IV

1906 Kata
Tiiiiiiiiiiiiiii....... Langit di sana berubah di domisi merah, seolah ada api yang berbeda kedip di sana. Atreya mengedarkan pandangnya, ada sesuatu mencuat dari semak, lubang-lubang kecil yang baru saja terlihat, bersiap mengeluarkan sesuatu, yang jelas sesuatu yang tentu saja bukan pita-pita warna warnu yang indah, ada ancaman di sana. Mata tajam pria berambut gondrong itu mengatakan segalanya. Segala yang jelas terjemah dari bahaya. “Alarm hidup! Semuanya ayo berlindung,” teriak pria bermata tajam itu, matanya langsung mengedar ke seluruh penjuru. “Berlindung sebelum anak panah beracun keluar! “ “Ayo berlindung! Ini bukan waktunya bertanya lagi!” ambah pria bermata sendu di sebelahnya, menyadari bahwa meski dalam kondisi gawat Afrak dan Atreya masih enggan percaya keduanya. “Tapi teman-teman saya? “ “Nanti saja. Mereka aman di batu itu! Sekarang nyawa kita yang tidak aman! “ Mendengar kata nyawa tidak aman, Afrak refleks bergidik ngeri. Buru-buru ia mengikuti langkah dua pemuda itu. Atreya akhirnya melakukan hal yang sama. “Kita aman di goa ini. Setelah warna merah itu hilang, kita bisa langsung susul teman-teman kamu.” Pria bermata tajam, menyadari gerak-gerik gelisah yang Atreya lakukan tanpa sadar. Atreya berdeham pelan, sebagai persetujuan. “Kenapa kalian bisa ada di sini?” tanya pria bermata senduh. Atreya dan Afrak, refleks saling melempar tatap berisi isyara, apa sekarang mereka bisa percaya dua orang ini? “Oh iya,” pria bermata sendu itu, mengerti tatapan waspada yang masih Atreya dan Afrak sematkan di mata mereka. “Sebaiknya kami memperkenalkan diri dulu. Nama saya Ab—“ “Abimayu. Nama saya Abimayu. Dan Dia Arlan,” sambung pria bermata tajam, entah kenapa setelah itu pria bermata sendu yang bernama Arlan melempar tatapan, dengan dahi berkerut seolah ada tanya di sana, Abimayu menggerakkan kecil kepalanya, seperti anggukan namun tidak sepenuhnya bergerak ke bawa, dan setelahnya tatapan itu sirna. Pria bermata sendu itu menarik nafas dalam, sebelum kembali melihat pada Afrak dan Atreya. “Jadi apa sekarang kalian sudah percaya pada kami?” Afrak nampak ragu, kepalanya bergerak kecil, samar entah anggukan atau gelengan. “Saya Atreya dan di Afrak,” Atreya menyela sebelum Afrak menyelesaikan keraguannya. Afrak melempar tatapan tajam pada Atreya yang sudah sangat lancang memperkenalkan namanya tanpa izinnya. Dan Atreya membalas tatapan itu dengan senyum songgongnya yang membuat Afrak berdecak keras, seraya membuang wajah, kesal. “Kenapa kalian bisa tersasar di sini? “tanya Arlan mengulang pertanyaannya lagi. Atreya tertegun sesaat, saat dia sudah siap membuka mulut, Afrak langsung menyela. “Dan kenapa kalian juga bisa ada di sini?” tanya Afrak, dengan intonasi tajam. “Baiklah, kami yang akan cerita duluan.” Arlan mengalah, dia sudah dewasa untuk terlibat cecok tidak penting dengan remaja berusia tujuh belas tahu seperti Afrak. “Kami bisa sampai di sini, karena kami bersembunyi di dalam danau.” “Danau? “ Atreya memperjelas apa yang dia dengar. “Iya, kami bersembunyi di dalam danau.” “Dan kami bisa di sini karena bersembunyi di dalam lemari,” tambah Atreya. “Lalu kenapa kita bisa berada di sini, padahal kita tidak bersembunyi di satu tempat yang sama? “ Abimayu yang sejak tadi sibuk mengawasi moncong goa, tertarik untuk ikut bergabung duduk lesehan di tanah, setelah memastikan keadaan sudah sedikit tenang. “Kita lemari dan kalian danau?” Atreya bergumam pelan. “Apa kesamaannya? “ “Sama-sama sembunyi dari sesuatu,” sahut Afrak. “Itu poin dari kenapa kita bisa berada di sini, meski dengan media yang berbeda. Sama seperti satu gerbong. Kita berada dalam gerbong kereta yang berbeda, tapi memiliki tujuan yang sama. Karena itu kita akan turun di tempat yang sama.” Otak emas Afrak sangat membantu. Atreya harus mengakui kejeniusan yang Afrak miliki meski sering kali kejeniusan Afrak membuat Atreya sangat kesal. Para Ustadz sering kali menggunakan kejeniusan Afrak sebagai bahan pokok dalam menceramahnya. “Bisa jadi,” sahut Abimayu, membuat Afrak dan Atreya kompak menoleh kearahnya. “Setiap hipotesis itu benar sampai di temukan faktanya,” tambahnya. “Sepertinya di luar sudah tenang,” sela Atreya, langsung bangkit dari posisi jongkok, memandang ke luar Goa. “Aneh, tempat yang terlihat bak surga seperti ini kenapa ada goa? “ gumam Afrak random. “Kalian yang membuat—“ Arlan membeda kalimatnya setelah melihat dahi berkerut Afrak dan tatapan tajam Abimata. “Hem, mungkin ada untuk melindungi kita dari alarm itu,” jawab Abimayu diplomatis. “Memangnya sudah berapa lama kalian di sini?” tanya Atreya. “Hem,” Arlan mengangkat bahunya pelan. “Entahlah, apa waktu di sini sama seperti waktu normal.” “Kemungkinan kamu sudah sangat lama di sini,” sambung Abimayu. “Dari kami seusia kalian dan sampai sekarang.” Rahang Afrak spontan jatuh. “Waktu berjalan di sini ? Kalian menua di sini?” Arlan mengangguk cepat. Afrak spontan memegangi dadanya, kaget. “Apa itu artinya, kalo kamu tidak bisa keluar dari sini, kami juga bisa menua di sini, bahkan mati? “ Lagi-lagi Arlan mengangguk tegas, membuat wajah Afrak menampilkan ekspresi nelangsa. “Ini gak bisa. Saya gak mau menua dan mati di sini!” gumam Afrak tidak berdaya. “Itu teman-teman kamu?” sela Abimayu, retina matanya sudah menangkap Abimata dan Abidan yang diam-diam mengintip di balik batu besar. “Ya.” Atreya segera berjalan cepat, menghampiri dua sahabatnya yang nampak waspada dengan kehadiran Abimayu dan Arlan. “Gak perlu cemas, mereka orang baik. Mereka yang Udah nolong gue dari alarm itu.” Abimata memastikan sejenak, setelah yakin, ia menampakkan dirinya, di susul Abidan dari balik batu besar. “KALIAN—“ Lagi-lagi Arlan menampakkan ekspresi yang sama, saat melihat Abimata dan Abidan. Matanya membulat dengan rahang yang hampir terbuka. Namun tidak dengan Abimayu, dia nampak mampu mengendalikan dirinya, dan malah melempar senyum tipis duluan. “Senang bertemu kalian,” kata Abimayu. “Kalian juga dari dunia normal, maksudnya kalian juga manusia? “tanya Abidan, setelah memperhatikan semua gaya penampilan Abimayu dan Arlan yang terlihat seperti orang normal di dunia biasanya, mereka memakai baju kaos dan celana denim pendek di bawah lutut, hanya rambut mereka yang terlihat gondrong dan sedikit kusut, tidak tersentuh shampo. “Iya, kita sama,” jawab Abimayu singkat. Abidan mengangguk kecil dengan mulut membulat sempurna, masih setengah percaya. “Terus gimana cara kita keluar dari sini? Apa selamanya kita bakal terjebak di sini? “tanya Afrak. Yang sebenarnya jadi pertanyaan ketiganya juga. “Dan sinyal tadi, alarm apa itu? “ Abimayu berdeham pelan, saat Arlan hendak menjawab. Ia mengajukan diri untuk menjelaskan. Arlan mengangguk mengerti, sebelum mundur memberikan ruang untuk Abimayu sebagai pusat.. “Itu Alarm buruan,” kata Abimayu. “Buruan?” sela Abidan, tiba-tiba. “Bisa tidak menyela saya? Abimayu menjawan tegas. Abidan spontan mengaruk tengkuk kepalanya, memberi isyarat minta maaf melalui ekspresi matanya. “Iya. Itu alarm buruan. Kalian termasuk pemain ilegal di sini.” Abimayu menunjuk ke arah balok hijau di tengah-tengah hamparan. “Itu arena bermain. Kalian harus ke sana untuk mendaftarkan diri dalam permainan ini. “ Abimayu menggayungkan tangan kanannya ke depan, “Liat, tanda ini. Ini hanya bisa di dapat dari mereka yang menjadi pemain, dan itu artinya tidak ilegal di sini.” Atreya baru menyadari tanda itu juga ada di lengan Arlan. Tanda berwarna hijau berbentuk bulat yang di tengahnya terdapat seperti dua jarum jam yang berhenti. Sekilas tanda itu mirip seperti jam tangan yang melekat pada kulit. “Dan jika tanda itu ada, kami tidak akan di buru seperti tadi?” Abimayu mengangguk. “Apa itu artinya kamu harus mendaftarkan diri menjadi pemain di arena itu?” Afrak menoleh pada Arlan namun Arlan bergeming dan lagi-lagi Abimayu yang kembali mengangguk. “Tapi di sana pasti bukanlah hal yang mudah ....” gumam Afrak memandang balok hijau itu. “Memangnya apa yang bahaya dari balok itu? Itu hanya memberi balok biasa, “ sahut Abidan enteng. Afrak yang memang tidak senang pada Abidan, makin dongkol mendengar kalimatnya barusan. Berada di tempat ini secara tiba-tiba saja bukan hal yang biasa saja. Apa lagi berada di balok itu. “Nama permainan itu, Bissmilah game, di dalam balok itu kalian akan mendapatkan banyak jenis permainan yang selalu berbeda di setiap tingkatkan. Ada dua babak di sana. Dan babak kedua akan semakin sulit, babak kedua juga akan menentukan kalian bisa kembali atau kalah.” “Kalah? Memangnya apa yang kamu hadapi di sana? “ tanya Atreya. Abimayu diam sesaat, menatap Atreya dalam. “Sesuatu yang sangat kuat dan penuh tipu daya.” “Apa?” tanya Atreya lagi. Abimayu langsung mengangkat bahunya ke atas. “Belum ada yang tahu sepertinya apa.” “Tunggu dulu,” Afrak menyela. “Jika kalah, apa yang terjadi? Akan terjebak di sini, seperti kalian?” Abimayu menoleh ke Arlan. Lalu sedetik berikutnya keduanya kembali memperlihatkan tanda di lengannya. “Liat.” Semua kompak mengamati tanda itu. “Dua jarum ini berhenti. Kami tidak menang atau pun kalah. Waktu kami membeku.” “Maksudnya waktu bermain?” tanya Afrak. “Ya.” Abimayu menghela nafas panjang. “Karena itu kamu terjebak di sini.” “Kenapa kalian tidak bermain lagi? “ Atreya menatap bingung. “Karena—“ Abimayu terkesiap sesaat. “Apa tidak ada yang masuk ke sini, selain kami?” tanya Abimata, tidak sabar. “Lo bisa tunggu dia selesai dulu, gak? Dari tadi kalian nyela muluk! Hal sepele gini aja kalian gak paham!” sengit Afrak, gerah, dengan semua tindak tanduk orang yang Afrak masih lebelin preman pasar. “Tidak ada waktu lagi. Kalian harus mendaftarkan diri sebelum suara azan dzuhur berkumandang.” “Azan?” dahi Afrak berkerut. “Ya. Kamu tidak salah dengar.” “Sebenarnya dunia seperti apa ini? Kenapa ada hal yang terlihat normal dan ada yang sangat sulit di mengerti.” “Kalian tidak perlu mengerti banyak hal sekarang. Karena untuk melakukan semua itu, kalian harus hidup. Dan kalian tidak akan bisa bertahan di sini tanpa tanda di lengan kalian,” kata Abimayu. “Kita harus daftar sekarang! Gue gak mau mati di sini,” Abidan menyahut, dia berjalan cepat ke balok itu, tanpa peduli yang lagi masih terdiam di tempatnya. “Ck! Otak dangkal,” cercah Afrak pelan. “Rexs, gue rasa apa yang Abidan bilang benar. Gak ada pilihan lain buat kita. Kita harus daftar sekarang.” “Tapi di sana pasti tidaklah mudah. Game itu jelas tidak mudah.” “Lo tenang aja.” Abimata menepuk pelan pundak Atreya, rentina matanya melihat ke arah Abimayu dan Arlan bergantian. “Ada mereka. Mereka pasti tahu, kurang dan lebihnya game itu.” Setelah mengatakan itu Abimata langsung berjalan cepat mengikuti Abidan. “Gue juga gak mau mati di sini,” gumam Afrak bergidik, langkahnya mengayun lebar, menyusul langkah Abimata. “Atreya, kamu?” Arlan memperhatikan raut cemas yang kentara di wajah tegas seorang Atreya. “Walaupun kita baru saja kenal, mungkin kamu bisa percaya pada kami.” Abimayu menepuk pelan bahu Atreya. Atreya mengangkat kepala. “Apa kalian juga akan bermain bersama kami? “ . . “Saya rasa ini sudah waktunya.” Abimayu memandang lurus ke depan, di mana Atreya, Afrak, Abimata dan Abidan berjalan mendahului dirinya dan Arlan. “Kamu yakin, Ta?” Arlan menatap bingung “Kamu pikir semua ini kebetulan yang sama?” Abimayu balik bertanya, langkahnya memelan, menoleh pada Arlan. “Entahlah.” “Liat mereka, mereka akan membantu kita.” “Bukan sebaiknya kita, memberi tahu yang sebenarnya? “ “Lalu apa? Apa mereka akan mau ?” “Bagaimana jika mereka akhirnya akan tahu.” “Itu sudah takdir. Biarkan saja. Biarkan waktu yang memberi tahu mereka.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN