"Dengan sangat menyesal, aku harus menyampaikan ini pada kalian. Kanker hati yang diderita Ana sudah stadium lanjut. Kanker hati sampai stadium lanjut, sudah susah untuk diobati sepenuhnya." Aku duduk di atas tempat tidur rumah sakit, dengan punggung bersandar di sandaran ranjang. Abi berada di sampingku, mendengarkan penjelasan dari Darren. "Namun, apabila aktif melakukan pengobatan, berpikir optimis, bisa membantu mengontrol tumor berkembang, dan menaikkan kualitas hidup." Darren tersenyum ramah pada kami.
"Kalau kau bertanya, berapa lama waktu yang kau punya, semua dokter yang ada di dunia ini, tidak akan bisa menjawab. Kami, bukan Tuhan."
"Tapi Ana menolak untuk diobati." Suara Abi terdengar jengkel.
"Aku sangat menganjurkan agar kau mempertahankan suasana hati yang optimis untuk menghadapi penyakit. Ini dapat merangsang sistem kekebalan dari dirimu secara efektif. Melawan penyakit supaya tidak bertambah buruk. Dan jika kau pesimis dan hidup dalam ketakutan sepanjang hari, dapat menghancurkan kekebalan dalam dirimu sendiri, yang tidak kondusif untuk pemulihan. Oleh karena itu, sikap positif dan optimis adalah bagian yang tak terpisahkan untuk memperpanjang hidup."
Aku dan Abi saling pandang satu sama lain.
"Di Eropa ada pengobatan baru untuk kanker hati. Namanya, Imunoterapi Kombinasi. Aku tidak mengatakan kalau pengobatan ini untuk menyembuhkan. Ini untuk meningkatkan kekebalan tubuh, agar sel kanker tidak berkembang cepat." Jelasnya. "Kalau kau bersedia untuk melakukan pengobatan di sini, aku siap membantu. Tapi, kalau kau tidak mau, aku bisa rekomendasikan rumah sakit yang melakukan metode yang sama di Jakarta. Aku punya teman dokter di sana."
Tidak mungkin aku melakukan pengobatan di sini. Berapa yang harus aku keluarkan kalau aku melakukannya di sini.
"Aku akan diskusikan dengan Abi." Ucapku akhirnya. Pria itu menatapku sekilas, dan dengan rasa malas. Dia mungkin tahu, kalau ucapanku bukan benar-benar kalimat yang aku inginkan.
"Oke, kau harus istirahat dulu di sini dalam beberapa hari." Kata Darren.
"Pesawat kami akan terbang besok malam pukul 8." Abi memberitahu Darren, bahwa kami tidak akan bisa lebih lama lagi ada di sini.
"Aku akan buat surat rujukan kalau begitu. Kau boleh pulang nanti sore, atau besok pagi."
Darren keluar ruangan, dan setelahnya Rey masuk bersama Sera, Ruby, dan Sienna. Aku melihat Rey yang memakai kaus warna hitam, celana jeans pendek, dan sepatu vans, mendekat perlahan padaku. Dia menatapku dalam diam. Oh, apa aku pernah mengatakan kalau wajah Rey sama persis seperti Ben. Namun kulitnya mengikuti gen Sera.
Dia lalu berdiri di sisi ranjang, sangat dekat. Sehingga perutnya menempel pada sisi ranjang yang aku tempati.
"Apa Mami akan meninggal?"
Mataku mendadak panas. Aku melirik Abi dan Sera secara bergantian. Kemudian kembali menatap Rey, yang meminta jawaban. Usianya akan menginjak sepuluh tahun. Dia pasti sudah sangat memahami apa yang sedang menimpaku. Dia juga pasti mengerti pembicaraan kami.
"Rey," lirih ku, sambil mengusap kepalanya. "Bukankah semua manusia akan meninggal?"
"Tapi Mami akan meninggal lebih cepat, kan?" Rey menegaskan kalimatnya. "Rey tahu, kok kalau Mami sakit. Dan sakitnya Mami membuat Mami meninggal." Rey langsung menghambur ke pelukanku. "Rey sayang Mami, Rey janji akan membantu Mami untuk mewujudkan keinginan Mami."
"Keinginan Mami yang mana?"
Rey melepaskan pelukannya, menatapku dengan matanya yang berair. Lalu, melihat Abi cukup lama, dan berakhir memandang wajah Sera.
"Keinginan Mami untuk menjadikan tante Sera, ibunya Rey. Menggantikan Mami." Aku nyaris tersedak. Mulutku membuka dan menutup. Memandangi Abi yang sedang memasang wajah terkejut. Dan Sera, yang kini mengerutkan keningnya.
Aku seperti kena hantaman benda tumpul tepat di d**a. Terasa sesak, dan hampir kehabisan napas. Aku merasa berat tubuhku menjadi ringan, dan jiwa ini melayang ke udara. Kepalamu kemudian berdenyut. Perutnya mual, dan nyeri.
"Rey," panggil ku.
"Tante Sera," Rey menyentuh tangan Sera. Dan wanita itu terkesiap. Dia seolah tidak siap dengan apa yang terjadi saat ini. "Apa tante Sera mau menjadi ibuku?"
Ku lihat Sera tergagap. Matanya berkeliaran tidak tenang. Matanya berkeliaran tidak tenang. Melihatku, lalu Abi, kemudian beralih lagi padaku. Seolah sedang meminta jawaban. Dia pasti tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu dari Rey.
"Rey," Suara Abi terdengar pilu. Dia bergerak mendekat, kemudian merendahkan tubuhnya sehingga sejajar dengan tinggi Rey. "Ayah mau bicara denganmu. Tapi tidak di sini." Katanya. "Kita bicara, sebagai sesama lelaki."
Rey diam, lalu melihatku meminta persetujuan. "Rey bicara dengan ayah, ya."
"Baiklah."
Abi membawa Rey keluar dari ruangan ini. Ruangan yang mendadak menyedot seluruh pasokan udara dalam paru-paru, dan seolah baru saja mendapat udara segar, aku mengembuskan napas penuh lega.
Sera menautkan ujung alisnya padaku. Raut wajahnya terlihat marah, tapi tertahan. Dia menggaruk pelipisnya. Terdiam seakan kehilangan kata.
"Menjadi ibu, dan menjadi istri, adalah dua hal yang berbeda." Sera bersuara setelah beberapa lama terdiam. "Aku mungkin bisa saja menggantikanmu sebagai ibunya Rey, bukan sebagai istri Abi."
"Tapi, kau wanita yang tepat untuk mendampingi Abi. Abi pernah mencintaimu, dan kau juga. Kau-"
"Itu dulu, An. Kalau pun perasaan itu masih ada, bukan saatnya untuk kembali bersama." Sera terdengar ngotot. "Aku sudah membuka lembaran baru bersama Darren. Kau tahu itu."
"Ya, aku tahu. Darren sudah banyak cerita padaku. Termasuk tentang hubungan kalian. Kalian hanya teman biasa, bukan pasangan. Kau memanfaatkan perasaan Darren padamu, untuk menghindari permintaanku."
Sera terkesiap, matanya sekilas membesar, karena rahasianya baru saja terbongkar. Dia membuka mulutnya dan menutupnya lagi.
"Darren..." dia bergumam kesal. Menyisir rambutnya ke belakang. Aku melihat Sienna berlari kecil menuju sofa. Sienna seumuran dengan Ruby, tapi dia sudah bisa berjalan lancar.
Gadis kecil itu mencoba menaiki sebuah lemari kecil dengan susah payah. Sera menangkapnya, kemudian mengangkat Sienna. Tapi tubuh Sienna memberontak.
"Kau masih memiliki perasaan yang sama, kan, pada Abi?"
Sera berusaha kembali mengambil Sienna, karena takut anak itu terjatuh.
"Kalaupun iya, aku tidak mau, Ana. Tolong mengertilah." Dia memelas. Persis seperti tahanan yang minta diampuni dari hukuman mati. Sienna sudah ada digendongannya.
"Demi Rey, Sera. Aku mohon untuk memikirkannya kembali." Dia mematung di tempat, dengan Sienna yang mulai merengek untuk minta diturunkan dari gendongan. "Demi Rey." Ulang ku sekali lagi.
Sienna mesorot dari gendongan Sera secara perlahan, tanpa perlawanan dari Sera. Wanita itu membiarkan anaknya berlarian ke sana kemari. Dan meracau dengan kalimat yang aku tidak mengerti, lalu menangis. Namun, Sera masih tetap diam, seolah rengekan Sienna tak terdengar olehnya.
"Aku.. tidak tahu, An."
Bisa aku dengar nada suaranya yang lemah.