The same old story

1027 Kata
Acara makan siangku buyar seketika. Abi merusak selera makanku semenjak dia membicarakan Ben yang tidak-tidak. Oh ayolah, dia mempermasalahkan kedekatan Ben dengan Rey. Bukankah mereka sudah sepakat kalau hal ini menjadi tanggung jawab bersama. Abi juga setuju. "Tapi dia sudah terlalu jauh memasuki urusan pribadi kita." "Untuk urusan Rey, bukan urusan pribadi kita lagi. Ben juga punya andil, Bi." Abi menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Wajahnya jengkel, lalu berdecak kesal. Dia membuang wajahnya ke samping. Lalu menyambar es teh manisnya. "Kalau ada apa-apa, aku orang pertama yang harus kau hubungi." "Apa? kau pikir aku menghubungi siapa? tukang service?" Tanyaku tidak percaya dengan pertanyaannya. "Tapi aku lebih memilih menghubungi tukang service dibanding menghubungimu. Akhir-akhir ini kau seperti pejabat. Sok, sibuk." Aku memajukan wajahku padanya. Saat dia akan membuka suara tiba-tiba ponsel Abi berteriak nyaring. Aku bisa tahu siapa nama si penelepon itu karena ponselnya tergeletak di atas meja. Sophie! "Kalau kau mau meeting, meeting saja." Tandas ku, kemudian meninggalkan dia sendiri. Beranjak dari bangku kantin, dan menjejakan kaki ke lantai. Aku harap dia sadar diri. *** Rey sudah selesai fisioterapi, dan sekarang, Rey sudah kembali ke kamarnya. Di sana sudah ada ibu dan ayah mertuaku, Ben, dan juga tante Farida. "Tante," aku menyalami tante Farida. Dan beliau menyambutku dengan senyuman hangat seperti biasa. "Abi, mana, An?" tanya bu Rina padaku. "Oh di kantin, Bu." jawabku. Lalu tidak lama kemudian Abi muncul. Dia menggaruk keningnya, kemudian dengan sopan mencium tangan tante Farida. Dia duduk di sofa bludru itu terlihat gelisah, sambil melihat ponselnya. Aku curiga melihat gerak-geriknya yang aneh. "Kenapa?" aku menghampiri dia, lalu duduk di sampingnya. "Aku.. aku harus.." "Pergi? meeting? di mana?" tanyaku bertubi-tubi.. Berusaha sekali meredam suara agar tidak terdengar saiap-siapa. Aku mengangkat keningku. Menatap jengah padanya. "Kalau penting, pergi saja. Ada ibu sama ayah di sini. Katanya mereka mau menginap." "Dan, Ben?" lanjutnya. Aku berdecak, memijat keningku. "Bi, please. Kalau kau tidak ingin Ben ambil alih peranmu sekarang, kau seharusnya bisa membatalkan acaramu." Dia menjambak rambutnya. Kemudian mengotak-atik lagi ponselnya. "Aku tidak bisa memutuskan apa-apa. Kau yang punya pilihan." Ucapku pada akhirnya. Kemudian pergi dari hadapannya, dan menghambur bersama ibu dan ayah mertuaku, Rey, Ben dan tante Farida. Ayah mertuaku duduk di kursi yang jaraknya lumayan jauh dari tempat tidur Rey. Ibu mertuaku, duduk di sisi kanan tempat tidur Rey bersamaan dengan tante Farida. Ben di ujung ranjang, dan aku di sisi kiri. Sedangkan Abi, dia nampaknya sedang pusing dengan pilihannya sendiri. Pasti dia akan bertemu dengan bernama Sophie. Aku yakin mereka ada sesuatu. Kalau pun bukan hubungan khusus, tapi pasti pertemanan aneh. Aneh bagi laki-laki yang sudah punya istri berteman dekat dengan seorang wanita. Aku tak lagi melihatnya. Berusaha mengabaikan semuanya. Aku harus fokus terlebih dahulu dengan kesembuhan Rey. Baru, aku akan kembali menyelidiki mereka. Tingkah aneh yang dimiliki Abi sekarang. *** Hari ini, Rey sudah boleh pulang. Sebelumnya, aku kembali ke rumah untuk merapikan isi rumah. Suasana rumah harus nyaman, dan harus steril dari debu. Aku kasihan pada Ruby, karena saat aku pulang, dia langsung menghambur ke pelukanku. Karena dia menangis saat aku akan tinggalkan kembali ke rumah sakit, aku ajak dia bersama dengan mbok Darmi. Abi, dia bilang dia akan pulang setengah hari. Tapi sudah jam dua siang, dia belum juga datang. Segala biaya administrasi sudah aku selesaikan. Tinggal menunggu dokter untuk terakhir kali diperiksa. tepat pukul setengah 3 sore dokter datang, memeriksa Rey untuk terakhir kali. Dan memberitahuku agar kembali ke rumah sakit untuk kontrol rutin. Rey juga masih harus menjalani fisioterapi agar tangannya kembali kesedia kala. Terakhir kalinya aku menghubungi Abi. Dia janji akan datang dalam lima belas menit lagi. Sambil menunggunya, aku membereskan barang-barang Rey, dibantu oleh ibu. "Abi sudah di telepon, An?" tanya ibu saat memasukkan handuk ke dalam tas. Sedangkan Ruby digendong mbo Darmi. "Sudah Bu, sedang di jalan." Ruby menggoyang-goyangkan mainan yang dia genggam. Mengeluarkan bunyi dari lonceng kecil yang ada di dalam mainan. Abi datang tepat setelah kami selesai mengepaki barang-barang. Lalu membawa tas besar-besar ke dalam mobil. "Ibu ikut bersama Abi saja." Titah Abi. Karena aku memang bawa mobilku sendiri. "Ana mau mampir sebentar ke supermarket." "Iya, Bu. di rumah stok makanan sudah habis. Ibu menginap di rumah, kan?" "Iya, Kamu hati-hati. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya." Ibu mengusap pundakku. Kemudian Abi dan ibu membawa tas, ayah menggendong Rey. Sedangkan Ruby masih ada di gendongan mbok Darmi. Sementara aku menyiapkan mobil. Aku membuka pintu belakang, mengatur tas agar rapi. Lalu membuka pintu penumpang. Tepat saat aku membukanya, aku menemukan benda bulat warna ungu terbuat dari karet. Aku mengambilnya, dan agak heran mendapati sebuah ikat rambut. Tidak sempat berpikir milik siapa, cepat-cepat aku masukan ke dalam kantung celana. Jantungku berdetak cepat, hatiku bergemuruh. Saat Abi datang, aku langsung memandangnya penuh kesal. Tidak mungkin dia menggunakan benda ini. *** Setelah mobil Abi Melaju menuju rumah, aku menekan gas menuju supermarket untuk menyetok makanan. Karena ibu dan ayah akan menginap di rumah. Ditambah makanan di rumah sudah habis. Untuk makan malam ini aku membeli makanan yang sudah matang. Karena tidak sempat memasak. Keadaan sedang hectic hebat. Antrean cukup panjang di kasir. Aku mengedarkan pandanganku pada supermarket yang dipadati pengunjung. Tepat di depanku, berdiri seorang wanita mengenakan blus warna putih, dipadukan celana jeans dan sepatu hak tinggi. Rambutnya diikat satu ke belakang. Dan seorang anak kecil perempuan, Kira-kira usianya satu tahun. Sama dengan Ruby. Saat wanita itu berbalik akan mengambil sebuah coklat, aku meneguk ludah. Aku ingat wajah itu. Hatiku mencelus, mengenali wanita yang berdiri di depanku. Dia, Sera. Dia kembali berbalik, lalu gilirannya membayar semua belanjaan. Aku ingin menyapa, tapi ragu. Sampai akhirnya dia berlalu, dan giliranku membayar belanjaan. Dia berjalan perlahan sambil sesekali bercengkrama dengan anak kecil itu. Secara terburu-buru aku mengeluarkan dompet dan memberikan kartu debit pada wanita penjaga kasir. Setelah transaksi selesai, aku menenteng barang belanjaan, dan berjalan cepat mencari Sera. Siapa tahu dia masih ada. Tapi sejauh mata memandang, aku tidak menemukan sosoknya. Atau mungkin aku salah lihat. Tapi, tidak. Aku yakin dia Sera. Barangkali dia sudah pulang dari Paris. Langkahku terhenti, buah jeruk yang ada di kantung belanjaan nyaris terjatuh. Baru sempat terpikir, kalau aku muncul di hadapannya, apakah dia mau bertemu denganku. Atau dia akan menghindar. Mungkin sebaiknya tidak aku tegur. "Ana,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN