Maudy Jadi Berbeda

905 Kata
"Akh!" Maudy tersentak kaget saat tiba-tiba tubuhnya dipeluk erat dari belakang. Jantungnya berdetak kencang, bukan hanya karena terkejut, tetapi karena ia mengenali aroma maskulin yang memenuhi udara di sekitarnya—parfum yang sudah sangat dikenalnya. Parfum yang selalu mengingatkannya pada Romeo. Baru saja ia kembali ke apartemen setelah menyaksikan pemakaman kakaknya, tubuhnya lelah, pikirannya penat, dan semua yang ia inginkan adalah tidur siang untuk melarikan diri sejenak dari rasa sakit yang membara di dalam dadanya. Namun, kini ia mendapati dirinya dalam pelukan seorang pria yang memasukinya secara diam-diam. "Aku turut berduka cita..." suara Romeo terdengar serak, berat, seolah ia pun merasakan luka yang tak kasat mata di hati Maudy. Tanpa izin, tanpa pemberitahuan, ia telah masuk ke dalam apartemen Maudy, hanya untuk bisa berada di dekatnya. Dekat dengan gadis yang hatinya telah merenggut sebagian jiwanya. Maudy perlahan mendorong Romeo, tidak kasar, namun cukup tegas untuk memberi jarak antara mereka. "Kenapa Anda ada di sini?" suaranya tenang, hampir dingin, meskipun di balik ketegarannya, Romeo tahu betapa terluka gadis itu. Ia bisa melihat dengan jelas sisa-sisa air mata di sudut mata Maudy, dan meskipun ia mencoba menutupinya dengan senyuman tipis yang kaku, kesedihan itu tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Romeo tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat kedua tangannya, memegang wajah jelita Maudy dengan lembut, ibu jarinya membelai pipi gadis itu. "Menangislah di pelukan ku..." suaranya lembut, hampir memohon. Ia ingin Maudy melepaskan semua beban yang ia pikul sendirian, agar ia bisa merasakan, setidaknya sedikit, dari kepedihan yang mengoyak hati gadis itu. Namun, Maudy hanya terdiam, bibirnya membentuk senyum yang begitu tenang, begitu tidak wajar. Romeo merasakan kegelisahan mulai merayap di hatinya. "Maudy..." suaranya bergetar, mencerminkan rasa takut yang mulai menyeruak. Senyum itu, senyum yang seharusnya tak ada di wajah gadis yang sedang berduka, seolah menjadi penyangkalan yang begitu tebal, begitu keras. "Aku baik-baik saja, Pak Romeo," kata Maudy dengan suara yang begitu tegas, seolah memantulkan perisai tak terlihat yang ia ciptakan untuk melindungi dirinya dari empati dan perhatian orang lain. Dalam satu kalimat itu, ia menolak segala bentuk kasih sayang yang Romeo coba tawarkan, mengisyaratkan bahwa ia tidak membutuhkan bantuan siapa pun, bahkan dari pria yang pernah mengisi hatinya. "Maudy..." Romeo mencoba lagi, tetapi kali ini, suaranya tidak lagi penuh keyakinan. Ia takut, takut bahwa Maudy telah tersesat dalam duka yang begitu dalam hingga ia memilih untuk menyembunyikan semua rasa sakit di balik wajah yang tegar. Maudy menatap Romeo sejenak, lalu dengan perlahan namun pasti, ia mendorongnya menjauh. "Keluar dari apartemen saya. Anda tidak boleh berada di sini." Suaranya tegas, tanpa keraguan. Mata Maudy menatapnya dingin, seakan mengunci semua emosi yang tadinya mengalir deras di dalam hatinya. _____________________ Romeo benar-benar terkejut saat melihat Maudy muncul di depan pintu kantornya pagi itu. Dia yakin, sepenuhnya yakin, bahwa gadis itu tidak akan masuk kerja setelah pemakaman kakaknya yang baru saja berlangsung sehari sebelumnya. Bagaimana mungkin seseorang yang baru saja merasakan kehilangan begitu besar bisa menjalani hari dengan tenang? Namun, di hadapannya, Maudy berdiri tegak, mengenakan setelan rapi seperti biasa, seolah tak ada yang berubah. "Selamat pagi, Pak. Ini jadwal Bapak hari ini. Saya sudah memesan tempat di Luxury, dan kita akan bertemu dengan pihak investor di sana." Suaranya tenang, profesional, seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda kelemahan, tidak ada jejak duka di wajahnya yang tetap tampak jelita. Romeo hanya terdiam. Kata-kata Maudy seakan terbang melewati telinganya, sementara pikirannya sepenuhnya terpaku pada wajah gadis itu—wajah yang ia kenal dengan baik. Setiap lekuk, setiap gerakan halus bibirnya ketika berbicara. Di dalam hati, pertanyaan-pertanyaan berputar, melingkar seperti badai: *Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia benar-benar sudah pulih dari kesedihannya? Atau apakah dia hanya menyembunyikan rasa sakit itu di balik topeng ketangguhan yang dibuat-buat?* “I-iya,” jawab Romeo akhirnya, suaranya terdengar gugup dan terputus-putus, jauh dari kepercayaan diri yang biasanya melekat padanya. Maudy memberi anggukan kecil. "Kalau begitu, saya permisi. Seperti biasa, saya sudah menyiapkan semua bahan untuk meeting kita di sana, dan saya akan memberitahu Bapak sepuluh menit sebelum kita berangkat ke Luxury." Suaranya tetap tenang, seolah tidak ada yang salah. Gadis itu hampir berbalik untuk meninggalkannya, tetapi sebelum ia sempat melangkah pergi, Romeo, dalam gerakan yang refleks, meraih tangannya. “Maudy!” Suara Romeo terdengar serak, dipenuhi oleh kecemasan yang ia sembunyikan dengan susah payah. Jantungnya berdegup kencang, perasaannya terombang-ambing antara ingin membantu dan rasa tak berdaya. Maudy memutar tubuhnya, menatap Romeo dengan tatapan yang masih penuh dengan ketenangan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak? Apakah Bapak butuh ganti baju?" tanya Maudy, suaranya begitu formal, seolah-olah pertanyaan Romeo barusan hanyalah bagian dari percakapan bisnis. Romeo hanya bisa melongo, tertegun oleh jawaban yang sama sekali tidak ia duga. *Bagaimana bisa dia begitu tenang? Bagaimana bisa dia bertanya dengan sedingin itu, padahal aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja?* pikirnya. Ia membuka mulut untuk menjawab, tapi kata-kata seakan tersangkut di tenggorokannya. Akhirnya, dengan suara yang lebih lirih dari yang ia maksudkan, ia berkata, “Enggak… nggak perlu. Aku nggak butuh apa-apa.” Dengan pelan, Romeo melepaskan genggamannya dari tangan Maudy. Sentuhannya tadi terasa seolah hanya angin yang berlalu bagi gadis itu. Tidak ada reaksi, tidak ada getaran di matanya. Maudy hanya tersenyum kecil, senyuman yang tidak menyentuh matanya, sebelum kembali melangkah pergi. Namun, hati Romeo terasa sesak, seolah ada yang terhimpit di dalamnya. *Dia tangguh, itu jelas. Tapi mengapa aku merasa seperti melihat dinding es yang dia bangun di sekitarnya?* pikirnya dengan getir. Di balik ketangguhannya, ada sesuatu yang Maudy sembunyikan—sesuatu yang bahkan ia, dengan semua kepeduliannya, tidak mampu tembus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN