Perempuan Yang Terluka.

1017 Kata
"Ayo, aku udah nunggu kamu." Suara Gavin mengalir lembut, serupa alunan angin yang membawa ketenangan, namun tetap ada sesuatu yang membuat Maudy merasa canggung. Di balik senyum ramah itu, ada gravitasi yang menariknya, seakan dunia mereka berdua akan terjalin lebih dari sekadar atasan dan bawahan. Hatinya berkecamuk, terutama karena Gavin adalah putra Abraham, sosok pemimpin perusahaan tempatnya bekerja—sosok yang bisa menentukan nasibnya dengan satu keputusan. "Pak Gavin, kenapa harus menjemput saya?" Suaranya terdengar ragu, hampir berbisik, takut jika ada orang yang melihat mereka dan menyebarkan gosip. Bayang-bayang pemecatan mengintai pikirannya, seolah rumor bisa menjadi pisau tajam yang tak terhindarkan. Gavin tersenyum simpul, mata birunya memancarkan ketulusan. "Kenapa? Apa ada masalah?" Maudy terdiam, kata-kata tersangkut di tenggorokannya. Ia tahu bahwa Gavin telah menyukainya sejak lama, bahkan sebelum pria itu pergi ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya. Namun, Maudy tidak pernah membayangkan bahwa perasaan itu masih ada, terus membara dalam diam. Perasaannya sendiri terlalu rumit untuk diurai dalam percakapan singkat ini. "Mmm... saya hanya—" Tanpa membiarkannya menyelesaikan kalimat, Gavin menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut, menariknya masuk ke dalam kafe yang penuh kehangatan. Ada kehangatan dalam sentuhan itu, tapi juga kecanggungan yang tak bisa disangkal. Suasana kafe, dengan aroma kopi yang memenuhi udara, terasa hampir tidak nyata—seperti latar panggung untuk momen yang seharusnya tak terjadi. "Jangan bilang kalau kamu lagi-lagi takut sama ayahku," goda Gavin, menatapnya penuh arti saat mereka duduk di meja yang telah dipesan. Di balik senyumnya, ada kekhawatiran yang tak ingin diungkapkan oleh Gavin—ia tahu bahwa Maudy butuh seseorang yang memahami apa yang ia lalui, dan Gavin tidak akan melewatkan kesempatan ini untuk menjadi orang tersebut. Baginya, setiap momen bersama Maudy adalah kebahagiaan kecil yang ingin ia simpan dalam kenangan. Namun di luar kafe, awan hitam menutupi pandangan Romeo. Tangannya mengepal di atas setir, memendam kemarahan yang tak bisa ia ungkapkan. "Aku nggak nyangka kalau Gavin sebegitu sukanya sama Maudy," gumamnya penuh kekecewaan, suaranya pecah di antara helaan napas berat. Tedy, yang duduk di sampingnya, menatap tajam ke depan, tapi ia tahu bahwa ini bukan waktu untuk diam. "Apa Bapak nggak pernah sadar sejak tiga tahun lalu?" tanyanya, suaranya datar tapi penuh makna. Romeo hanya bisa menggelengkan kepala dengan pelan, rasa frustrasi terlukis jelas di wajahnya yang memucat. "Aku nggak pernah mikirin itu... aku pikir dia cuma bersikap ramah karena Maudy sekretarisku." Kalimat itu terdengar begitu getir, seakan ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, meskipun dalam hati ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keramahan biasa. Tedy menatap lurus, suaranya penuh kewaspadaan. "Saya sering melihat Pak Gavin menatap Nona Maudy diam-diam, Pak." "Ini benar-benar kacau!" Romeo menghempaskan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya memijat pelipisnya yang kini berdenyut. Sesuatu di dalam dirinya tahu bahwa perasaan ini akan menuntun pada sesuatu yang tak terkendali—seperti badai yang siap menghancurkan apa pun di jalannya. “Aku sudah bilang, kalau ayahku itu sangat baik. Kamu jangan takut padanya,” ujar Gavin, suaranya penuh keyakinan. Namun, di balik senyumannya yang hangat, Maudy merasakan sejumput ketegangan yang tak terucap. Bukan soal takut atau tidak, bukan soal kebaikan Abraham, ayah Gavin. Ada rahasia yang tak bisa ia ungkapkan, sesuatu yang terpendam di antara masa lalu yang ia jaga rapat-rapat. “Bukan itu…” Maudy terdiam. Kata-kata seperti tersangkut di kerongkongannya, menyesakkan dadanya. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan kepada Gavin bahwa dirinya pernah terjerat dalam pernikahan diam-diam dengan Romeo, kakak nya Gavin? Pikiran itu berputar-putar di benaknya, menciptakan pusaran kegelisahan yang tak kunjung reda. Jika Gavin tahu, bagaimana reaksi pria itu? Apa yang akan terjadi pada hubungan mereka, atau lebih parah lagi, bagaimana tanggapan Abraham? “Saya hanya merasa enggak pantas aja,” kata Maudy akhirnya, suaranya bergetar halus. Dengan tiba-tiba, ia bangkit dari kursinya, seolah keberadaan di tempat itu menjadi terlalu berat untuk ditanggung. Semua yang terhubung dengan keluarga Syadiran membawa kenangan yang lebih baik ia lupakan—baik itu Romeo atau Gavin. Tidak, ia harus menjauh. Harus segera keluar dari lingkaran ini sebelum semuanya semakin rumit. “Kamu mau ke mana?” Gavin dengan cepat meraih tangannya, jemarinya mengunci lembut pergelangan Maudy. Ada kekhawatiran yang tersembunyi di balik tatapan birunya yang penuh tanya, seakan ia tahu Maudy hendak melarikan diri, namun tak bisa memahami sepenuhnya alasan di balik kegelisahan itu. “Saya mau mencari keberadaan kedua orang tua saya. Mereka harus tahu kalau kakak saya sudah meninggal,” kata Maudy, matanya terarah ke luar jendela kafe, seolah sedang mencari kebebasan di balik kaca yang membatasi mereka dari dunia luar. Gavin terdiam, kata-kata Maudy menamparnya dengan halus namun tajam. Sebuah kebenaran yang ia tak pernah tahu ada, sebuah kesedihan yang membuatnya semakin ingin melindungi gadis itu. “Apa kamu sudah tahu mereka tinggal di mana?” tanyanya akhirnya, dengan nada pelan dan penuh perhatian. Maudy hanya menggelengkan kepalanya, kesedihan itu tergantung di sudut matanya. “Saya tidak tahu, dan karena itu lah saya akan mencari mereka.” Ia menarik tangannya dari genggaman Gavin dengan lembut namun tegas. Ada sesuatu yang putus dalam hati Gavin saat itu, seolah kehadiran Maudy perlahan-lahan menjauh dari genggamannya, seperti angin yang tak bisa dipegang. Keheningan meresap di antara mereka, terjalin dengan rasa kehilangan yang belum sempat terucap. Gavin menghela napas, merasakan kehampaan yang tak terjelaskan. Ia menginginkan Maudy—lebih dari sekadar kehadirannya di meja ini, lebih dari sekadar teman bicara. Namun, takdir selalu terasa seperti garis tipis yang menghalangi dirinya untuk mendekap gadis itu lebih erat. “Pak Gavin, saya permisi dulu.” Maudy membungkukkan tubuhnya sedikit, dengan sopan namun tegas, seolah memberi jarak yang semakin nyata. Gavin menghela napas panjang sekali lagi. Makanan di depan mereka terasa hambar tanpa kehadiran Maudy. Semua yang ia rencanakan untuk hari ini, kini hanya tersisa bayang-bayang harapan yang runtuh. “Apakah… apakah aku boleh mengantar kamu?” tanyanya dengan nada hati-hati, seperti berjalan di atas lapisan es tipis. Ia tahu dirinya tak bisa memaksa, meskipun rasa sedih menggerogoti hatinya. Maudy menatapnya sejenak, senyum tipis yang penuh kesedihan terlukis di wajahnya. “Tidak, Pak. Terima kasih,” ujarnya, sebelum perlahan melangkah keluar, meninggalkan Gavin yang masih duduk di sana, sendirian, dengan hatinya yang tertinggal bersama bayang-bayang gadis yang tak bisa ia miliki.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN