Apa aku egois

1074 Kata
Di malam yang dingin ini, aku merasa hangat. Rengkuh anak tangan Abi di tubuhku, membuat aku merasa terlindungi. Dia bergerak, menaikkan tubuhnya hingga sejajar denganku, kemudian menyandarkan kepalaku di pundaknya. Bahunya yang lebar, selalu menjadi pelindung untukku dan anak-anak kami. "Apapun akan aku lakukan untuk membuatmu bahagia, dan.. dan.." ucapnya terbata-bata. Seolah ragu ingin menyampaikannya. "Dan.. tetap hidup." Aku tersenyum getir, menatap dinding flat ini dengan kekosongan. Ruangan ini terasa sangat sempit dan sesak, kebisingan yang ada diluar sana, seperti sudah tersedot oleh ketenangan. Ruangan ini, menjadi sepi. Hanya ada embusan napas kami yang jelas terdengar. Dan detak jantung kami yang nerdentum tidak karuan. Abi menjauhkan kepalaku, sehingga aku bisa menatap wajahnya. Kali ini, tatapannya lebih dalam, intens, dan bermakna. Aku bisa melihat bayanganku di kornea matanya yang coklat. Dan detik berikutnya, seolah memang ini yang harus dilakukan. Kami saling mengerti, dan mengikuti nurani. Mendekatkan wajah kami masing-masing hingga mengikis jarak. Entah siapa yang memulai, bibir kami sudah saling bersentuhan, memagut satu sama lain. Memburu, dan menuntut lebih. Rasanya masih tetap sama. Memabukkan. Kami bukan perenang, dengan kekuatan menahan napas yang panjang, jadi ketika kami sama-sama kehabisan napas, kami menarik diri dan mengambil oksigen kami masing-masing. Tapi seolah tak ingin berhenti sampai disitu, tanganku sudah bergerilya membuka kausnya. Sebenarnya, sejak perasaanku tumbuh, dan aku sering mengacak-ngacak kemeja kerjanya. Aku tak ingin pakaiannya kusut, berantakan, ditanggalkannya tanpa aku di dalamnya. Namun, bayangan itu. Bayangan akan ide gila yang baru saja aku punya, mendadak masuk ke pikiranku yang sedang melayang. Ini bukan saatnya memikirkan hal itu. Aku yakin, Abi pasti belum pernah melakukannya dengan siapapun. Aku percaya itu. Entah karena merasa kalau gerakanku melambat, Abi mengubah posisi menjadi di atasku. Secara perlahan menanggalkan semua yang melekat di badanku. Menghujaniku dengan setiap sentuhannya yang liar. Aku mencoba mengultimatum agar dia melakukannya secara perlahan. Entahlah, walau sudah memiliki anak, tapi rasanya seperti baru pertama kali. *** Pagi-pagi sekali, kamu pulang dari Lourmarin menuju Paris. Karena perjalanan begitu jauh, dan kami harus naik kereta sebanyak 2 kali, kepalaku mendadak pusing. Padahal kata Abi, kami akan sampai dalam lima belas menit lagi. Tapi rasanya aku sudah tak dapat menahan rasa sakit itu. Tubuhku yang semakin hari semakin ringkih, aku, sandarkan di sandaran bangku. Abi duduk di sampingku dengan memegang tanganku. Saking sakitnya, aku juga sampai menyandarkan kepalaku ke d**a Abi. Dan, semakin lama pandangan mataku semakin meredup, pohon-pohon yang seolah bergerak mengikuti kereta ini, lambat laun seperti menjadi sebuah bayangan. Dalam pelukannya, mataku terpejam. Menarik napas berat, hingga aku merasakan sesak karena Pasokan udara telah habis. *** Seingatku, aku ada di dalam kereta. Melaju begitu cepat dan indah. Tapi, sekarang kenapa aku ada di sini. Di ruangan bercat putih, dingin. Aku merasakan tanganku kebas, dan kulihat selang infus tertancap di punggung tanganku. Aku bergerak tak karuan, dan gelisah. Tapi badanku sulit sekali untuk bangun. Berat rasanya. Ada yang menyingkap tirai itu. Dan kulihat, Darren berdiri di sana. Dia menatapku, dan tersenyum padaku. "Bagaimana keadaanmu? boleh aku periksa?" tanpa menunggu persetujuan, Darren sudah mengeluarkan stetoskopnya, kemudian memeriksa detak jantungku, melihat mataku. Aku sehat, kok. "Sudah stadium akhir, Ana. Kau tahu itu?" "Ya," jawabku dengan suara serak. "Kenapa kau menolak diobati?" "Berapa lama waktu yang tersisa?" tanyaku tidak nyambung. Darren menghela napas, mengalungkan stetoskop di lehernya. Memandangku dengan serius. "Sedikit." Katanya. "Kalau kau mau lebih lama, paling tidak kau harus menjalani terapi." "Pasti akan menyusahkan Abi. Pasti akan memakan banyak waktu, dan tenaga. Aku tidak ingin membuatnya membuang waktu sia-sia." "Kurasa Abi juga akan sukarela membuang waktunya hanya untukmu. Aku yakin, dia sangat mencintaimu." Aku tahu. Dan karena itu aku melakukan semua ini. Cintanya padaku jangan sampai membuatnya terluka. "Aku hanya ingin di sisa waktuku, membahagiakan dia. Memastikan dia baik-baik saja." "Apa karena ini alasannya, kau meminta Sera untuk menikah dengan Abi?" Aku tertegun. "Kau.." "Sera yang menceritakannya padaku." Terangnya. "Kau mau mendengarkan sesuatu? tapi ini rahasia. Hanya di antara kita saja." Darren menyunggingkan senyumnya. "Aku bisa jaga rahasia." Darren berdiri, menutup tirai lebih rapat, dan kembali duduk di sampingku. "Aku dan Sera tidak bertunangan." Aku tersenyum kecil. Apa aku bilang. "Aku yang mengharapkan itu. Cinta bertepuk sebelah tangan." Darren menyemburkan tawa. Tawa yang terdengar seperti meremehkan. "Sejak pertama aku mengenalnya, aku sudah jatuh cinta. Tapi, dia bagiku seseorang yang sulit aku gapai. Aku tidak tahu apa alasannya. Alasan dia selalu menutup hati. Dan semakin lama aku mengenalnya, menjadi teman bercerita, aku tahu, alasan dia menutup hatinya untukku, adalah.. Abi. Suamimu." Aku menyipitkan mata. Dan menunggu kelanjutannya. Tapi Darren tak lagi bicara. "Maksudnya?" "Dia mulai menceritakan kisah hidupnya padaku. Semuanya." Aku mengerti arti dari semuanya itu. "Dan yang kau tanyakan padanya, kurasa kau sudah tahu jawabannya." "Apa?" "Perasaannya." Jawabnya. "Perasaannya untuk Abi, hanya terkubur. Belum hilang. Masih ada. Dan tetap sama. Tapi dia tak ingin membuat luka baru. Dia harus berjalan dengan kehidupan yang baru. Maka dari itu, dia memintaku untuk pura-pura menjadi tunangannya." Aku tersenyum sekilas. "Aku tahu itu. Matanya tidak bisa berbohong." Aku menelan ludah. "Apa aku terlalu egois, kalau aku memintanya untuk menggantikan peran ku?" tanyaku pada Darren. "Aku hanya menemukan wanita yang tepat di diri Sera." Aku menarik napas agak dalam. "Dulu, Abi sangat mencintai Sera. Dan aku pikir, kalau mereka kembali menikah, tidak sulit untuk Abi, menumbuhkan cinta itu lagi. Dan.. dan Sera juga adalah ibu kandung Rey. Pasti Sera akan menyayangi Rey sepenuh hatinya. Dengan begitu, aku tidak perlu mencemaskan diri Abi, apakah dia akan baik-baik saja atau tidak, setelah aku pergi." Ada hening yang panjang. Darren memalingkan wajahnya, menghindari kontak mata denganku. Aku tahu, ini pasti pertanyaan yang berat untuk Darren. Kedua bahunya merosot, dan bisa aku lihat, dia menghela napas beberapa kali. "Apa aku egois?" tanyaku sekali lagi. Dan kini dengan isakan kecil yang memilukan. "Kau yakin? semua yang kau lakukan untuk suami dan anak-anakmu? lalu, bagaimana dengan Sera? apa dia... merasa nyaman?" Aku menyesap rasa ludah yang berubah asam. Tenggorokanku terasa begitu kering. "Maka dari itu, bisakah kau menolongku untuk membujuk Sera?" Darren terperangah, menatapku tak percaya. Seolah apa yang baru saja aku katakan adalah sebuah kalimat yang sulit dicerna. "It's so funny, Ana." Darren tertawa meremehkan. "Aku membujuk dia untuk bersamaku saja, sulit. Apa lagi membujuknya untuk bersama orang lain." Katanya. "Walau mungkin.. perasaanya masih ada untuk Abi. Tapi bukan berarti dia mau kembali." Cepat-cepat aku menangkap tangan Darren, susah pahan untuk bangun. "Aku mohon.. " Darren menumpukan tatapannya pada tanganku yang menyentuhnya. Dia pasti sedang meninjau ulang permintaanku. Dia menatapku kembali penuh keraguan, mencari alasan yang kuat kenapa dia harus melakukannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN