Gara-gara Kinderjoy

838 Kata
Ananta baru saja hendak pulang, sebelum seorang perempuan memanggil namanya keras-keras. Ingin rasanya mengabaikan, tapi begitu melihat cokelat yang dibawa perempuan itu, niat mengabaikan Ananta sirna. "Kenapa, Kak?" tanya Ananta datar. "Titip ini buat Jefri, ya." See. Ini alasan Ananta tidak jadi mengabaikannya. Dia tahu ini salah satu penggemar Jefri yang bakal nitip kado ke Ananta seperti cewek-cewek lainnya. "Oh ya. Ada lagi?" tanya Ananta basa-basi. Cewek itu diam sebentar, kemudian tersenyum lebar. "Di belakang kemasan cokelat ini ada nomor sama nama gue. Tolong bilangin ntar supaya hubungin gue kalau udah terima cokelatnya, ya." "Sip. Gue balik ya, Kak." Udah, gitu aja basa-basi Ananta. Seandainya bukan adiknya Jefri, sudah pasti Ananta bakal kena damprat para senior yang tidak suka dengan sikap tidak sopannya. Mana Ananta dekat dengan para cogan-cogan lagi. Pastinya siapa, sih, yang tidak iri? "ANANTA!" Kali ini Ananta menoleh dengan antusias. "Akhirnya ketemu gue sama lo." Ananta berdesis sinis dengan senyuman setannya. Cowok yang memanggil Ananta barusan berlari ke arahnya, menyeimbangkan langkah dengan Ananta. "Eh, Kak Arga. Mau pulang, Kak?" tanya Ananta sok manis. Arga tiba-tiba bergidig ngeri jika sikap Ananta sudah seperti ini. "Kak? Kesurupan lo, Ta?" "Makan di kafe sebrang, yuk?" Tanpa aba-aba langsung saja Ananta meraih tangan Arga dan berjalan cepat ke arah kafe yang dimaksud. Tidak terlalu jauh, sih, tiga menit juga sampai di sana. "Apaan nih, Ta? Astaga!" Arga kehabisan kata. Ingin menghentikan Ananta, tapi tidak bisa. Apalagi sekarang sudah sampai di depan kafe. "Traktir gue makan di sini. Gue gak mau tahu!" decak Ananta, setelah mendudukkan Arga dengan paksa di atas kursi. Salah Arga, sih, tadi nyulik Nizar. Padahal Ananta sudah berbaik hati tidak ingin merepotkannya. Eh, malah... "Ta, di sini makanannya mahal-mahal..." bisik Arga, tapi tidak direspon Ananta. Cewek itu justru malah dengan sigap memanggil pelayan. "Mbak, ayam geprek sambal matahnya satu porsi, mie ramennya juga boleh deh level lima. Teh manis panas dua, sekalian sama es krim rasa durennya yang jumbo ya, Mbak." Seolah sudah hafal semua menu di kafe tersebut, tanpa membuka buku menu Ananta sudah nyerocos menyebutkan pesanannya. "Ta," desah Arga tak habis pikir setelah pelayan meninggalkan mereka. Ananta menatap sinis. "Ini bayaran gara-gara lo nyulik Nizar tadi!" ketusnya. "Apaan? Gara-gara nyulik Nizar?" "Iya, dia mau neraktir gue tapi keburu lo bawa pergi. Jadi gue bayar pake uang gue." Arga malah cekikikan. "Cuma gara-gara lo bayar makanan lo sendiri?" tanyanya setengah gemas. "Pelit amat anjir buat perut sendiri juga." "Ya, bukan itu, Ga. Masalahnya ya, duit gue tinggal dikit, makanya gue, tuh, harus minta traktir sana-sini." "Gak dikasih duit sama nyokap?" "Dikasih. Tapi abis gue beliin kinder joy sama stik pees," balas Ananta polos. "Kinder joy? Gak salah lo?" tanya Arga tak habis pikir. Masa, sih, uang yang mungkin lumayan banyak itu habis hanya buat beli kinder joy? Emang harga kinder joy berapa, sih? Somplak memang Ananta, tuh. "Ya, pokoknya duit gue abis!" Ananta manyunin bibir. Hampir lima belas menit Arga habiskan hanya untuk menatap Ananta yang makan lahap semua makanan di meja. Porsi makan Arga besar, wajar dia cowok. Tapi Arga tak mengerti dengan Ananta. Dia perempuan, makan banyak, tapi badan tetap kurus kerempeng begitu. Apa karena kebanyakan ngupil makanya kurus tuh bocah? Bodoh. "Bakalan abis, Ta?" Arga tanya. "Lo pikir?" respon Ananta, masih terfokus pada makanannya. Mana gak feminin lagi makannya, pakai tangan terus belepotan. "Lo gak makan berapa tahun, sih? Heran gue, njir." Arga geleng-geleng kepala. "Gue belum makan sedari gue embrio." "Ck. t***l!" *** Ananta selonjoran di teras depan televisi sambil menepuk-nepuk perutnya yang begah kekenyangan. Bosan hanya selonjoran, Ananta membuka ponsel dan memainkan game online di ponsel pintarnya. Penghilang penat di kala pulang kampus memang main game. Sebenarnya Ananta punya tugas dari dosen, tapi mager gitu. "Udah pulang, Ta?" Ananta mendongak sebentar, melihat Jefri yang kelihatannya baru pulang --dilihat dari tas yang masih tersampir di bahu kanannya. "Yoi, Kak. Tumben pulang cepet?" Wajar, sih, nanya begitu. Soalnya Jefri itu selalu sibuk di kampus, entah mengurus apa. Makanya, sementara Jefri sibuk dengan urusannya, Arga-lah yang selalu Ananta recoki. Ananta mintai antar ke sana-sini, Ananta mintai bantu ngerjain tugas, sampai kadang-kadang dimintai nemenin Ananta kalau Jefri belum pulang hingga larut. Intinya, Arga, tuh, kayak kakak kedua buat Ananta. Meski kadang ngeselin. "Lagi free. Mama ada nelpon?" Singkat. "Gak ada. Terakhir nelpon kemaren malem." "Oh, yaudah. Gue naik, ya." "Hm." Ananta mangut-mangut. Sampai ketika Jefri sudah tidak ada, Ananta termenung. Tumben Jefri gak banyak ngomel. Biasanya juga sekalinya ngomong sama Ananta isinya rentetan kalimat yang sedap didengar sampai Ananta pengin nutupin kuping pakai kapas. Yaudahlah. Lanjut nge-game lagi. Kemudian, Ananta ingat tentang kado yang dititipkan ke dia. "KAK, ADA YANG NITIPIN COKELAT KE LO! COKELATNYA GUE MAKAN, YA?" teriak Ananta, entah kedengaran atau tidak oleh Jefri. Tidak ada jawaban, Ananta simpulkan bahwa jawabannya: ya, makan aja sana, gue gak suka. Ananta cekikikan, mengambil tas di belakangnya dan mulai melahap cokelat yang ia ambil di sana. Begini enaknya punya abang ganteng. Ngeselin, sih, Jefri itu sebenarnya. Tapi juga baik, karena kado yang dititip ke Ananta biasanya secara otomatis akan jadi miliknya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN