"Mahal juga tidak apa-apa." Ujarnya cepat. Sementara aku tersentak.
Sebelum aku menjawab, dering ponsel wanita itu berbunyi. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Saat dia menempelkan ponselnya ke telinga, wajah foto seorang bayi terpampang jelas sebagai latar softcase ponselnya.
"Aku di Read Eat." Katanya. "Oke, baiklah. Aku tunggu."
"Anakmu?" aku tidak bisa tidak bertanya saat dia memutus sambungan telepon. Matanya membulat melihatku. Aku menunjuk pasa softcase ponselnya.
"Oh, iya.." jawabnya. Seketika senyuman hangat terbit di wajahnya yang cantik. "Tapi.. Sudah sangat lama aku tidak bertemu dengannya." Dia mengusap gambar pada softcase tersebut. Jelas sekali raut merindu tergambar di wajahnya.
"Kenapa?" Ya Tuhan. Ana, please itu masalah pribadi orang lain. Tidak perlu ingin tahu lebih lanjut.
Dia mengangkat kedua bahunya singkat. "Kesalahan yang tidak ingin aku bahas. Dan ku harap semua itu terkubur dalam-dalam. Tapi, jika boleh, aku ingin bertemu dengannya walau cuma sekali."
Dia bicara seolah aku ini bukan orang asing. Seperti lama terpendam dan menemukan orang untuk mengeluarkan yang mengganjal di hatinya.
Baru aku akan mengajukan pertanyaan lagi, wanita itu melambaikan tangannya pada seseorang. Reflek tubuhku ikut berbalik ingin tahu. Sha?
"Hai, sudah lama?"
Mereka saling menempelkan pipi kanan dan kiri.
"Baru saja."
Sha duduk di samping Sera. Sementara aku terpaku melihat mereka. Rasanya mereka bakal bisa jadi genk sempurna jika ditambah Viona. Wanita diskon 70% itu. Mereka itu jenis wanita-wanita cantik, independen dan angkuh.
"An, ku kira siapa."
Aku hanya tersenyum menanggapi. Melihat mereka aku seperti tertarik dari bumi. Merasa begitu asing, dan bukan bagian dari mereka. Oh ya Tuhan kenapa aku jadi insecure seperti ini.
"Temanmu?"
"Dia, Sera," kata Sha memperkenalkan. "Salah satu perancang busana terkenal dan menginspirasi. Baru saja kembali dari Paris. Aku dan dia akan bergabung bersama di Jakarta Fashion Week."
Aku mengangguk lalu tersenyum getir.
"Mau minum apa?"
"Biasa An, jus tomat tanpa gula." jawab Sha.
"Kau? Mau pesan minum? Atau makan?"
"Aku es kopi s**u saja."
Setelahnya aku menarik diri dengan sendirinya. Selama berteman dengan Sha aku tidak pernah merasa berbeda dengannya. Walau dengan sangat jelas aku dan dia begitu kontras. Tapi saat melihat dia dengan perempuan bernama Sera, aku jadi melihat bahwa aku tidak bisa jadi bagian dari mereka. Sha begitu nampak sempurna. Sera juga begitu.
Aku membuatkan pesanan mereka. Hari ini aku bebas tugas menjaga Rey. Katanya ibunya Abi datang mengunjungi mereka dari Bogor. Jadi hari ini Rey bersama dengan neneknya. Ternyata belum sehari tanpa Rey, rasanya begitu sepi. Mungkin aku sudah terbiasa dengan kehadirannya.
Sementara Vivi masih belum masuk juga. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Anak itu kemana saja beberapa hari ini. Tidak biasanya dia mangkir dari tugas. Mungkin aku harus mengunjungi tempat kosnya.
Jus tomat tanpa gula dan es kopi s**u siap aku hidangkan. Obrolan Sha dan Sera terinterupsi ketika aku datang membawa pesanan mereka.
"Silakan."
"Jadi, bagaimana? Kau bisa menyewakan buku itu padaku?"
Kembali aku memandang Sera dengan jengah. Aku duduk persis dihadapan mereka.
"Bukunya tidak ada di sini." jawabku. "Kau bisa kembali kalau buku itu sudah di sini."
"Aku bisa menunggumu di sini, sementara kau mengambil buku itu di rumah."
Wanita ini benar-benar. Apa dia begitu sangat tidak mengerti dengan penolakan halus yang aku lakukan.
"Sudah aku bilang, kau bisa kembali kalau buku itu sudah ada di sini. Lagipula, aku tidak bisa ambil sekarang."
"Buku apa sih?" tanya Sha.
"n****+ kidung sunyi. Karangan Sagala Agung." Jawabku. "Kau pasti tidak tahu." Aku memutar bola mata.
"Oh, buku yang selama ini kau cari."
Ujar Sha, dan Sera mengangguk.
"Dia mencari buku itu sampai ke ujung dunia." Sha menjelaskan padaku. Sera mengangguk, lalu melihat padaku meminta iba. Tapi tidak terlalu aku tanggapi. "Aku bilang padanya untuk datang ke sini. Barang kali ada. Buku-buku koleksimu kan banyak."
Nah sudah jelas! Benang merahnya sudah ditemukan. Jadi Sha yang merekomendasikan tempat ini kepada Sera. Pantas saja dia ngotot sekali padaku.
"Lagipula kenapa kau ingin sekali buku itu?"
"Buku itu mengingatkanku pada seseorang." Sera tersenyum. "Seseorang yang aku rindukan selama ini. Aku baru menyadari kalau dia sangat berharga di hidupku."
Buku Kidung Sunyi memang romantis. n****+ karangan Sagala Agung memang selalu membuat pembacanya tersenyuh. Walau kisah dalam n****+ tersebut tidak berakhir bahagia, tapi setiap kalimat yang tersusun di dalamnya membuat candu.
"Simpan saja no ponselmu, nanti aku beri tahu kalau bukunya sudah ada."
Sera tersentak menatapku. Lalu secara tiba-tiba meraih kedua tanganku. Bahagia sekali dia.
"Terima kasih, Ana."
Aku mengangguk kecil. Dan tidak bertanya lagi dari mana dia tahu namaku.
Secara bersamaan dering ponselku berbunyi. Ada rasa nyeri ketika melihat nama Abi menari-nari di layar ponsel. Aku berusaha mengabaikannya, tapi dering itu terus berbunyi.
"Ya, hallo."
"Kau di mana?"
"Di Read Eat."
"Oke, kita makan siang bareng."
Selalu begitu. Dia selalu menggunakan kalimat perintah dari pada ajakan. Dan bodohnya aku tidak pernah menolak apapun yang dia katakan. Ya, memangnya aku bisa apa selain menjawan 'Iya'.
Setelah sambungan telepon itu diputus muncul notifikasi w******p dari Ben. Aku membaca pesannya tanpa membuka penuh aplikasinya. Ya, aku tahu dia adalah seorang pria yang sedang menata kembali hidupnya. Pria yang sedang menebus segala kesalahannya di masa lalu. Seorang pria yang sedang berusaha menjadi sosok Ayah yang baik untuk seorang anak yang baru saja bertemu. Tapi, apa perhatiannya padaku sudah tidak lagi berfungsi.
Ben, dengan segala sifat yang tidak ada dalam daftar pria idamanku perlahan seolah menjauh. Memberi jarak pada hubungan kami yang mulai terasa hambar.
Lamunanku buyar oleh Sera yang menaruh gelas berisi es kopi s**u dalam sekali hentakan ke atas meja. Suara debuman itu membuat perhatianku tersedot olehnya. Dia tertegun di tempat seperti patung lilin. Tangannya menggenggam gelas beling itu dengan erat. Bisa ku lihat kedua bola matanya membulat sempurna. Lihat apa sih dia? Hantu?
Reflek, aku menoleh ke belakang dan mendapati Abi sedang berjalan ke arahku sambil memainkan ponselnya. Kembali aku melihat Sera. Dia masih dalam posisinya. Tidak bergerak.
Gerakan Abi yang semakin lama semakin mendekat membiat tubuh Sera semakin memegang.
"An," tangan Abi terulur mengusap puncak kepalaku. Lalu satu tangannya yang bebas memasukan ponselnya ke dalam kantong celana. "Kau belum mak.. "
Kalimatnya menggantung. Tatapannya beralih pada Sera. Tubuhnya bergerak mundur. Mereka berdua sama-sama saling pandang dengan ekspresi wajah terkejut.
Sera? Jangan-jangan...
"Abi."
Bisa ku dengar suara Sera berkata lirih. Aku sudah menahan napas. Siap dengan segala kemungkinan terburuk. Abi masih diam. Sementara Sera mendapati kesadarannya lalu berdiri dan tanpa di duga menghambur memeluk Abi.
Kini giliranku yang mematung di tempat. Membeku seperti terkena mantra Princes Elsa.
Pemandangan macam apa yang sedang ku lihat. Bagaimana bisa dia hidup kembali.