Truth or lie

1251 Kata
Semangat baru telah tiba. Aku sudah mulai terbiasa dengan berbagai macam cibiran, cemooh, serta hujatan dari orang-orang di dunia maya maupun di dunia nyata. Hari ini, Vivi datang ke rumahku bersama pengacara, dan pengawal untuk mengambil semua aset ku yang dijaminkan pada Sera. Ternyata wanita itu punya butik di daerah Tangerang. Jadi dia meminta kami untuk datang ke sana. Dalam perjalanan menuju butik Sera yang dia shareloc pada Vivi, Abi menelpon ku. Aku memberitahunya kalau aku menuju butik Sera. Dan Abi akan menyusul ke sana. Sebentar lagi, aku akan mendapatkan Read Eat kembali. Bayang-bayang gerbang kemenangan itu sudah ada di depan mata. Kami sampai di deretan sebuah ruko di kawasan perumahan elit di Tangerang. Ruko dengan 3 lantai ini salah satunya milik Sera. Aku turun dari dalam mobil Vivi, bersama dengan pengacara Vivi. Juga pengawal Vivi yang ada di dalam mobil berbeda. Aku menarik napas dalam, membetulkan blus warna mocca kemudian berjalan masuk ke dalam. Ternyata di dalam banyak sekali pengunjung. Tempatnya sangat luas, dengan desain interior yang elegan. Semua pakaian yang dipajang di sini terlihat sangat mahal. Vivi mendekati seorang pelayan dengan seragam formalnya, lalu bertanya keberadaan Sera. Kemudian dia menelpon, dan setelahnya mengantar kami semua ke atas. Ke lantai tiga. Pelayan tersebut membuka sebuah pintu dengan ukiran kayu yang tinggi. Kami semua masuk ke dalam. Aku sampai takjub melihatnya. Ruangan ini dikelilingi oleh kaca besar yang dihiasi dengan gordain warna putih. Ada lemari kaca berisi baju-baju. Di pojok dekat jendela panjang itu berdiri tiga patung memakai dress merah darah yang lainnya menjuntai menyapu lantai. Ada rak kaca berisi berbagai macam sepatu heels, dan lemari tas. Aku tidak tahu apakah ini semua barang dagangan atau koleksi pribadi. Ruangan ini dingin sekali, dan aku menyukai aroma citrus yang menguar di seluruh ruangan ini. Dindingnya di cat dengan warna putih. Furniture nya juga di d******i oleh warna putih. Walau ada beberapa warna coklat kayu, seperti kursi dan meja. Tapi tidak banyak. Aku melihat seorang wanita yang duduk di kursi roda, sedang menghadap ke jendela kaca panjang. "Permisi, Bu." Pelayan tersebut mendekat. Kemudian Sera berbalik. Mendorong roda kursi rodanya itu. Dia tersenyum kemudian memerintahkan pelayan yang rambutnya di cepol itu untuk keluar. "Silakan duduk." Sera mendorong kursi rodanya menuju meja kayu dengan permukaan marmer. Aku, Vivi, dan pengacara Vivi bernama Yohannes duduk di kursi hitam di depan meja marmer. Di belakang Sera, diantara jendela besar panjang ada penghalang dinding putih yang dihiasi lukisan abstrak. Dari kejauhan lukisan tersebut terlihat seperti corat-coret membentuk siluet manusia yang sedang berteriak ke udara. "Oke, langsung saja, ya." Ucap Sera. Kemudian dia membuka laci meja, dan mengeluarkan beberapa dokumen di dalam map hijau, dan menaruhnya diatas meja marmer. "Seperti yang sudah dijanjikan, aku akan mengembalikan semua aset yang telah dijaminkan." Katanya terdengar tenang. "Tapi, ada beberapa syarat yang harus kau setujui sebelum aku menyerahkan semuanya." Aku memutar bola mata. Rasa kesal sudah mulai muncul ke permukaan. Tapi aku menahan segala amarah. Tidak boleh terpancing olehnya. Aku harus tetap tenang dan bijaksana untuk menghadapi semua ini. Tatapan wanita itu begitu intens padaku. Bisa aku lihat seulas senyum mengembang di wajahnya. "Sesuai apa yang sudah kita sepakati, Ser. Tidak ada perjanjian diluar dari perjanjian awal." Vivi menyanggah. Bisa dipastikan kalau dia sudah sangat tidak tahan. "Aku tidak bicara denganmu, aku bicara dengan Lusiana." Sera menekan kata 'Lusiana' di sana. "Tell me what you want." Ucapku, menatap Sera dengan jengah. Dia menyeringai. Sungguh sangat tidak adil, wajah Sera dipoles make up tipis, tapi tetap saja terlihat flawless. Lalu dia menyodorkan selembar kertas padaku. Aku mengambilnya kemudian membaca dengan teliti. Kata demi kata aku serap dengan sempurna. Agar tidak salah memahami isi yang tertulis di atas kertas putih ini, aku membaca ulang. Hingga akhir. Hingga huruf terakhir. Lalu aku mengernyit menatapnya. Sera menyodorkan sebuah pulpen. Aku melirik benda hitam mengilap tersebut, lalu meringis geli. Apa-apaan dia ini. "Tanda tangan di sini, kalau kau setuju dengan isi penawarannya." Ujarnya menunjuk samar pada kertas yang ku pegang. Aku berdecak. "Kau mau aku tanda tangan?" Sera mengangguk. "In your dream." Pungkas ku dengan geram. Kemudian aku menyabet map hijau berisi semua surat-surat milikku dengan kejam. Melotot ke arah Sera, lalu bangkit berdiri. Vivi dan pengacaranya bernama Yohannes memandangku dengan terpana. "Yuk, Vi. Kita pulang." Tandasku. Aku berjalan tanpa memedulikan teriakan Sera yang membahana. Terdengar bunyi berisik dari belakang, seperti benda-benda berjatuhan. Aku tersenyum sinis sambil keluar dari ruangan Sera. Tapi, saat kami menuruni tangga ke lantai dasar, tanpa disangka suara itu kembali terdengar. "Tunggu!" Sera berteriak. Aku membalikan tubuhku. Bukan hanya aku saja, semua pengunjung yang ada di sini mengalihkan perhatiannya pada Sera. "Dia adalah orang yang telah merebut suamiku." Suaranya lantang. Menunjuk ke arahku. Tapi yang membuat aku terkejut adalah dia berdiri di atas kakinya sendiri tanpa perlu bantuan apa-apa. Dan dia terlihat baik-baik saja. Bukankah tadi dia duduk di kursi roda. Kenapa sekarang dia bisa berdiri tegak seperti itu. Aku menyunggingkan senyum, seketika langsung mengerti. Dia jenis wanita yang gemar bermanipulatif. Dia menuruni tangga, dengan kakinya yang telanjang. Orang-orang di sini mulai berkasak-kusuk. Tapi yang paling tidak aku suka, mereka dengan sigap merekam moment menyebalkan ini. "Dia meracuni otak anakku agar membenciku." Katanya. "Dia memengaruhi suamiku, agar meninggalkanku. Dan dia juga yang membuat aku dan anakku terperosok ke dalam jurang." Kurang ajar. Berani-beraninya bicara omong kosong seperti itu. Aku mencengkeram map hijau dalam genggaman. Ingin meninjunya tepat di wajah. Dia mendekat sampai akhirnya behenti kira-kira satu meter dariku. "Apa kau bilang? Anakmu?" Mataku menyipit. Entah mendapat keberanian darimana. "Apa kau masih pantas disebut seorang ibu, setelah kau meninggalkan anakmu saat dia masih bayi." Aku bergerak maju. "Secara hukum, kau dengan Abi memang pasangan suami istri. Tapi, apakah kau masih pantas menyandang status istri, setelah kau meninggalkan suamimu begitu saja? Bahkan kau mengatakan kepada semua orang kalau kau sudah meninggal. Dan tidak pernah sedikit pun kau menemui anakmu. Dia bahkan tidak mengenalmu. Lebih parahnya lagi, dia tidak pernah tahu kalau dia punya ibu." Aku menyoroti wajahnya yang berubah pucat. Aku mengatakan sederet kalimat panjang lebar itu kepada Sera. Kedua tangan wanita itu mengepal di sisi tubuhnya. Dan orang-orang semakin serius mengerubungi kami. Aku dan Sera bagaikan artis hollywood yang berjalan di dalam pasar, dengan kerubungan paparazi. "Jangan pernah bicara omong kosong itu." Geramnya. Matanya tajam menatapku. Bisa kulihat kilatan marah di matanya yang abu-abu. "Jangan memutarbalikan fakta. Apa Kau punya bukti atas semua yang kau ucapkan tadi?" Dia memiringkan kepalanya. Aku diam menatapnya nyalang. Aku memang tidak punya bukti apa-apa selama ini. Lagipula selama ini aku hanya mendengar cerita dari Abi. Jadi, aku tidak tahu apakah selama ini pria itu berkata benar atau tidak. "Apakah pria itu yang mengatakannya padamu? apa kau pernah sedikit saja, pria itu menunjukan bukti kalau perkataannya adalah sebuah kebenaran?" aku mengatupkan bibir. Mendadak menjadi ragu. "Bagaimana kalau dia berbohong padamu? bagaimana kalau dia sengaja memisahkan aku dengan anakku?" suara Sera mulai memelan. Kedua alisku nyaris bertaut. "Untuk apa dia melakukan itu?" Sera mengambil jeda. Senyum liciknya musnah sudah dalam seketika. "Apa kau tahu, kalau Abi menikahiku adalah sebuah jebakan? seberapa dalam kau mengenalnya? dan seberapa banyak kau sudah mengetahui rahasianya?" Tungkaiku mulai melemah. Kedua bola mataku bergerak gusar. Tidak ada lagi keberanian dalam diriku untuk menatap wanita itu. Apa yang dia katakan mungkin saja benar. Abi tidak pernah menunjukan bukti apa-apa padaku. Kemungkinan pria itu berbohong memang ada. Bahkan dia bisa membuat kuburan palsu mengatasnamakan Sera. "Apa tidak terdengar aneh, aku yang masih hidup. Sementara Abi menunjujan gundukan tanah dengan batu nisan atas namaku pada orang-orang?" Sera menaikkan kedua alisnya. Menatapku intens, seolah sedang berusaha mencari keraguan dalam diriku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN