Aku masih tertegun di tempat memandangi mereka yang sedang berpelukan di hadapanku. Senyum getir terbit di bibirku yang kelu. Aku memijat kepalaku yang mulai berdenyut.
Sadar dengan situasi yang sangat tidak menguntungkan ini, aku melesat kabur ke private zone meninggalkan nampan kayu di atas meja. Tubuhku tersentak, tiba-tiba berbalik arah saat ada yang menarik lenganku kuat sekali.
"Ana,"
Abi. Dia sudah berdiri di hadapanku. Wajahku sudah sangat panas. Dengan emosi, aku menyentak satu tangannya, lalu berlari persis seperti anak baru gede yang sedang merajuk.
Memangnya aku punya hak apa untuk marah pada Abi. Mau Sera masih hidup atau sudah mati, mau bersama Abi kembali sekalipun, itu bukan urusanku. Tapi kenapa kenyataan justru bertolak belakang dengan hati.
Kenyataannya yang aku lakukan justru berdiam diri di dalam private zone, duduk di sana sambil menahan tangis yang memaksa minta keluar.
Ada apa denganku ini.
Bunyi suara pintu terbuka terdengar kencang. Abi masuk ke dalam private zone, dan aku segera menyeka air mata yang tidak bisa ku tahan lagi.
"Ana, kenapa? "
Seperti ditampar di siang bolong. Pertanyaan bodoh macam apa itu.
"Dia Sera, kan?" Aku sudah tidak bisa menahan diriku untuk bertanya. "Sera, ibunya Rey. Istrimu yang kau sebut sudah meninggal. Bagaimana bisa dia ada di sini? Dia bisa bangkit dari kubur?"
"Dari mana kau tahu kalau dia Sera?"
"Sudah sejauh apa kau berbohong padaku?"
Tanganku mengusap air mata yang sudah jatuh tanpa bisa aku bendung lagi. Berusaha untuk tetap tenang sekuat yang aku bisa. Untuk saat ini aku sangat butuh penjelasan. Kenapa dia mengatakan bahwa wanita itu sudah meninggal sementara kenyataannya, Sera masih hidup, sehat dan cantik.
Hah. Kenapa kenyataan paras wanita itu membuat aku begitu takut. Bagaimana dengan Ben kalau dia tahu. Bagaimana jika dia sengaja kembali hadir untuk mengambil semuanya dariku.
Pria jangkung ini meremas kepalanya, menarik rambutnya ke belakang. Kemudian duduk di big bean coklat. Dia diam. Aku juga diam. Memandangi lantai putih dengan nanar. Mengatur ulang napasku agar kembali normal. Lalu memutuskan untuk duduk mengikutinya.
"Aku tidak mengerti." Ucapku pada akhirnya. "Apa Ben tahu?" Abi menggeleng lemah. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri. "Lalu, kenapa dia ada di sini?"
"Ini.. Terlalu rumit untuk aku jelaskan."
Aku diam dalam keterpanaan. Mulutku menganga terkejut.
"Kau tidak bisa jelaskan apapun padaku? Pada Ben? Atau mungkin pada ayah Sera?"
Kepala Abi kembali menggeleng lemah. Baru kali ini aku melihat dia begitu berantakan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini.
Abi bangkit berdiri. Dia mengusap kepalaku pelan sekali sebelum akhirnya dia keluar dari private zone tanpa penjelasan apapun. Ingin aku mengejar tapi kakiku mendadak lumpuh. Jadi yang ku lakukan hanya terdiam memandangi dirinya sampai dia menghilang di balik pintu.
Bagaimana jika Ben tahu kalau orang yang masih dia cintai ternyata belum meninggal. Dia ada di sini. Sehat walafiat.
Dengan sangat lemah aku membuka kunci ponsel. Mencari nomor Fay di sana.
"Fay," kataku begitu sambungan telepon di angkat. "Aku rasa ceritanya akan mulai berbeda jika wanita itu masih hidup. Dan aku akan segera menjadi kacang polong."
"What? What do you say, Ana?"
Aku membiarkan Fay mengoceh padaku. Sampai panggilan itu terputus.
***
Kehadiran seseorang di depan pintu rumahku sangat mengejutkan. Seharusnya dia tidak ada di sini sekarang. Tapi yang kulihat bukan sekadar ilusi, tapi bentuk nyata dari seorang Ben.
"Ben?"
Ini belum lima hari menjelang pernikahanku. Masih ada sepuluh hari lagi menuju hari H. Tapi kenapa Ben sudah berdiri di depanku menampakan batang hidungnya? Astaga kenapa aku jadi tidak suka.
"Kau pasti terkejut." Dia mengecup kilat bibirku kemudian masuk ke dalam rumah dan duduk di depan ruang televisi. Aku mengikuti gerakannya, duduk disampingnya. "Aku sengaja pulang lebih cepat."
"Untuk mempersiapkan pernikahan?" Pertanyaanku menyiratkan banyak harapan.
"Bukan." Jawabnya mantap. Oh seharusnya aku memang tidak berharap lebih. "Aku tidak bisa lama-lama jauh dari Rey."
"Oh." Aku tersenyun kecut. "Kapan kau sampai rumah?"
"Dua hari yang lalu."
Aku bergerak mundur. Dua hari yang lalu? Dia datang dua hari yang lalu tapi baru menampakan wujudnya sekarang? Dan sama sekali tidak memberiku kabar.
"Kenapa baru sekarang menemuiku?"
"Oh, kemarin aku pergi ke Bandung. Aku.."
"Bandung?"
Mataku menyipit. Mataku terpejam singkat. Dia masih tidak tahu bahwa Sera belum meningg dan dia ada di Jakarta. Sakit di kepalaku masih belum hilang. Tetap berdenyut entah sejak kapan. Hubunganku mulai tidak berbentuk seperti benang kusut.
"Hanya mengunjunginya An, sebentar."
Penjelasan Ben justru membuat aku ingin tertawa. Kuburan siapa yang dia kunjungi. Siapa yang ada di dalam tanah itu sebenarnya.
Bahkan Ben masih begitu peduli walau wanita itu sudah terkubur. Bagaimana jika Ben tahu segalanya. Segala yang rumit itu.
"Aku mau ke rumah Rey. Kau mau ikut bersamaku?" tanya Ben pada akhirnya. Begitu sangat hati-hati.
Aku memijat pelipisku. Mood ku sudah hancur berantakan. Kenapa dia sama sekali tidak peduli padaku. Pada pernikahan kami.
"Sendiri saja, aku sibuk." Jawabku ketus.
"Sibuk?"
"Sibuk mau menyebar surat undangan pernikahanku, kemudian mengambil cendera mata, dan sepatu pernikahan yang baru selesai dibuat."
Aku mengatakannya seolah-olah hanya aku saja yang terlibat dalam pernikahan ini. Sementara dia hanya seorang figuran tidak berfungsi.
"Semuanya sudah selesai?"
"Sudah."
"Kalau begitu aku akan melihatnya setelah aku menemui Rey."
Aku menatapnya tidak percaya. Dia benar-benar keterlaluan. Aku menggigit gigi geraham menahan amarah di dalam sana. Belum hilang bayang-bayang Sera yang jelas terekam di otakku, kini Ben mau menambahi dengan tidak pedulinya pada persiapan pernikahan kami.
"Jangan lupa kau harus fitting baju pernikahan." ujarku setenang mungkin.
"Kapan?"
"Terserah padamu. Kapan punya waktunya. Mau dicoba 5 menit sebelum akad nikah juga tidak apa-apa. Bebas."
"An," Ben membalikan tubuhku agar menghadapnya. "Please, jangan seperti ini terus. Sepuluh hari lagi kita akan menikah. Sampai kapan kau terus mempermasalahkan hal-hal kecil seperti ini?"
"Hal kecil katamu?!" Aku nyaris putus asa. Air mataku sudah menganak. Dadaku sudah panas dari tadi. "Bagian mananya yang menurutmu kecil? Apakah mempersiapkan rencana pernikahan menurutmu hal kecil?"
"Bukankah sudah ada wedding planer? Jadi kau tidak usah terlibat jauh."
Aku berdiri seketika. "Ben!" aku berusaha menekan amarah. "Harus berapa kali aku bilang, yang mau menikah itu kita. Aku dan kau. Sudah seharusnya kita ikut terlibat dalam setiap rencananya." Aku mengembuskan napas. "Kalau kau tidak ingin di repotkan tidak masalah. Tapi untuk sekadar bertanya sudah sejauh mana persiapannya apa kau tidak mau juga?" Ben ikut berdiri. "Apa kau hanya ingin datang di hari H, mengucapkan ijab qobul setelah itu sudah. Selesai? Lucu sekali, Ben."
"Aku hanya ingin mendekatkan diri pada Rey. Seharusnya kau juga begitu, An. Mendekatkan dirimu pada Rey."
"Jangan mendikteku tentang Rey seolah kau sudah lama mengenalnya." Aku mengangkat telunjukku ke depan wajahnya. "Aku mengenal Rey jauh sebelum kau tahu bahwa dia adalah anakmu. Jangan pernah memberitahuku apa yang harus aku lakukan pada Rey. Karena aku telah lebih dulu sayang padanya jauh sebelum kau menyayanginya."
Dadaku naik turun tak beraturan. Aku segera kembali duduk demi meluruhkan emosiku. Ben hanya menatapku kemudian ikut duduk dan menarik kepalaku ke dadanya, mengusap kepalaku untuk menenangkan.
"Aku hanya ingin yang terbaik untuk kita."
Bahkan dia tidak mengerti apa itu yang terbaik untuk kami.