9. Bad Day

3100 Kata
Barra melangkah lebih dekat mendekati sang Papa masih dengan sebuah senyuman penuh ejek. “Ya, Barra, akui memang, Barra, sudah buat kesalahan fatal tadi. Barra, sengaja hanya main-main juga gak sopan sama dia. Tapi, Papa, ingat kan, kalau sejak awal, Barra, sudah ingatkan kalau, Barra, itu gak suka diatur sama, Papa. Barra, juga udah bilang kalau, Barra, itu gak butuh guru privat. Tapi, Papanya, aja yang ngeyel! Papa, yang masih terus bersikeras dan ternyata ini hasilnya. So, sekarang, Papa, mau menyalahkan siapa? Papa, masih mau maki-maki, Barra? Came on, Pa,” jelasnya yang terasa seakan mengoyak hati Papa. “Barra, Papa, hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kamu. Papa, tahu kamu ketinggalan banyak pelajaran disekolah dan, Papa, kepengin bisa bantu kamu, Nak. Papa, kepengin lihat anak, Papa, sukses dan bahagia. Just, it. Please, understand it, Barra. Papa, sayang kamu,” jawab Papa lagi yang kembali berusaha untuk meyakinkan Barra. Namun tetap Barra menggeleng pelan seraya kini ia tersenyum getir menatap nanar kearah sang Papa. “Papa, juga ingat kan kalau setiap kebahagiaan dalam hidup, Barra, itu sudah hilang bersama kepergian, Mama. Mama, udah pergi, Pa. Kepergian, Mama, itu untuk selamanya dan gak akan pernah lagi bisa kembali! Dan itu artinya, sama saja seperti kebahagiaan, Barra, yang juga telah sirna selamanya! Sekalipun, Barra, berhasil mendapatkan sebuah kesuksesan dalam hidup, Barra, tetap, Barra, gak akan pernah bisa bahagia!” jelasnya dengan penuh penekanan disetiap katanya. Seraya kini tanpa berkata lagi Barra segera meninggalkan sang Papa yang masih bergeming disana masih dengan rasa bersalah yang terus saja mendera. ‘Ya Allah ya Rabb, aku telah menyakiti anakku hingga sedalam itu. aku telah menyiksa hati istriku hingga ia meninggalkan dunia yang fana ini untuk selamanya. Ampuni aku Ya Rabb... aku mohon berikanlah kesempatan bagiku untuk menebus semua kesalahanku ini, aku mohon ampuni aku. aku berjanji tak akan mudah menyerah ataupun marah kepada putraku. Karena memang aku yang telah menyebabkan semua kepedihan ini terjadi. Akan kembali kucoba untuk mencari guru yang terbaik untuk, Barra. Karena aku yakin jika pasti, Barra, akan berhasil melewati masa sulitnya ini,’ gumam Papa dalam hati. Dengan dadanya yang seketika kembali menyesak. Dikamarnya Barra pukuli guling yang berada dipelukannya. Ia merasa begitu kecewa, kesal dan tak terima karena sebuah hari yang ia anggap sebagai hari baiknya ini menjadi sebuah hari yang memalukan juga menyedihkan. Lagi dan lagi ia harus berdebat, menyakiti hati orang lain dan yang paling menyakitkan ialah ia yang harus melawan orangtuanya karena rasa dendam yang terus mendominasi. Karena kebenarannya, Barra selalu saja merasa takut menjadi seorang anak yang durhaka, penuh dosa sebab sudah lama tak pernah menyembah-Nya, juga telah lalai dari segala hal baik yang seharusnya dapat ia kerjakan dengan baik. Sehingga kini, ia merasa jika sebuah hari yang berarti dan menyenangkan dalam hidupnya pun telah sirna seketika. “Papa, jahat! Papa, memang benar-benar jahat! Kalau saja dia gak pakai datengin guru privat itu! Sudah pasti hari ini bakalan jadi sebuah hari yang perfect buat gue! Ini gak adil! Ini benar-benar gak adi! Oh, s**t!” umpat Barra dengan segenap emosi yang mendera dirinya. *** Adzan subuh kembali berkumandang. Barra yang memang sudah terbangun pun memilih untuk segera pergi mandi. Ia ingin segera berangkat kesekolahnya sebelum Papa keluar dari kamarnya. Dengan begitu ia akan merasa jauh lebih baik. Tanpa perlu lagi ada perdebatan juga kebencian yang tercipta dipagi hari. Sarapan buatan Bi Tina belum tersaji, membuat Barra harus berangkat kesekolah dengan kondisi perut kosongnya. Pagi buta seperti ini tidak memungkinkan jika Barra harus segera tiba disekolah. Karena sebenarnya saat ini pun ia sedang begitu malas pergi kesekolah. Karena kondisi hati dan perasannya yang sedang tidak baik saat ini. Pergi ke kafe pun belum buka. Maka pilihan terbaiknya memang ia akan lebih baik pergi ke makam. Namun sayang, ditengah-tengah perjalanan menuju kesana, ban mobil Barra mengalami pecah ban secara tiba-tiba. Yang sama sekali ia tak tahu apa penyebabnya. Barra hubungi montir pun tak ada yang mengangkatnya. Sebab memang waktu yang kini baru saja menunjukan pukul lima lewat duapuluh lima menit. Hingga kini kembali ia harus meratapi nasibnya dengan menunggu disana hingga nanti montir itu datang. Rasanya Barra begitu bosan saat menunggu. Maka kini ia memilih untuk memesan ojeg online untuk bisa segera tiba di makam dan kembali melepas rindu dengan sang Mama. Namun kesialannya belum berhenti hingga disana, karena ternyata, paket datanya juga habis saat ini. Maka kini dengan kasar ia hendak membanting ponselnya. Namun ia urungkan niatnya itu karena ia merasa jika masih bisa ia telpon taksi langganan keluarganya untuk menjemputnya, dan sialnya lagi ternyata ia juga lupa membawa dompetnya. Ya, Barra memang melupakan kedua hal itu karena ia yang sudah merasa rumit dengan kehidupan peliknya itu. “Oh my God! Apa-apaan sih nih! Terus gimana dong kalau udah gini! Mana mungkin gue harus jalan kaki! Masa iya gue harus nelpon ke rumah untuk minta seseorang jemput gue gitu? Ya gengsi lah gue! Bisa-bisa, Papa, akan semakin cap gue sebagai anak manja yang apa-apa masih gak bisa sendiri lagi!” umptnya kini seraya ia pandangi kesekelilingnya yang sama sekali tak ada satupun orang yang ia kenal disana. Dan ia baru teringat jika ia bisa menghubungi salah satu sahabatnya untuk menjemputnya. Dengan segera ia tekan tombol diponselnya dan segera menghubungi Bima. Nut..nut..nut.. Belum sempat Barra berbicara tiba-tiba saja sambungan telponnya itu terputus. Yang ternyata dikala ia melihatnya, kini ponselnya sedang dalam keadaan mati karena habis baterai. Hingga kini ia semakin merasa frustrasi dan ia rasa penderitannya itu sudah begitu lengkap. Kembali Barra berniatan melempar ponselnya itu dan kali ini memang benar ia lemparkan, hingga tanpa sengaja mengenai kepala seorang pengguna jalan yang kebetulan sedang melintas tepat dihadapannya. Ponselnya itu kini terjatuh di rok sekolah wanita itu, dan dikala Barra melihatnya teryata seorang Chafiya yang berada dihadapannya saat ini. “Awwwwwh...” pekik Fiya dengan lantang seraya ia ambil ponsel Barra. Ia standar sepedanya dan kini ia berjalan kearahnya dengan penuh amarah. Yang hal ini kembali membuat Barra merasa tak enak hati. “Kamu lagi kamu lagi! Sepertinya hobi sekali ya kamu mencelakai orang lain! Sombong sekali kamu lempar saya pakai handphone! Sudah kebanyakan uang kamu?!” makinya seraya ia berikan ponsel itu dengan kasar kepada Barra. Sejak tadi Fiya memarahinya sama sekali Barra tak memerhatikannya. Karena kini ia terfokus dengan kening Fiya yang memerah karena ulahnya. “Itu kening lo merah, Fi. Bentar ya biar gue obatin,” ucapnya tak enak hati. “Gak perlu! Saya harus segera berangkat kesekolah karena saya gak mau gara-gara kamu saya jadi telat!” tolaknya yang kini ia segera hendak berlalu. Namun lebih dulu Barra mencekal satu tangannya. Membuat Chafiya kembali membalikan posisi tubunya dan melepaskan genggaman tangan Barra dengan kasar. “Wait,Fi, wait! Sorry sorry, Fi. Beneran gue gak sengaja. Tadi tuh ban mobil gue bocor, waktu gue telpon montir gak ada yang angkat, gue mau pesan ojeg online kuota gue habis, gue mau naik angkutan umum uang gue ketinggalan, dan waktu mau gue hubungin, Bima, ternyata baterai handphone gue lowbat. So, gue kesel banget dan refleks lempar handphone gue. Apesnya lo juga lagi lewat. Maaf ya, Fi. Please, maafin gue,” jelasnya dengan kesialan yang ia alami saat ini. Sebenarnya Chafiya ingin sekali menertawainya, namun rasa nyeri di dahinya membuatnya sulit untuk tertawa. “Kamu tahu kan ini jalanan umum? Jadi sebaiknya jangan ceroboh. Jangan anggap ini rumah kamu yang kamu bisa ngelakuin hal sesuka hati kamu! Permisi,” ucpanya seraya kini ia kembali berlalu. Namun kembali Barra mencegahnya. “Fi, wait. Tolong gue, ya. Gue gak ada uang buat naik angkutan umum. Boleh ya gue ikut naik sepeda lo,” pintanya yang membuat Fiya tak enak hati jika ia harus menolaknya. Ya, Barra yang memang merasa tak lagi punya pilihan, maka kini ia memilih untuk pergi kesekolah. Meski nantinya ia harus mencari cara untuk mengusir rasa bosannya itu. Karena ia yang tak punya uang juga ponselnya mati. “Okay, boleh. Naik aja dibelakang,” tawarnya seraya mulai ia naiki sepedanya. “No no no no no! Enggak! Biar gue aja yang boncengin lo. Gue ini laki-laki, Fi. So, biar gue aja yang ngendarain sepeda lo,” pintanya lagi. dan Fiya yang memang tak ingin jika mereka semakin lama lagi berdebat disana pun maka kini dengan segera ia menyetujuinya dengan sebuah anggukan setuju. Awalnya Barra mengayuh sepedanya dengan cepat. Karena memang sebelumnya ia juga suka bersepeda di hari libur. Namun semenjak Papa yang berusaha akrab dengannya ikut bersepeda maka Barra sudah tak lagi pergi bersepeda sejak setengah tahun yang lalu. Hingga kini kayuhannya itu semakin pelan. Yang hal ini membuat Fiya merasa khawatir jika mereka akan telat tiba disekolah. Hingga kini Fiya berusaha untuk menghentikan kayuhannya. “Barra, kamu itu ngayuhnya lamban banget lho. Sepertinya kamu udah kelelahan. Udah gak apa-apa. Biar saya saja yang ngendarain sepedanya. Udah kita gantian saja ya. Saya gak mau telat sampai disekolah,” pintanya lagi yang kini memang peluh mulai bercucuran diwajah dan tubuhnya. Namun ia juga gengsi jika harus dibonceng dengan seorang wanita. “Gue gak selemah itu ya, Fi! Cuma kan dari tadi lo sama sekali gak mau pegangan. Ya, gue takut lo jatuh aja dan celaka lagi gara-gara gue. Okay, bakalan gue tambah kecepatannya. Kalau jatuh jangan salahin gue lho, ya!” ucapnya seraya mulai ia kayuh dengan cepat sepedanya. Hingga kini Chafiya pegangi ransel Barra dengan erat. Kini mereka baru saja tiba disekolah. Nafas Barra pun begitu tersengal karena ia yang memang merasa kelelahan. Namun berusaha ia tetap bersikap biasa saja agar tak terlihat oleh Chafiya. Tentunya mereka semua yang betada disana kini memandang penuh keanehan kearah Barra dan Chafiya. Ya, kini keduanya tengah menjadi bahan perbincangan juga pusat perhatian. Namun Barra tak mengindahkannya. Sedangkan Chafiya sedang berusaha untuk menahan rasa malunya. “Thanks, ya, Fi. Sorry udah ngerepotin lo dan buat lo luka lagi. Lo mau minta imbalan apa dari gue? Or, lo mau gue transfer uang ke rekening lo? Kayaknya luka dikening lo itu harus diperiksakan ke dokter deh,” ucpanya tak enak hati. “Sama-sama, Bar. But first, saya mau menekankan kepada kamu kalau saya bukan mereka yang selalu meminta imbalan kepada kamu setelah kamu mintai tolong. Mengenai luka dikening saya, ini hanya luka kecil dan saya yakin jika tak lama lagi akan sembuh. Eum, seharusnya disini juga saya yang berterima kasih sama kamu. Karena kamu yang sudah mengendari sepedanya sampai disekolah, jadi sama sekali saya gak merasa lelah. Yaudah, saya duluan ya. Sepertinya kamu harus segera klarifikasi sama para fans kamu itu,” ucap Chafiya seraya kini ia segera berlalu meninggalkan seorang Barra yang masih ternganga atas sikapnya. Barra yang sebenarnya muak pun ingin segera beranjak dari sana. Namun nihil, kini sudah lebih dulu mereka semua mengerubungi, Barra. Membuat, Barra, bagaikan seorang aktor terkenal yang sedang jumpa fans di bioskop-bioskop. “Bar, kok lo bisa bisa berangkat bareng sama si, Fiya, sih? “Iya, Bar. Kok lo mau sih kesekolah naik sepeda? “Iya, terus lo juga lagi yang ngendarain sepedanya,” “Barra, emangnya bener ya kalian baru aja jadian?” “Ya ampun, Bar, masa sih lo pacaran sama si, Fiya, yang freak dan misterius itu,” “Stooooop! Please stop to ask me! Kalau kalian kepengin gue segera jawab pertanyaan kalian yang sebenernya gak mutu itu!”Karena pertanyaan mereka semua tentunya Barra semakin merasa pusing. Hingga membuatnya membentak mereka dengan bentakan yang cukup lantang. Dan kini mereka semua pun terdiam seketika. Hingga Barra kembali angkat bicara. “Ban mobil gue bocor. Gue gak bawa uang dan hanphone gue mati. Beruntungnya, Fiya, lewat. So kita berangkat bareng. Jelas, kan sekarang. Okay, excusme,” jelasnya seraya kini ia berlalu begitu saja. Mereka semua tak lagi menghalangi Barra karena memang mereka yang masih tak rela juga menyesali sebuah kesempatan ini. “Oh my God! Coba aja ya, gue yang lewat didepan dia. Beruntung banget gue bisa semotor sama dia! Pasti bakal jadi momen sweet nih buat gue!” “Ya ampun, semobil sama dia pasti bakalan indah deh! Kenapa harus si, Fiya, itu sih!” “My God! Si, Fiya, itu kok kayaknya lucky girl banget yaaa...” Sesal mereka semua seraya memandangi kepergian Barra. Dan sebenarnya sejak tadi, Olivia pun memandangi kedatangan Barra bersama Fiya dari kejauhan. Sebenarnya saat ini ia juga sedang tak terima juga berharap ia yang menolong Barra agar hubungan mereka bisa jauh lebih membaik. Namun nihil, justru kini ia harus kembali merasa hancur melihat kebersamaan Barra bersama dengan yang lain. Bayu dan Bima yang juga melihat kejadian itu pun kini mulai menyusul langkah Barra seraya ia rangkul bahu Barra. Keduanya sudah tak sabar ingin segera meledeknya. “WOI BARR...” ucap keduanya bersamaan. Yang hal ini cukup mengejutkan Barra. Barra lepaskan rangkulan keduanya seraya menatap mereka sinis. “Lo berdua apa-apaan sih! Bikin orang jantungan aja!” makinya yaang membuat keduanya seketika menjauh. “Ehehehe... ya sorry, Bar, sorry. Ini, gue tuh penasaran. Kok bisa ya lo seapes itu dan sampe lo rela ngayuh sepeda demi pergi ke sekolah. Bukan Barra banget kan ini. Oh, atau lo emang udah jatuh hati ya sama si, Fiya?” ucap Bayu yang seketika membuat Barra merona. “Wah, mantep tuh, Bar. Ngamoknya bakalan kayak apa tuh para, Barra lovers. Apalagi lo itu jadiannya sama si cewek introvert yang selama ini gak pernah berinteraksi sekalipun dengan seorang Barra Zavier...” imbuh Bima yang semakin membuat Barra merasa tersudutkan. “Wow, bakalan amaze banget deh, Bim, kayaknya kalau beneran kejadian. Keributannya tuh ya, pasti bikin sekolah kita gempar kemana-mana,” ledek Bayu lagi. Yang hal ini membuat Barra semakin merasa kesal. Dan kini tanpa berkata mulai ia bungkam mulut keduanya agar mereka behenti meledeknya sesuka hati mereka. “Stop kalian ledek gue! Gue gak akan jatuh cinta sama siapapun! Cinta gue cuma buat, Mama gue! Janji jangan ngeledek gue lagi or gue bakalan pelintir mulut lo pada!” ucapnya dengan tegas. Dan kini baik Bayu maupun Bima mengangguk yakin seraya mengacungkan jari telunjuk juga jari tengahnya. Hingga dengan kasar Barra lepaskan cengkramannya. “Ya Allah, Bar. Engap tahu gak gue! Tega amat sih lo!” omel Bayu seraya ia elus bibirnya yang memerah. “Tahu lo, Bar! Ganas lo! Kalau kita mati gimana! Lo mau masuk penjara!” imbuh Bima seraya mencebikan bibirnya. “Sorry. Lagian punya mulut pada nyinyir kayak perempuan! Udah tahu gue lagi kesel! Gue tuh terpaksa kesekolah karena posisinya terdesak! Kan, gak mungkin gue jalan kaki balik kerumah kayak orang ilang. Kalau tadi yang gue temuin lo atau lo, ya udah pasti gue ajakin cabut lah! Mana mungkin juara kelas kayak si Chafiya gue ajakin bolos. Otak tuh dipake mikir! Jangan cuma lo pada simpen di dengkul!” jelasnya penuh emosi. Seraya kini ia berlalu begitu saja meninggalkan keduanya. *** Masih ada waktu sepuluh menit sebelum dimulai pelajaran. Kini Barra meminta kepada Bima untuk segera mencharge ponselnya. Setelah saling bicara dan berada disuatu momen yang sebelumnya tak pernah Barra lakukan bersama seorang wanita, entah mengapa hal ini cukup membuat Barra sulit untuk melupakannya. Karena memang sebelumnya ia begitu gengsi jika harus meminta tolong kepada seorang wanita tanpa memberikan imbalan. Namun memang dikala ia menawarkan hal itu kepada Chafiya, justru terlihat dari ekspresi seorang Chafiya, jika seakan Barra sedang merendahkannya. Berbeda dengan mereka semua yang selalu saja merasa begitu bahagia dikala Barra memberikan sebuah pilihan kepada mereka. Sehingga kini Barra mulai berpikir jika memang Chafiya adalah seorang perempuan yang bebeda dengan yang lain. Dan tanpa ia sadari, kini kedua netranya itu tengah mengagumi kecantikannya. ‘Oh my God, Bar! Lo ini apa-apaan! Gak seharusnya lo kagumin dia sampai sebegitunya! Walaupun dia memang teman sekelas lo, tapi lo baru kemarin kenal dia! So, jangan terlalu jauh lo menilai kalau dia itu seorang wanita yang baik!’ gumam Barra dalam hati. Seraya kini ia acak rambutnya frustrasi. Tak lama kemudian, seorang guru memasuki kelas mereka. Barra benar-benar merasa jenuh dikala kini pelajaran berlangsung dimulai. Bermain game di toilet ia tak memegang ponselnya, menggambar pun ia sedang tak mood. Hingga kini ia memilih untuk segera ijin ke toilet. Beruntungnya gurunya kali ini memang seorang guru yang cukup santai, maka kini tanpa banyak perdebatan guru itu pun segera mengijinkannya. Di toilet tak ada satu pun hal yang Barra kerjakan. Sehingga lagi dan lagi ia kembali teringat soal Chafiya. Kini ia mengagumi Chafiya karena sikap pemaafnya itu. Karena Chafiya yang sama sekali tak memperlihatkan jika itu membenci Barra karena sudah dua kali Barra melukainya, juga tak pernah Chafiya mengambil kesempatan kepadanya untuk meminta banyak hal padanya. Barra tarik nafasnya dalam seraya ia buang perlahan. “Oh, s**t! Kenapa gue harus kepikiran sama dia terus sih! Bisa berabe nih urusannya kalau udah begini! No! Gue gak boleh kayak gini! Gue gak boleh mengagumi siapapunn itu! karen asekarang, akan jauh lebih baik jika gue lebih fokus untuk segera jalanin sekolah gue dan segera lepas dari, Papa! Yes, that’s right!” gumamnya seraya kini ia basuh wajahnya berulang kali sebelum ia kembali ke kelas. Sebenarnya hari ini juga menjadi sebuah hari yang menyenangkan karena tak ada seorang Darren yang selalu saja mencari keributan dengannya. Namun nyatanya, masalah lain justru muncul dan ia semakin tersiksa dengan setiap permasalahan hidupnya kini. Barra berjalan gontai menuju kelasnya, hingga dikala kini ia tiba disana, rasa jenuh itu seakan kembali menergapnya, namun tetap ia berusaha untuk tenang dan menjalaninya. Dengan tujuan agar ia cepat menyelesaikan sekolahnya tanpa harus kembali banyak berdebat dengan sang Papa. Hingga kini pelajaran pertama telah usai. Di pelajaran kedua, Barra cukup merasa senang karena kini ponselnya sudah kembali menyala dan ia kembali bisa memainkannya dengan cara sembunyi-sembunyi. Pelajaran kali ini adalah pelajaran yang cukup Barra benci. Yakni pendidikan agama islam yang selalu saja pada akhirnya mereka diminta untuk menyembah Tuhan dan menghapalkan ayat-ayat AL-Quran yang sama sekali tak Barra minati. Hingga kini Barra memilih untuk memainkan game diponsenya tak ia indahkan segala hal yang telah dijelaskan oleh gurunya. Setelah dijelaskan, gurunya memberikan tugas untuk mereka semua. Dan seperti biasa, Barra meminta bantuan Bima untuk menyelesaikannya dengan bayaran yang nantinya akan ia transfer. Sebenarnya Bima tak menyukai hal ini karena ia juga ingin Barra bisa lulus sekolah hasil dari kerja kerasnya sendiri sebagai seorang siswa. Namun karena memang ia yang membutuhkan uang itu, maka selalu saja ia menuruti setiap permintaannya. Kini Bima kembalikan buku tugas Barra dengan wajah gamangnya yang hal ini cukup membuat Barra merasa aneh. “Lo kenapa sih, Bim? Lo, takut gak gue transfer uangnya?” Bima pun menggeleng seraya ia tersenyum. “Sebenarnya gue gak suka ngelihat lo begini, Bar. Gue kepengin lo itu kerjain semua tugas lo sendiri. Lo lulus atas kerja keras lo. Tapi gara-gara tawaran gue, lo malah jasi ngandelin gue, sorry ya,” *** “Selagi kau mampu bertumpu dengan kedua kakimu, jangan coba tuk bergantung. Karena yang bergantung, akan membuat hidupmu bagai patung.” -Tulisannisa-
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN