III

1826 Kata
“Wow, tempat ini indah banget!” Abimata berdecak kagum, hal yang sama juga dilakukan Abidan yang berada di sebelahnya. Kedua pemuda itu menatap lurus di depan mereka, meninggalkan Atreya dan Afrak yang masih sibuk memegangi kepalanya yang berdenyut. “Liat Tirek....! “seru Abidan. Atreya menoleh, mengikuti arah telunjuk Abidan. Saat matanya menangkap objek yang Abidan tunjuk, matanya spontan terbelalak. Di hadapan mereka terbentang rumput-rumput hijau yang sekilas bak permadani. Atreya menghentak pelan sandal swalo murahnya, memastikan rasa ingin tahunya rumput serapih ini asli atau imitasi. Atreya menggeleng-geleng takjub. Meski terasa mustahil tapi ini asli. Asli, bahkan saat Atreya mengambil satu helai rumput, tercium aroma khas rumput di hidungnya. Belum sampai di situ, saat Atreya mengedarkan pandangnya lebih luas, rahang kokoh kebanggaannya jatuh, terngagak kaget. Mata bulat tajamnya terkunci pada deretan pohon-pohon terbalik—akar di atas menjulang dengan kepala pohon di bawah, buah-buah terjuntai bagai merambat di tanah, mereka hanya perlu duduk untuk memetik buah-buah yang terlihat segar dan menggoda. Di balik pepohonan itu, terdengar suara gemercik air dari jauh, mengundang perhatian Atreya, ada aliran air sungai di sana, sangat deras, tapi tunggu dulu. Itu bukan air biasa. Itu air s**u. “Ayo, Rek, ke sana,” seru Abidan, kembali berlari meninggalkan Atreya yang belum sadar dari ketakjubannya tentang di mana mereka sekarang? Apa ini surga? Tentu bukan. Atreya melihat sebuah ruangan berbentuk balok di sisi kanan tempat ini, keberadaannya sangat kontras dengan hal-hal menakjubkan di sana. Ruangan itu benar-benar hanya seperti balok berwarna hijau yang terdapat pintu di satu sisanya, hanya itu. Selebihnya, semua polos, tidak ada yang spesial dari balok itu. “Kita di mana?” tanya Afrak. Atreya mengerjap, baru menyadari kehadiran Afrak di sampingnya. Ia hendak menoleh, tapi tunggu dulu, ada yang aneh... Atreya melihat ke bawa, bayangan Afrak tidak seperti biasanya, ada sesuatu di atas kepalanya. Tunggu dulu, bayanganya juga sama, ada sesuatu di kepala mereka. Kepala Atreya spontan langsung menengadah ke atas, dan seketika mata bulatnya kembali terbelalak, membuat Afrak mengernyit bingung melihat perubahan ekspresi Atreya, terdorong rasa penasaran Afrak juga menongak ke atas. “Awan?” cicit Atreya pelan. Afrak terbengong-bengong, sedetik setelah mengangguk kaku. “Kita di mana? Kenapa ada awan di setiap kepala kita? “ Atreya masih belum melepaskan pandangan dari segumpal awan putih yang melindungi mereka dari sinar matahari terik namun tidak terasa panas, bahkan saat Atreya menjulurkan tangannya keluar dari lindungan awan putih. “Ini tempat apa sih?” cicit Atreya. “Apa ini surga dan kita udah mati? “ sambung Afrak, yang spontan langsung mendapat tatapan tajam dari Atreya. “Lo aja yang mati. Gue masih mau hidup. Gue juga masih nafas. Coba cek nafas Lo. Barang kali emang dah hilang.” “Astagfirullah! Lo emang ngeselin ya! Gak di pesantren, gak di sini, Lo buat gue kesel muluk! “ “Lo, Gue? “ alis tebal milik Atreya terangkat. Bertahun-tahun satu kamar dengan seorang santri emas bernama Afrak baru kali ini Atreya mendengar si santri emas mengatakan kosa kata ganti orang dengan kata gue-lo, kata yang biasanya dia lebelin dengan kata gak sopan. “Iya, kenapa? Lagian ini bukan di pondok. Ngapain ana sosok-sosok-an ngomong aku-kamu, ke manusia kayak ente.” Atreya tersenyum miring. Terlihat seperti senyum mengejek bagi Afrak, dia hendak membuka mulut kembali menyuarkan kekesalannya, namun disela oleh suara teriakan Abimata. “Tirek, buru ke sini, ngapain di sana. Di sini banyak buah-buah, buru Lo...” “Dasar gak punya etika. Teriak-teriak, gak jelas, “dengus Afrak. “Jaga yang mulut Lo. Gue gak terima kalo Lo hina sahabat gue! “Atreya berlalu menyusul Abimata. Afrak menatap tajam Atreya. Jika saja dia tidak berada di tempat asing, Afrak tidak sudi mengikuti ketiganya. Afrak mengekor di belakang dengan jarak sepuluh langkah jauh dari Atreya. Afrak memilih duduk di bawah pohon besar, enggan bergabung dengan mereka. Afrak terus memperhatikan keadaan dengan waspada, dia juga memperhatikan ketiga pemuda yang menurutnya akan selalu berbuat onar, dari kejauhan dengan bahu yang terkadang bergidik melihat kerasukan Abimata dan Abidan, atau menggeleng pelan melihat Atreya yang tidak ada bedanya dengan Abimata dan Abidan, dia benar-benar tidak terlihat seperti santri. “Tuh anak emas, ngapain sih? Gak asik banget, Kenapa lagi terdampar bareng tuh anak,” gumam Abidan, jengah melihat tatap diam-diam Afkar. “Iya tahu, mending suruh dia jauh-jauh deh dari kita. Ganggu aja liatnya,” tambah Abimata, balik menatap sinis Afrak. “Biar gue usir tuh anak emas.” Atreya menahan langkah Abimata. “Udahlah. Kasih dia kalo sendirian di sini. Dia pasti bingung. Udah biarin aja, selagi dia gak ganggu kita.” “Ck...,” Abimata berdecak pelan, namun sejurus berikutnya dia mengangguk setuju. “Eh, liat ada buah apa tuh ....” Abidan menunjuk dengan dagunya, tidak menunggu respon dari keduanya Abidan langsung berlari ke pohon berwarna cokelat-gold. Remaja bermata sendu itu, langsung memetik buah berbentuk bulat seperti apel namun berwarna ungu persis terong. “Eh, jangan di makan !” pekik Afrak, langsung berdiri, tangannya terjulur di udara seolah bisa meraih tangan Abidan, lupa akan jarak mereka yang terlalu jauh. “Dasar rakus! Semua mau di makan. Gimana kalo itu buah bahaya? Bisa gak sih akhlak minimnya gak di bawa ke sini! Gue gak mau celaka karena kerakusan Lo semua! “ Suara gemertak rahang Abimata terdengar di telinga Atreya, tubuh Abimata menegak, kedua tangannya mengepal kuat tersembunyi di sebelah kedua betisnya. “Ta ....” sela Atreya, menyadari pergerakan tubuh Abimata yang hendak bergerak cepat ke arah Afrak. “Lo tahu sendiri, Abidan udah gue anggap adik sendiri. Hina dia sama aja kayak hina gue. Gue gak bisa tinggal diam,” kata Abimata tegas. “Ya gue tahu ...tapi Lo juga anggap gue sahabat kan? Tahan diri Lo buat gue. Ini tempat asing buat kita, kita gak tahu bahaya apa yang ada di sini,” bisik Atreya. Gemertak suara gigi Abimata kembali terdengar, di susul decak keras, semenit berikutnya kepalan tangannya mulai meregang. “Thank, Ta.” “Hem.” “Oi, buruan cobain buah ini enak bet, gak usah dengerin tuh anak emas!” pekik Abidan lagi. “Eh, jangan Lo habisin! “ jawab Abimata berlari cepat, kemarahannya langsung menguap, tidak lagi peduli lagi pada Afrak. Saat satu sifat Abimata yang Atreya suka. Sahabatnya itu, memang terlihat keras di luar, tapi Abimata sangat tulus dan baik. “Dasar, kurang adab! Kalian tuh emang—“ Atreya berbalik menatap tajam Afrak. “Lo bisa diam gak!” desis Atreya tajam. Afrak bungkam melihat kilat kemarahan di mata Atreya. Atreya memutar tubuhnya menyusul kedua sahabatnya, saat berbalik, ekor matanya menangkap buah kecil berwarna merah terlempar ke arah Abimata dan Abidan. “AWAS! “ teriak Atreya spontan. Respon Abimata cukup sigap, ia langsung bercerai dari Abidan, menghindari serangan bertubi-tubi buah berwarna merah di udara. “DARAH!“ teriak Abidan kaget, saat buah berwarna merah itu mengenai jidatnya. Atreya berlari cepat ke arah Abidan, jaraknya cukup dekat dengan Abidan. “Reya awas! “ Afrak rupanya sudah berada di sebelah Atreya. Berlari beriring di sebelah Atreya. “Itu cuman bukan buah biasa, buah itu bisa bikin orang pingsan, tapi gak ada gunanya panik. Di balik semak itu ada yang nyerang kita!” Afrak menoleh cepat ke arah semak-semak yang bergerak tanpa ada angin. “Lo tahu info ini dari mana? “ “Gue liat hewan pingsan setelah kena buah itu.” “Kita harus serang balik !” nafas Atreya memburu cepat. “Caranya? “ “Tapi kita harus cari tempat berlindung dulu,” Atreya mengedarkan pandangnya mencari sekiranya tempat atau tameng melindungi mereka. “Di sana.” “Terus rencana Lo apa? “ “Ada batu besar. Kita berlindung di sana! Lo lari ajak Abimata ke sana. Gue alihin perhatian mereka dulu. Rencana kedua kita susun nanti.” “Ck! Sahabat Lo emang nyusahin!” desis Afrak, sebelum keduanya berpisah arah lari. Atreya mempercepat langkahnya, tubuh Abidan mulai terlihat limbung. “Dan, lari ke batu itu! “ pekik Atreya. Meski sempoyongan Abidan menyeret langkahnya menuruti arahan Atreya. Abimata dan Afrak terlihat sudah berlindung di sana. “Kalian siapa, kenapa kalian menyerang kami! “teriak Atreya lantang, terus mengelak dari buah merah kecil bak peluru itu. “Tirek, buruan Lo ke sini!” teriak Abimata. Atreya menoleh sekilas, dia enggan mundur dan malah semakin berlari cepat ke semak. “Jangan sok jadi pahlawan! “ Afrak menatap tajam Atreya, ia berlari di sebelah Atreya. Atreya mendengus. “Ngapain Lo ikuti gue?! “ Afrak menoleh, hanya membalas pertanyaan Atreya dengan tatapan sinis. “Ck!” “Udahlah, sekarang apa rencana Lo!? “ kata Afrak dengan nafas naik-turun. “Lo mau ke semak itu, kan? Mau ngapai? Nyerahin diri? Lo mau mati? Terus makin nyusahi gue?!” “Ck!” Atreya mendengus keras, sekilas menatap tajam Afrak. “Mending Lo kepung ke arah kanan, biar gue di kiri. Kita tangkap orang yang dibalik semak itu.” Afrak tidak mengatakan apapun, tapi langkahnya perlahan melebar, mulai berpisah dari arah Atreya. “Gak ada?” Gumam Atreya tercengang, ia mencari sumber buah itu berasal. Dan maniak matanya mendapat sebuah lubang kecil di tengah semak itu. “Tembakan buah ini dari semak itu?” gumam Atreya kebingungan. Afrak mengawasi sekitar, terus mengedarkan pandang lebih luas, dan kaget saat menyadari, “AWAS! “ Afrak mendorong tubuh Atreya yang sedang setengah menunduk memastikan lebih dekat lubang yang sekarang tidak lagi mengeluarkan buah merah. Dorongan Afrak yang tiba-tiba membuat Atreya kehilangan keseimbangannya. Atreya tersungkur, mengguling di rumput. Tembakan buah berwarna ungu, sebesar bola basket melayang ke arah mereka, jatuh tepat di sebelah lengan Atreya. “Bau apa ini?” Atreya mengernyit, saat aroma aneh menyapa hidungnya yang berasal dari buah ungu yang pecah mengeluarkan air. “Racun? “ Atreya langsung bangkit, dengan berani menatap ke sumber asal buah itu dilempar. “Jangan jadi pengecut! Siapa pun Lo, keluar! “ Afrak yang berada di posisi bersembunyi melindungi diri di dekat semak, menampakkan diri, kesal akan aksi sok berani Atreya. “Sini, kalo Lo emang berani, hadapan gue! “pekik Atreya. Afrak menatap tajam Atreya. “Sifat songgong Lo gak berubah ya! Lo selalu berusaha buat orang-orang di sekitar Lo dalam bahaya! “ “Lo bisa diam gak! “ “Lo yang mestinya mikir ! Lo siapa, sok banget!” “Ck! “ Atreya mengabaikan Afrak, berjalan menantang, lebih dekat ke semak tadi. “AYO KELUAR!” Tidak ada sahutan. Atreya terus mengawasi tanpa lengah. Semak-semak dari arah kanan bergerak cepat menarik perhatian Atreya, saat perhatiannya lengah, tiba-tiba keluar seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun, berambut gondong dari balik semak. Ia mengangkat tangan berisi buah ungu. Da tiba-tiba, “Tunggu dulu!” pekik seseorang yang baru muncul dari balik semak yang sama. Mata Atreya mengerjap. Buah itu kembali meleset gagal mengenainya. “Ada apa?” “Liat mereka berdua ...” “Mereka ...?” Maniak mata dua pemuda berambut gondrong itu seketika membelalak melihat Atreya dan Afrak. “Mereka Atreya dan Afrak.” Atreya menatap Afrak dengan pandangan, dari mana mereka tahu? Afrak menatap tajam keduanya. “Kalian siapa? “ “Kita ....” Tiba-tiba ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN