Secercah Harapan

1565 Kata
Orang itu masih mendekapku, membawaku keluar dari mall ini. Tahu-tahu aku sudah ada parkiran mobil mall ini. Tapi aku masih tidak sanggup hanya untuk menegakkan kepalaku. Jadi aku masih tidak tahu siapa orang yang menyelamatkanku dari perundungan itu. Bahuku bergetar, kemudian lututku melumer sehingga tanpa diperintah tubuhku merosot ke bawah. Bersimpuh di lantai sambil berderai air mata yang sejak tadi mendesak ingin keluar. Dadaku sesak sekali, dan hidungku mampet. Aku sama sekali tidak melakukan sesuatu yang dituduhkan oleh orang-orang itu. Semua yang dikatakan dalam video yang beredar adalah bohong. Aku ingin berteriak pada semuanya, tapi tidak bisa. Tenggorokanku tercekat, sehingga hanya dengungan keras yang keluar dari mulutku. "Aku punya baju ganti dalam mobil." Suara itu. "Baju itu juga milikmu." Seketika pecah tangisku terhenti. Aku mendongak untuk memastikan dugaanku benar. Ben? Kenapa dia ada di sini. Dia membantuku berdiri. Kemudian membuka pintu mobil. Menggerakkan kepalanya, memerintahkan ku untuk masuk ke dalam. Aku hanya diam sambil menarik napas tipis-tipis. Lalu masuk ke dalam mobilnya. Ada tas jinjing berisi blus milikku yang sudah lama. Mungkin tertinggal atau apa. Lalu bergegas mengganti bajuku yang basah. Setelah aku mengganti pakaian, aku mengetuk jendela mobil. Kemudian Ben membuka pintu. Dia berdiri di hadapanmu. "Mau pulang?" "Aku bau." Kataku dengan suara yang merengek. Ben diam saja. Kemudian menutup pintu mobil, padahal aku belum mengatur posisi dudukku, sehingga pintu itu nyaris membentur wajahku. Ben, masih tetap sama. Irit bicara. Ben masuk di kursi pengemudi. Sedangkan aku di kursi penumpang. Setelahnya Ben melakukan mobilnya keluar dari parkiran. Selama perjalanan, bau anyir dari telur terus menusuk hidungku. Ben saja berkali-kali membersihkan hidungnya. Ben mengantarku sampai depan rumah. Aku diam memandang Ben yang duduk di depan. Menatap punggungnya sampai dia berbalik padaku. "Kau tidak turun?" Pertanyaan macam apa itu. "Cepat bersihkan badanmu." Lalu Ben mematikan mesin mobil. Dan keluar dari dalam tanpa memedulikanku. Aku mengikutinya dari belakang. Seolah sudah hapal diluar kepala, Ben mengambil kunci rumahku di pot bunga mawar kuning. Kemudian membuka kuncinya, dan masuk ke dalam rumahku. Seperti dia yang punya rumah saja. "Tunggu di sini, aku mau mandi." Kataku. hanya dengan anggukan, Ben menjadikan itu sebagai jawaban. Lalu dia duduk di sofa dengan televisi. Sementara aku mandi. *** Masih dengan handuk kecil yang aku gulung di atas kepala, dan piyama, aku membawa teh hangat dalam cepet. Lalu diletakkan di atas meja kecil, dan duduk di samping Ben. Dia masih fokus pada ponselnya. "Thanks," ucapku memecah keheningan. "Kenapa kau bisa ada di sana?" "Aku bertemu dengan Hafidz. Dia mengira kita masih bersama. Dan dia menceritakan semua padaku." "Terus?" "Aku melihat Fay dan Vivi masuk ke supermarket, dan aku mengikuti kalian." Ben mengedikkan bahunya seolah hal yang tadi terjadi bukan apa-apa. "Sera banyak berubah. Aku hampir tidak mengenali dia." Mata Ben menerawang e depan. "Dia ingin mempertahankan pernikahannya dengan Abi." Ben tertawa kecil. "Abi itu terlalu baik. Kadang aku selalu kesal dengan sifat sering mengalahnya." Ben mengambil cepet berisi teh hangat kemudian menuangkannya ke dalam cangkir. "Sedekat apa sih, kalian?" "Kami seperti saudara. Hampir setiap hari dia menginap di rumahku. Aku yang gemar berolahraga sampai capek sendiri untuk mengajaknya olahraga. Dia itu obesitas. Dulu." Ben menoleh padaku. Lalu senyumnya mengembang. "Jadi, aku selalu mengajaknya untuk olahraga. Jogging di siang hari. Tapi dia selalu tidak mau. Sampai akhirnya kami lulus SMA, dan dia kuliah bersama Arsenio. Tahu-tahu dia sudah kurus." "Lalu, Sera? Abi tidak pernah mengatakan padamu kalau dia menyukainya?" Ben menggeleng lemah. "Kalau soal cinta, dia sangat tertutup. Bertolak belakang dengan Arsenio. Dia tidak pandai mendekati wanita." Senyumnya tersungging di bibir Ben. "So, bagaimana kau dengannya?" Aku tersenyum getir. Merasa miris dengan hidupku sendiri. Dan juga malu terhadap Ben. "Aku tidak tahu. Sekarang malah jadi berantakan. Aku kena fitnah, kehilangan restoran ku, dan juga jauh dari Abi serta Rey." Tanpa bisa aku sangka, Ben menyentuh tanganku yang dingin. Aku mengikuti gerakan tangannya. "Kalau kau perlu bantuan, aku siap membantumu." Perlahan dia meremas jemariku. Lalu tatapanku jatuh ke wajahnya yang kini sedang tersenyum padaku. Senyum yang tulus. Senyum yang selalu dia berikan untukku. Satu yang terlintas di kepalaku. Kerasukan dedemit dari mana pria ini. *** "Serius, deh. Kenapa si Ben tiba-tiba muncul bak pahlawan kesiangan?" Sungut Vivi. Kami sedang ada di apartemen Fay. Keesokan harinya setelah insiden perundungan di supermarket itu, Fay menjemputku ke rumah. Awalnya aku tidak ingin ikut acara makan-makan dengan Rafael sebagai chef. OB ayolah, siapa yang berani keluar rumah setelah diperlakukan buruk oleh masyarakat kota setempat. "Aku saja nyaris tidak percaya ada Ben di sana. Sudah berapa lama aku tidak melihatnya." Fay menaruh telunjuknya di pelipis. Seolah sedang mengingat sesuatu. "Aku apalagi." Sembur ku. "Ku kira itu adalah arwahnya, tapi ternyata itu benar-benar Ben." "Kau diantar sampai rumah?" Tanya Fay, dan aku mengangguk. "Dia mampir dan kami ngobrol." Kataku. Kalimat ku sepertinya menarik perhatian Vivi. Wanita itu langsung menyilangkan kedua kakinya. Kami sedang berada di balkon apartemen Fay beralaskan karpet. Sementara Rafael memasak di dapur. Fay memang tidak tahu diri. "Terus?" "Ben mengatakan kalau Sera banyak berubah. Bukan seperti yang dulu dia kenal. Dia juga bilang, kalau dia siap membantu, kalau aku dibantu olehnya." "Ben sudah tahu tentang masalahmu?" Tanya Vivi. Aku mengangguk. "Dia aktif di media sosial juga," Fay menggerutu. "Dia bertemu dengan Hafidz. Dan Hafidz menceritakan semuanya pada Ben." "Oohh." Koor Fay dan Vivi bersamaan. "Jadi, kau akan minta bantuan Ben?" Fay mengambil rokoknya, dan menyalakannya dengan korek gas. "Kalau dia dibutuhkan." "Sepertinya kita memang butuh bantuan dari Ben." Vivi menganggukan kepalanya. Fay menawari Vivi rokok tapi Vivi menolak. Sudah berhenti sejak perjanjian dia dan Christian dibuat. Vivi berubah 180 derajat semenjak mengenal pria bernama Christian. Entah berubah karena uangnya, atau karena Christian nya. Who knows. Diskusi kami terinterupsi oleh kemunculan Rafael. Dia memberitahu kalau masakannya sudah selesai. Kami semua langsung berjengit di tempat. Fay langsung berdiri, kemudian melingkarkan tangannya ke belakang leher Rafael lalu mengecup singkat pipinya. "Thanks," ucapnya tanpa malu-malu. Sedangkan pria berwajah oriental yang masih mengenakan apron nya hanya bisa senyum-senyum ke arah kami. Aku dan Vivi hanya menggeleng-gelengkan kepala, kemudian pergi menuju meja makan, tidak memedulikan kemesraanan di depan mata. Aku dan Vivi berdecak kagum melihat berbagai macam hidangan yang tersaji di bar kecil milik Fay. Kami duduk di kursi. Dan aku nyaris meneteskan air liur saat melihat udang besar berbaris rapi di atas piring, dengan saus warna merah. Sedangkan Rafael berdiri di sebrang meja bar sedang mengocok botol berisi cairan berwarna merah. Entah apa yang dilakukannya, dia menggoyang-goyangkan botol dengan leher botol yang panjang dan bagian bawahnya yang bulat besar. Kemudian menuangkan isi cairan bersoda itu ke dalam gelas beling yang ada di hadapan kami. "Ini apa?" "Untuk makan-makan besar, harus dimulai dengan satu gelas sampanye." Kata Fay, lalu mengangkat gelas beling itu ke atas. Diikuti oleh Vivi. Sedangkan aku hanya menatap gelas itu. "Kau tidak mau?" Tanya Fay padaku. Aku mengernyit lalu menggelengkan kepala. "Jus jeruk, ada?" Tanyaku pada Rafael. Dia hanya tersenyum, lalu menuangkan satu gelas minuman oranye untukku. Dan kami semua menikmati hidangan yang dibuat oleh Rafael. Makanannya tidak ada yang tidak enak. Level hotel bintang sepuluh malah. Ternyata Rafael pernah bekerja sebagai chef di Amerika, lalu hijrah ke Singapura, dan menetap di Indonesia. Katanya dahulu kala sebelum dia menjadi juru masak, dia pernah bekerja sebagai tukang cuci piring di sebuah restoran. Kemudian diajak seorang chef di restoran tersebut sebagai asisten. Dari situ dia mengembangkan bakat memasaknya. Dia pernah sekolah masak di Singapura. Dan peruntungam di Jakarta. Membuka usaha kuliner kecil-kecilan sampai akhirnya dia punya restoran sendiri. Tempat aku dan Fay makan bersama, saat pertama kali kami bertemu Rafael. Pantas dia sangat low profile. Dia membangun karirnya dari nol. Setelah menghabiskan udang, steik, capcay brokoli ayam fillet, tempe goreng, dan lainnya yang tidak bisa aku sebutkan satu per satu. Perutku seolah ingin meledak. Makanan ini sejenak mampu membuat aku melupakan apa yang sedang aku alami. *** "Thanks, Vi." Aku melambai pada Vivi setelah dia mengantarku pulang. Kemudian Vivi pergi dengan mobil mewahnya. Kali ini dia pergi sendiri. Tanpa supir dan pengawal. Aku menghela napas, dan saat akan melangkah masuk, aku menemukan seseorang duduk di teras rumahku. Aku mendekat padanya. "Sedang apa kau?" Tanyaku pada pria yang bersimpuh di lantai. Dia mendongak. "Boleh kita bicara di dalam?" Awalnya aku ingin menolak, tapi aku juga perlu bicara dengannya. Tapi sebelum mengajaknya masuk, aku mengawasi sekitar. Akhir-akhir ini aku sering ketakutan. Aku masuk ke dalam rumah, menyalakan lampu dan semua ruangan jadi terang benderang. Menaruh tas di atas sofa. Abi, duduk di sana tanpa diperintah. "Dari mana?" Tanyanya ingin tahu. "Pergi dengan Fay dan Vivi." Jawabku malas-malasan. "Ben datang menemuiku." "So?" Abi yang tadinya duduk, kini berdiri tepat di hadapan ku. Lalu dia memegang kedua pundakku, membalikan tubuhku agar menghadap dia sepenuhnya. Lalu merangkum wajahku oleh kedua telapak tangannya. Dan dengan cepat menarikku ke dalam pelukannya. Menguburkan wajahku di dadanya. Aku mencium feromonnya yang seolah menjadi zat adiktif untukku. Aku selalu suka aroma tubuhnya yang menyeruak ke rongga hidungku. "Ben menceritakan semuanya padaku. Termasuk apa yang sedang terjadi saat ini, dan apa yang mereka lakukan padamu kemarin." Aku meneguk ludah. Masih belum membalas pelukannya. "Semuanya salahku, salahku, An." Tak terasa air mata mengalir di pipi begitu saja. Tapi tidak terdengar iasakan dariku. Aku menangis dalam diam. Karena sudah terlalu lelah. "Aku akan bercerai dengannya." Katanya. "Ben akan membantuku untuk memenangkan hak asuh atas Rey." Dia mengusap lembut rambutku. "Dan Hafidz, temanmu juga siap untuk membantu." Aku memejamkan mata. Menelan ludah. Lalu mengembuskan napas. Aku selalu berharap akan ada sebuah harapan. Walau itu hanya setitik noda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN