"Ana," aku nyaris berteriak saat membalikkan badan, sosok Sera ada di belakangku. "Sorry, aku mengagetkanmu." Katanya sungkan.
"Tidak apa-apa." Kataku sambil menenangkan diri. "Hai," sapaku canggung. Mewanti-wanti diriku, siapa tahu dia akan melakukan gerakan yang tak terduga.
"Hai," jawabnya. "Mau.. ngobrol sebentar?" tawarnya. Dan itu sepertinya gagasan yang bagus.
Tapi aku menarik napas halus, berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Boleh."
***
Aku memilih toko donat sebagai tempat berbincang bersama Sera. Karena aku suka minuman kopi di sini, ditambah anak kecil ini juga bisa memesan donat.
"Apa kabar?" tanyanya sambil tersenyum. Dia tampak memukau saja. Sedangkan aku, sepertinya makin berantakan. Sangat kontras sekali dengannya.
Rambutku yang pendek sebahu, serta kaus polos, dan celana sebatas betis, dan sandal jepit. Astaga sandal jepit. Kenapa aku bisa bertemu Sera dengan menggunakan sandal jepit. Aku meringis dalam hati merasa begitu menyesal.
"Aku.. baik." Jawabku gelagapan. "Kau sendiri, bagaimana? dia.. siapa?" aku menunjuk pada gadis kecil yang sedang menyantap donatnya.
"Anakku," aku terkejut bukan main. "Anak asuh lebih tepatnya." Sera melanjutkan dengan cepat. "Kau.. sendiri? maksudku, tidak pergi bersama dengan, Abi?"
"Ya, aku sendiri. Abi di rumah bersama anak-anak."
"Anak-anak?" Tanyanya.
"Ya, aku punya anak. Laki-laki. Usianya satu tahun."
"Oh, selamat." Katanya semringah. "Lalu, Rey.. punya adik, dong."
"Iya, dia sangat senang. Sayang sekali dengan adiknya."
Ada hening yang panjang. Lalu Sera menangkap tanganku. Aku menahan napas, dan melotot. Dia mau apa.
"Terima kasih sudah menjaga Rey dengan baik." Ucapnya lembut. "Maafkan semua kesalahanku padamu."
"Ya.. aku.. sudah melupakannya. Aku.. sudah.. tidak mempermasalahkan lagi." Perlahan aku menarik tanganku. Lalu tersenyum. Berusaha untuk biasa saja.
"Selama di Paris, aku menjalani pengobatan. Banyak sekali yang aku temukan di luar sana. Sampai akhirnya, aku bisa menerima diriku sendiri dengan baik. Dan.. bertemu dengan Sienna." Sera mengusap lembut rambut gadis kecil itu. "Oh ya," dia nyaris melompat. "Rey, apa kabar? Dia.. baik-baik saja?"
Aku terdiam sebentar. Walau dulu Rey tidak menginginkan kehadiran Sera, tapi aku merasa tidak enak hati untuk menyampaikan keadaan Rey.
"Rey, baru saja pulang dari rumah sakit. Dia.. habis bertengkar dengan teman sekolahnya." Aku tidak yakin dia akan menerima kabar ini dengan baik atau tidak. "Tangannya... patah." Aku meringis di akhir kalimat. Menunggu reaksinya dengan was-was. "Tapi, Rey sudah diobati. Dokter mengatakan kalau Rey baik-baik saja." Lanjut ku cepat. Karena tidak ada reaksi apa-apa darinya.
"It's okay, An. Kau tidak perlu merasa tidak enak hati padaku." Katanya. "Aku ingin melihatnya. Tapi, aku belum siap menerima bagaimana reaksinya nanti."
Aku tertegun. Kupikir dia akan marah, membentak, atau apa. Tapi dia begitu santai menanggapi, walau kecemasan masih tercetak jelas di raut wajahnya yang cantik. Dan kalau soal itu, aku tidak punya wewenang apa-apa. Semua keputusan tetap ada pada Abi.
"Kau bisa diskusikan itu bersama Abi." Aku memberi ide.
"Ben? Bagaimana dia dengan Ben?"
"Kami sepakat untuk memperkenalkan Ben sebagai pamannya. Sampai nanti, Rey susah dewasa, dan siap menerima kondisi keluarganya. Sejauh ini, hubungan Ben dengan Rey, baik-baik saja. Ben, dia... sayang sekali terhadap Rey."
Tanpa bisa aku duga, Sera menitikan air mata. "Aku sudah banyak melakukan kesalahan." Katanya. Buru-buru dia mengusap air matanya. "Andai aku datang baik-baik, mungkin Rey bisa mengenalku dengan baik juga."
"Semua sudah berlalu. Tidak ada gunanya juga untuk disesali. Kalau kau ingin bertemu Rey, aku yakin, Abi juga akan setuju."
Senyum mengembang di bibirnya. "Aku akan mempersiapkan diri terlebih dahulu."
"Ya, kau bisa menghubungiku kalau.. kalau kau sudah siap."
"Nomor ponselmu, masih yang lama?"
"Ya," aku mengangguk. "Aku tidak mengganti nomor ponselku."
"Oke, nanti aku boleh menghubungimu, untuk menanyakan kabar tentang Rey?"
"Ya, tentu saja." Jawabku antusias. "Kapanpun kau boleh menghubungiku."
Setelahnya kami bercengkrama ala sahabat lama tak jumpa. Padahal di masa lalu, kami nyaris saling membunuh. Oh tidak, aku tidak ingin membunuhnya. Tentu saja itu hanya candaan. Dia menceritakan kehidupannya di Paris, dan kunjungannya ke Indonesia hanya sementara. Dia juga mengungkapkan keinginannya berlibur ke disney Land mengajak serta Rey.
Ya, aku hanya bisa berharap semuanya akan jauh lebih baik di kemudian hari
***
Setelah makan malam, Rey tidur bersama dengan ibu dan ayah. Dia merengek ingin tidur bersama nenek dan kakeknya. Sedangkan Ruby tidur bersamaku di tempat tidur yang sama. Entah karena dia rindu aku atau apa, dia tidak mau ditidurkan di box bayi.
Saat Abi sedang memainkan ponselnya, aku ingin sekali merampas benda itu, lalu melemparnya ke dinding hingga menjadi serpihan kecil. Tapi aku urungkan niatku. Demi kemaslahatan bersama, aku buang jauh-jauh angan-angan itu.
"Bi," panggil kau. Dia hanya berdehem, tidak melihatku. "Sayang, kau dengar tidak?" rengek ku.
"Ya... aku dengar. Apa?" tapi dia masih fokus pada ponselnya.
Aku berdecak, lalu mendekatkan diri. Bukan, tapi menempel seperti lintah. "Aku bertemu Sera." Bisikku padanya. Dia langsung menekan tombol kunci di ponsel, dan menegakkan tubuh.
"Siapa? Sera?" katanya terkejut.
Aku mengangguk kencang. "Saat aku di supermarket. Dia memiliki anak asuh. Perempuan, seusia Ruby."
"Bukankah dia ada di Paris?"
"Ya, dia di sini hanya untuk perjalanan bisnis. Nanti dia kembali lagi ke Paris." Terangku. Menjawab pertanyaannya, dan menghilangkan kerutan di keningnya. Aku menyandarkan kepala di bahunya, lalu melingkarkan tanganku di lengannya yang masih kekar. "Dia.. dia ingin bertemu Rey."
Abi beringsut, membuat tanganku yang melingkar di lengannya, terlepas. Dia menatapku terkejut.
"Lalu, kau bilang apa?"
"Aku bilang, kalau ingin bertemu Rey, silakan saja." Jawabku santai seolah tak ada beban. Ya, menurutku itu hal biasa. Sera terlihat sehat, dan.. normal.
Tapi reaksi Abi diluar ekspektasi. "Kau sadar tidak, sih. Bagaimana dulu dia memperlakukan, Rey? dia nyaris membuat anakku mati. Walau aku tahu dia ibunya, tapi aku tidak akan pernah menyerahkan Rey untuknya. Kau ini, waras tidak, sih?"
Aku meneguk ludah. Terpana melihatnya mencak-mencak. Suaranya melengking tinggi. "Apa?"
"Kenapa kau mengatakan itu padanya? kau sudah bosan mengasuh Rey? Kau sudah tidak mau jadi ibunya lagi? maka dari itu, kau mengizinkan Sera untuk bertemu Rey."
Dia gila! Dan aku juga lebih gila. Dia mengaduh karena satu tamparan keras mendarat di wajahnya. Aku kehilangan kendaliku. Tersinggung dengan apa yang dia katakan barusan. Dia menuduhku tanpa alasan, dan tidak berdasar sama sekali. Oh, apakah ini kekerasan dalam rumah tangga.
"Aku tidak percaya kau katakan itu padaku." Aku menggelengkan kepala. "Sudah berapa banyak yang aku perjuangkan untuk Rey, menyayanginya, mencintainya setulus yang aku bisa. Melakukan apapun demi membuatnya merasa aman. Dan sekarang, kau anggap aku serendah itu? pikiranmu padaku, hanya sedangkal itu, Bi? Yang benar saja."
Aku tertawa kecil, menengadahkan kepalaku ke langit-langit kamar. Merasa luar biasa menjengkelkan. Aku muak dengannya saat ini. Tanpa menunggunya menanggapi argumen ku, aku segera berbaring membelakanginya, menutup tubuhku dengan selimut.