Belati Yang Menusuk Hati Romeo.

1072 Kata
"Ikuti dia!" Suara Romeo meluncur dingin namun penuh otoritas, seperti gemuruh badai yang mendesak awan hitam. Tedy, dengan sikap patuh seorang prajurit setia, segera mengangguk sambil menekan pedal gas. Mobil mereka melaju membelah jalanan yang sibuk, namun bagi Romeo, hanya ada satu fokus—taksi yang membawa Maudy menjauh, seolah berusaha kabur dari takdir yang tidak ingin ia hadapi. Mata Romeo, tajam seperti elang yang membidik mangsanya, terus tertuju pada taksi itu. Pikirannya berputar-putar, bercampur antara frustrasi dan hasrat yang tak tertahankan. **Maudy**, nama itu saja menggetarkan jiwanya, namun kini terasa bagai duri yang menancap di hati. "Dia jadi cuek sama aku," gumam Romeo dengan nada yang sarat akan luka. Kata-kata itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri daripada pada Tedy yang hanya bisa menyetir dalam keheningan, merasa bimbang antara menjalankan tugas atau memberi simpati. "Aku sudah memintanya kembali padaku... bahkan aku tawarkan pernikahan diam-diam." Suara Romeo serak, penuh penyesalan yang terselubung di balik harga dirinya yang terluka. Tedy melirik kaca spion, mencoba mencari jawaban di wajah atasan yang biasanya tak tergoyahkan. "Mungkin, nona Maudy ingin Anda menikahinya secara resmi," jawabnya hati-hati, meski ia tahu kata-kata itu seperti menyentil api di dalam d**a Romeo. Romeo menggelengkan kepala dengan cepat, nafasnya berat dan terburu-buru, seperti seseorang yang berdiri di tepi jurang, takut jatuh tapi juga tidak ingin kembali. "Tidak mungkin, Tedy," ujarnya tegas, seolah-olah ia sedang melawan kenyataan yang berusaha menghimpitnya. "Sebelum perusahaan ini berdiri sendiri. Ayah Kleo yang menolongku dan membuat perusahaan ini berdiri kokoh. Bagaimana mungkin aku menikahi Maudy secara terang-terangan? Itu akan menghancurkan semuanya." Suara Tedy terdengar mantap, namun nadanya lirih, "Kalau begitu... lepaskan saja Nona Maudy, Pak." Kata-kata itu membakar udara, memicu api yang terpendam dalam hati Romeo. "TIDAK! AKU TIDAK BISA!" teriaknya, dengan suara yang menggema di dalam mobil, mengguncang suasana. "Aku sangat mencintainya," bisiknya kemudian, lebih kepada dirinya sendiri, seolah cinta itu adalah sesuatu yang terlalu besar untuk ia kendalikan, sesuatu yang bahkan lebih kuat dari logika atau rasa takutnya pada Kleo. Dan di luar sana, di dalam taksi yang terus bergerak, Maudy mungkin tak menyadari bahwa ia sedang diikuti, namun ia pasti bisa merasakan jalinan takdir yang terus mengikatnya erat pada pria yang tak pernah bisa melepaskannya—Romeo. Tedy menghela napas panjang, menatap lurus ke jalan di depannya, meskipun pikirannya berkecamuk. "Anda tidak bisa memperlakukan Nona Maudy seperti wanita simpanan, Pak. Itu terlalu kejam untuknya." Suaranya tegas, namun ada nada getir di sana—sebuah kenyataan pahit yang tak terucapkan. Romeo membuang pandangan ke luar jendela, seolah mencari jawaban di antara lampu-lampu kota yang berkedip-kedip. Matanya yang biasanya dingin kini berkilat oleh kesedihan yang mendalam, sebuah kesedihan yang selalu ia sembunyikan di balik kekuasaannya. "Kamu tidak tahu apa-apa, Tedy," gumamnya, suaranya hampir pecah, seolah mengeluarkan sebuah beban yang terlalu lama ia pendam. "Aku tidak pernah menganggap Maudy sebagai wanita simpanan. Di dalam hatiku... dia satu-satunya." Satu-satunya! Kata-kata itu menggema di udara, seperti bisikan lembut namun mematikan. Bagi Romeo, Maudy bukan sekadar bagian dari hidupnya, dia adalah pusat dari setiap keputusan, setiap langkah yang ia ambil, meski langkah-langkah itu menyeretnya semakin jauh dari kenyataan. "Tapi, kenyataannya Anda akan menikah dengan Nona Kleo," Tedy menjawab, suaranya penuh kepastian meski ia tahu kalimat itu adalah racun bagi telinga Romeo. Romeo tertawa kecut, getirnya tertelan oleh suasana sunyi yang merayap di antara mereka. "Pernikahan itu... hanya simbol, Tedy," ujarnya dengan nada rendah namun penuh keyakinan. "Simbol yang bisa kubuang kapan saja. Kleo mungkin akan menikah denganku, berdiri di sampingku dalam segala hal yang tampak. Tapi hatiku? Hati ini tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi miliknya." Kata-kata itu meluncur seperti angin yang membawa aroma pahit, dan Tedy bisa merasakan beban yang dipikul oleh bosnya. Pernikahan yang akan datang, seperti topeng yang harus dikenakan Romeo di depan dunia, sementara hatinya tetap terjebak dalam belenggu cinta yang tak pernah ia ungkapkan dengan cara yang benar. Maudy adalah matahari bagi Romeo—menyinari, namun begitu jauh dan tak tersentuh. "Dia kenapa berhenti?" Suara Romeo keluar, bergetar penuh ketegangan saat tatapannya terpaku pada taksi yang kini terhenti di depan sebuah restoran mewah. Di sana, seperti bayang-bayang yang menghantui pikirannya, berdiri Gavin—sosok yang sudah berulang kali mengusik ketenangannya. Romeo merasakan dadanya bergemuruh. "Kenapa mereka malah ketemuan lagi sih!" Frustrasi membakar dirinya, menjalar ke dalam setiap saraf, memaksa pikirannya berputar liar tanpa kendali. "Saya kan pernah bilang, Pak, sepertinya Pak Gavin memang sudah jatuh cinta pada Nona Maudy," kata Tedy, mencoba meredam api di hati bosnya dengan fakta yang tak terbantahkan. Namun, bagi Romeo, itu lebih terdengar seperti garam yang digosokkan ke luka. "Tidak bisa! Dia perempuan **ku**!" geram Romeo, matanya bersinar seperti bara yang hampir padam namun tersulut kembali oleh api kecemburuan. Tangan Romeo meremas rambutnya dengan brutal, frustrasi yang begitu dalam memaksa tubuhnya bergerak. "Aku tidak akan pernah membiarkannya!" Teriakannya pecah di antara deru napasnya, sebelum ia mendorong pintu mobil dan melangkah keluar dengan cepat, diliputi oleh tekad yang mendidih. "Pak! Anda tidak bisa menghampirinya!" seru Tedy, mencoba menghentikannya, tangannya terulur, namun tak sanggup menahan badai yang kini menguasai Romeo. "Kenapa tidak bisa?" Romeo berbalik, matanya menyala, suaranya tajam dan tegas, penuh kemarahan yang meluap seperti ombak yang menghantam karang tanpa henti. Tidak ada yang bisa menahannya sekarang, tidak ada yang bisa membendung amarah seorang lelaki yang hatinya terancam diambil oleh orang lain. Namun, kata-kata Tedy menghantam kesadarannya seperti tamparan yang tak terduga. "Anda tidak memiliki motif apapun saat ini, Pak. Nona Maudy sudah selesai bertugas. Dan... di sana juga ada Nona Kleo." Kata terakhir itu menghantam Romeo seperti petir yang menyambar tanpa peringatan. Tubuhnya mendadak kaku, kaki yang baru saja siap melangkah kini membeku di tempatnya, seolah-olah gravitasi sendiri memaksa tubuhnya untuk tidak bergerak. Matanya yang penuh dengan kilatan kemarahan kini perlahan meredup, tergantikan oleh kekacauan dalam pikirannya. Tangan yang tadi terkepal erat kini bergetar, mencengkeram udara kosong yang tak memberikan apa-apa kecuali kehampaan. Kleo... nama itu, meskipun ia tak pernah menyentuh hatinya, masih merupakan belenggu yang tak bisa ia abaikan. Kebingungan menguasai Romeo, seperti seseorang yang terjebak di persimpangan tanpa tahu jalan mana yang harus diambil. Di satu sisi, ada Maudy, perempuan yang ia cintai lebih dari segalanya, tapi di sisi lain, ada janji yang tak terucapkan, janji pada Kleo yang terikat oleh masa lalu dan kepentingan. Di depan sana, Gavin dan Maudy duduk bersama, seperti dua jiwa yang tak tersentuh oleh badai yang berkecamuk di dalam diri Romeo. Tapi bagi Romeo, setiap detik yang mereka habiskan bersama adalah belati yang terus-menerus menusuk hatinya, dan itu... tak bisa ia biarkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN