jantung Barra berdebar hebat, dan dengan segera ia hendak menuruni mobilnya untuk melihat keadaan seseorang yang baru saja ia tabrak. “Oh my God! Kenapa lagi-lagi gue harus kena masalah sih!” umpatnya seraya ia lepaskan sabuk penganmannya. *** “Tiada yang tidak mungkin jika kau mau mencoba dan berusaha. Lakukanlah setiap yang kau mau dengan hatimu. Agar apa yang kau ingin bukan hanya angan semu.” -Tulisannisa-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN