"Jadi yang meninggal itu adalah kakaknya?" Romeo bertanya, suaranya terdengar parau, hampir tenggelam dalam deru napasnya yang tertahan. Pikirannya bergulat dengan fakta yang baru saja terungkap. Kenapa selama ini dia tidak tahu? Tiga tahun mereka hidup bersama, namun jarak di antara mereka selalu begitu nyata, seperti jurang yang tidak pernah bisa ia seberangi.
Tedy mengangguk pelan, menatap Romeo dengan tatapan penuh simpati. "Benar, Tuan. Yang di rumah sakit itu adalah kakaknya Nona Maudy," jawab Tedy lembut. Keduanya kini berada di ruang kerja Romeo, sebuah tempat yang biasanya menjadi pelarian Romeo dari dunia, namun kini hanya mempertegas kekosongan yang ia rasakan. Bayang-bayang masa lalunya dengan Maudy kini terasa lebih berat dari sebelumnya, menyelubungi setiap sudut ruangan dengan kesalahan yang tak terkatakan.
Setelah mengantar Kleo ke apartemennya, Romeo kembali ke sini, tapi pikirannya tertinggal entah di mana—terjebak dalam kenangan dan kebingungan. Pertanyaan Tedy yang tiba-tiba menghantamnya seperti palu, mengguncang dunia yang ia pikir sudah ia pahami.
''Apakah tuan dan nona Maudy benar-benar sudah bercerai?" Tedy melanjutkan, suaranya dipenuhi keraguan, seolah takut membuka luka yang masih segar.
Romeo terdiam, tenggelam dalam pikirannya. Faktanya, pernikahan kontraknya dengan Maudy memang sudah berakhir. Namun, kenapa lidahnya terasa begitu berat untuk mengakui itu? Ada sesuatu yang masih menahannya, sesuatu yang mengikat hatinya pada Maudy, meski dia tahu semuanya sudah berakhir di atas kertas.
Tedy, yang bisa membaca ketidaknyamanan di wajah Romeo, mencoba mengalihkan topik. "Oh, iya. Nama kakaknya Nona Maudy, apakah tuan tahu?" tanyanya, berusaha meredakan ketegangan.
Romeo menggeleng pelan, wajahnya masih diliputi kebingungan. "Siapa?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Tedy menunduk sejenak sebelum menjawab. "Antonio, lelaki yang selalu Nona Maudy panggil di dalam tidurnya, Tuan," jelasnya, yang langsung membuat Romeo terbelalak. Seketika itu juga, hatinya seperti tenggelam lebih dalam ke dalam jurang penyesalan yang tak berujung.
''Apa itu benar?" Romeo berbisik, seakan masih berharap penjelasan itu hanyalah salah paham.
''Betul, Tuan. Saya diam-diam telah mengambil informasi dari bagian administrasinya," jawab Tedy jujur, tanpa sedikit pun berniat menambah beban yang sudah menggelayuti hati Romeo.
Romeo jatuh terduduk di kursinya, kedua tangannya mengepal erat, seolah mencoba menahan rasa sakit yang menghantamnya bertubi-tubi. "Aku... aku telah membuat banyak kesalahan, Tedy," ucapnya dengan suara serak. "Aku harus bagaimana?"
Selama ini, lelaki yang selalu ia cemburui, yang ia anggap sebagai ancaman, ternyata adalah kakak Maudy—sosok yang Maudy rindukan dan cintai sebagai keluarga. Semua prasangka buruk yang pernah ia pikirkan kini terasa seperti pisau yang ia hunjamkan sendiri ke dalam hatinya.
"Aku telah buta," pikirnya dengan getir. "Buta oleh kecemburuan, buta oleh kesombongan."
"Lalu aku harus bagaimana, Tedy?" keluh Romeo, suaranya berat dan penuh beban, seolah setiap kata yang keluar dari bibirnya membawa serpihan hatinya yang hancur. Ia menatap langit kelam di luar jendela, mencoba mencari jawaban di antara bintang-bintang yang bahkan tampak enggan bersinar malam itu.
"Saya tidak tahu, Tuan. Anda sudah melepaskan Nona Maudy. Dan saya pikir, sudah tidak ada alasan bagi Anda untuk kembali mendekatinya," jawab Tedy dengan nada datar, penuh hormat, namun tak dapat menyembunyikan sedikit ketegangan di dalamnya. Mata Tedy lurus menatap lantai, menghindari tatapan Romeo yang dipenuhi kerinduan yang tak pernah padam.
"Aku masih sangat mencintainya, Tedy," keluh Romeo lagi, kali ini suaranya hampir patah, seperti desahan angin yang tersesat di padang yang tandus. Matanya menerawang, memvisualisasikan sosok Maudy dalam bayangannya, senyum lembutnya, dan tawa kecil yang dulu bisa menghangatkan jiwanya yang kini beku.
"Tapi, Anda adalah tunangannya Nona Kleo," lanjut Tedy, sedikit gemetar saat menyebutkan nama itu. "Pernikahan Anda dengan Nona Maudy terjadi secara diam-diam. Dan sekarang semuanya telah berakhir." Kata-katanya seperti pisau tajam yang menusuk perlahan, namun pasti. Setiap kalimat, setiap kebenaran yang keluar, menambahkan luka di hati Romeo.
Romeo terdiam, kedua tangannya mengepal erat seakan hendak menghancurkan dunia kecil yang tersisa di sekelilingnya. Nafasnya terengah-engah, tidak dari kelelahan, tapi dari rasa perih yang berkecamuk dalam dadanya. Cinta yang ia rasakan untuk Maudy masih begitu kuat, begitu mengakar, namun terhalang oleh rantai takdir yang ia ikatkan sendiri. Langit seakan ikut menangis bersamanya, hujan mulai turun, menetes di luar jendela seperti air mata yang telah lama ia tahan
________________________
Gavin menatap wajah jelita Maudy yang kini tampak begitu rapuh, seolah-olah semua kebahagiaan telah tersapu oleh gelombang kesedihan yang tak berujung. Kedua matanya yang biasanya berkilau cerah kini memerah, dan air mata mengalir tanpa henti, jatuh tanpa suara, hanya menyisakan jejak keperihan di pipinya yang pucat.
“Makanlah…” bisik Gavin, suaranya lembut namun penuh ketegasan. Dia tahu, meskipun hati Maudy dipenuhi luka, tubuhnya tetap membutuhkan tenaga. Kesedihan yang dalam tidak boleh membuatnya lupa untuk bertahan.
Maudy menggeleng pelan, suaranya lemah dan hampir tak terdengar, “Ini sudah malam…” Matanya melirik jam dinding yang tak kenal lelah, menunjukkan pukul tiga dini hari. Suasana rumah sakit begitu hening, hanya sesekali suara langkah kaki terdengar samar di kejauhan. Di dalam ruangan itu, Maudy masih duduk diam, menunggu jenazah sang kakak yang tengah diurus oleh pihak rumah sakit. Sebuah penantian yang penuh dengan kesedihan dan rasa hampa.
“Kalau begitu, tidurlah sebentar…” Gavin berkata dengan nada lembut sambil menepuk bahu Maudy perlahan, seakan ingin membiarkannya bersandar, memberikan sedikit ruang bagi gadis itu untuk melepaskan beban di pundaknya. Namun, Maudy hanya menggelengkan kepalanya, matanya tetap terpaku pada pintu ruangan di mana tubuh kakaknya bersemayam.
“Aku ingin menunggu kakak di sini. Aku ingin tetap terjaga sampai besok… sampai dia dikuburkan,” gumamnya dengan suara parau, tekad yang tersirat di balik kepedihan itu begitu kuat, namun tubuhnya yang lemah berkata sebaliknya. Gavin hanya bisa menatapnya dengan penuh simpati, hatinya tak tega melihat Maudy seperti ini—seorang gadis yang telah kehilangan separuh jiwanya.
Merasa tak sanggup lagi melihat Maudy menahan kesedihan sendirian, Gavin perlahan menariknya ke dalam pelukannya. Dengan lembut, ia membiarkan Maudy bersandar di bahunya, memberi ruang bagi gadis itu untuk sejenak beristirahat di tengah badai duka yang menyelimuti. "Tidurlah sebentar... Aku khawatir kamu akan kelelahan," bisiknya dengan penuh kasih sayang, suaranya seperti melodi yang menenangkan jiwa yang terluka. Maudy, tak mampu menolak kebaikan itu, akhirnya menyerah dan membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan Gavin. Meski hanya sementara, sandaran itu memberinya sedikit rasa aman di tengah rasa kehilangan yang begitu mencekam.
Namun, di balik koridor gelap itu, di dalam bayang-bayang sunyi, sepasang mata penuh kemarahan menatap mereka. Romeo berdiri kaku, cemburu yang membakar dadanya, menggulung seperti ombak yang menghantam karang. Kedua tangannya mengepal erat, menahan amarah yang memuncak di dalam hatinya. Gadis yang ia cintai kini bersandar pada pria lain, dan ia hanya bisa menyaksikan, tak berdaya dalam badai emosinya sendiri.
"Sejak kapan kalian se deket itu ...." gumam Romeo, nyaris tidak terdengar.