Aku Mencintai Maudy, Kakak!

1073 Kata
“Ini untukmu!” Langkah Romeo terhenti ketika ia hampir saja memasuki ruangannya. Pandangannya tertarik oleh pemandangan di depan sana. Gavin berdiri dengan sikap penuh percaya diri, menghadang jalan Maudy dan dengan lembut menyodorkan sebuket mawar merah yang begitu segar. Tatapan mata Gavin mengunci pada Maudy, penuh intensitas, seolah dunia di sekitarnya menghilang. Maudy, si gadis berparas lembut, tampak terkejut. Alisnya sedikit terangkat, bibirnya mengerucut dengan bingung. Jari-jarinya yang ragu menyentuh kelopak mawar itu, merasakan kehalusan tiap lembaran, seakan menyentuh serpihan hati Gavin yang tersembunyi di balik bunga-bunga itu. “Dalam rangka apa?” tanya Maudy, suaranya nyaris tak terdengar, sedikit gentar dengan apa yang akan datang setelahnya. Gavin tersenyum, tatapan dalam matanya menghangat, seolah-olah jawaban itu sudah lama ada di bibirnya, hanya menunggu momen yang tepat untuk dilontarkan. Dia maju satu langkah, hingga jarak di antara mereka hampir hilang, dan Maudy bisa merasakan aroma maskulin yang samar tercium di udara pagi yang sejuk. “Aku juga tidak tahu dalam rangka apa,” jawab Gavin dengan suara rendah yang bergetar lembut. “Namun aku sangat ingin memberikan ini setiap hari.” Kata-kata itu meluncur dengan anggun, menghanyutkan Maudy dalam pusaran ketidaktahuan. Matanya membesar, tubuhnya menegang sesaat, terjebak antara keindahan bunga itu dan kebingungan atas niat tersembunyi di baliknya. Di kejauhan, Romeo yang masih berdiri di depan pintunya, memperhatikan semuanya dengan napas yang terengah. Tangannya bergetar hebat, tubuhnya tegang. Sebuah rasa yang tidak bisa ia tahan merayap dari dasar hatinya—cemburu yang begitu pekat hingga seolah-olah itu bisa meracuni udara di sekelilingnya. Pulpen yang ada di genggamannya, hancur di antara jari-jarinya, patah menjadi dua, sebelum jatuh dengan suara kecil yang tak terdengar. Maudy tersenyum ragu pada Gavin, tatapannya masih bingung, namun tetap hangat. Tidak ada kebencian, tidak ada ketidaknyamanan, hanya Maudy yang begitu lembut dalam menanggapi semua perhatian yang ditujukan padanya. Namun, bagi Romeo, pemandangan itu adalah racun yang menggerogoti perasaannya sedikit demi sedikit. Maudy, gadis yang telah memberikan hatinya pada Romeo tanpa syarat, tetaplah gadis yang sama. Namun, cara Gavin menatapnya—penuh harap, penuh janji yang tak terucapkan—membuat segala sesuatu di dalam diri Romeo seakan runtuh perlahan. Setiap kali Maudy menerima perhatian dari orang lain, setiap kali senyumnya terulur, meskipun hanya basa-basi, itu terasa seperti belati yang menusuk lebih dalam ke dalam hatinya. Tatapan Romeo tak lepas dari Maudy, meskipun tubuhnya terasa kaku, gemetar di bawah tekanan emosi yang membara. Udara pagi yang seharusnya sejuk, kini terasa panas membakar bagi Romeo. Suara napasnya terdengar semakin berat, seolah dinding di sekitarnya semakin menutup rapat, menghimpitnya dalam kecemburuan dan kemarahan yang tak terkatakan. Maudy menoleh sejenak, dan matanya bertemu dengan pandangan Romeo. Ada kilatan rasa di sana, sesuatu yang menyentuh jauh ke dalam hatinya. Tatapan Romeo begitu penuh—cinta, harapan, dan ketakutan kehilangan, semua terbungkus dalam satu tatapan yang dalam. Maudy tidak bisa mengabaikannya. “Romeo...” bisiknya, hampir tak terdengar, namun cukup untuk membuat dunia Romeo goyah sejenak. Untuk sepersekian detik, dunia seolah berhenti. Tatapan Maudy dan Romeo bertaut dalam keheningan yang memabukkan, menembus kedalaman hati masing-masing tanpa satu kata pun terucap. Namun, momen itu hanya sekejap, seperti embun pagi yang menguap saat matahari terbit. Tedy, sang asisten yang setia, segera menyadari keheningan yang terlalu panjang dan bergejolak, lalu mendekat dengan cepat. “Mari masuk, Tuan,” ajak Tedy dengan nada rendah, hampir seperti bisikan yang mencoba melarikan Romeo dari kenyataan yang menyakitkan. Tedy tahu persis bahwa tatapan itu—tatapan penuh rasa cinta yang selama ini dipendam Romeo—tak seharusnya terlihat oleh siapapun, terlebih oleh Maudy. Gadis yang, sayangnya, kini berada di bawah sorotan Gavin, adik dari tuannya yang tampak semakin berani mendekati Maudy. Romeo, dengan d**a yang terasa sesak, akhirnya mengalihkan tatapannya, melengos seperti angin yang kehilangan arah. Ia masuk ke dalam ruangannya dengan langkah berat, melemparkan tubuhnya ke atas sofa dengan sembarang, seolah ingin meredam gejolak yang bergemuruh di dalam dirinya. Namun, perasaan itu tidak mau diam. Itu tumbuh liar, memakan setiap sudut hatinya. “Anda tidak bisa seperti ini terus, Tuan,” ujar Tedy, nada suaranya penuh perhatian namun tegas. Di balik kesetiaannya, Tedy paham bahwa situasi ini tidak akan berakhir baik bagi tuannya. Rasa sakit yang tertahan, cinta yang terpendam, hanya akan menghancurkan Romeo sedikit demi sedikit. Romeo menatap Tedy dengan tajam, matanya penuh kemarahan yang tak terkatakan, sebuah badai yang siap meledak kapan saja. “Dia milikku! Dia perempuan *ku*!” suara Romeo pecah dalam kemarahan dan keputusasaan, seolah semua emosi yang terpendam terlalu lama kini tumpah begitu saja. Tedy menarik napas dalam, mencoba tetap tenang di hadapan amarah yang membara. “Saya mengerti, Tuan. Tapi—” “Panggil Gavin ke sini!” potong Romeo dengan suara penuh tekanan, nada suaranya hampir menyerupai raungan singa yang terluka. “Tapi, Tuan...” Tedy mencoba membujuk, namun ia tahu, tak ada gunanya. Tatapan Romeo adalah perintah yang tidak bisa ditolak. “Panggil dia ke sini!” teriak Romeo, suaranya menggema di dalam ruangan, menandakan ketidaksabarannya yang sudah mencapai puncak. Tedy, tanpa pilihan lain, menunduk dalam-dalam sebelum keluar dari ruangan untuk mematuhi titah tuannya. Beberapa menit kemudian, Gavin muncul, dipandu oleh Tedy. Aura kepercayaan diri yang biasa terpancar dari Gavin sedikit memudar di bawah bayang-bayang amarah kakaknya. “Kakak memanggilku?” tanyanya dengan sedikit keraguan, meski ia berusaha tetap tenang. Romeo, yang masih berusaha meredam emosi yang menggelegak, menghela napas dalam, mencoba menjaga wibawanya di hadapan adiknya itu. Namun, tatapannya tak bisa disembunyikan—tatapan penuh rasa cemburu dan kekecewaan yang mendalam. “Aku sudah bilang, jangan usik Maudy!” Kata-kata itu keluar dengan tajam, menusuk keheningan yang ada di antara mereka. Gavin terdiam sejenak, wajahnya tak menampakkan rasa bersalah. Sebaliknya, ia menatap Romeo dengan penuh keyakinan, seolah ia merasa dirinya tidak bersalah. “Aku tidak membuat kesalahan. Aku—” “KAMU SUDAH BERTUNANGAN DENGAN ADIRA!” Romeo menghardik, suaranya meledak seperti petir di langit malam yang tenang. Setiap kata yang keluar adalah lontaran amarah yang ia tahan terlalu lama. Gavin tertegun, matanya melebar dalam keterkejutan, menatap kakaknya yang tampak begitu marah. Kedua alisnya bertaut rapat, dan bibirnya membentuk garis tipis. “Aku tidak mencintai Adira,” Gavin berkata dengan nada rendah, suaranya penuh keyakinan. “Aku—” “Jauhi Maudy…” ujar Romeo, kali ini dengan suara yang lebih rendah, hampir seperti bisikan yang sekarat. Setiap kata keluar dengan usaha yang besar, seolah-olah menahan badai yang siap meledak di dalam dadanya. Gavin menggelengkan kepalanya perlahan, tangannya mengepal erat, menunjukkan ketegasan yang selama ini jarang ia perlihatkan. “Aku mencintai Maudy!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN