Setelah Rey menghabiskan waktu satu jam dengan menangis, akhirnya dia terlelap di pangkuanku. Aku masih berada di rumah Sera. Di lantai bawah, duduk di atas sofa. Sedangkan Abi masih berada di lantai atas bersama Sera, entah sedang apa. Aku pergi saat keadaan Sera masih meraung-raung di dalam dekapan Abi. Selain aku tidak sanggup melihat pemandangan itu, aku juga harus memberi ruang untuk mereka.
Aku mendongak saat mataku melihat sepasang kaki menghampiriku. Abi berdiri di sana dengan piyama warna ungu pastel. Aku tersenyum getir. Lalu dia duduk di sebelahku, mengusap kepala Rey lembut sebelum dia menciumnya.
"Dia.. Baik-baik saja?"
"Dia perlu pengawasan untuk rutin menemui psikiater."
"Dia begitu sejak lama?"
Abi menggeleng, "Dulu tidak seperti itu, tapi dia pernah melakukan percobaan bunuh diri satu kali. Untungnya aku cepat mencegah."
Aku tercenung memandang keramik. Entah seberat apa hidup yang dia jalani. Mungkin aku juga akan begini jika mengalami hal yang sama. Apa yang di derita Sera sekarang bisa jadi adalah dampak dari pengalaman buruknya di masa lalu. Dia bisa hidup dengan karir yang melejit juga sudah luar biasa.
"Jadi, apa rencanamu?"
Aku sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi, baik dan buruknya. Aku juga tidak mungkin egois membiarkan pesakitan menghadapi masalahnya sendiri. Tapi apakah ini adil bagiku.
"Bukan ini yang aku inginkan sebenarnya." mataku terpejam saat Abi mendekap kepalaku. Aku membasahi tenggorokanku yang kering. "Maaf, kalau harus membuatmu menunggu lebih lama lagi."
Detik itu juga aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan sejak lama. Yaitu, pergi dari sini sejauh mungkin. Itu jalan terbaik, setidaknya kalau aku menginginkan hatiku tetap utuh.
***
Fay memutar bola matanya saat aku memasukan baju-baju dari dalam lemari ke koper besar.
"Aku sudah merasa seperti Sha," ucapku, lalu Fay bersedekap di atas kasur. "Mengharapkan pria yang jelas-jelas berstatus suami orang. Dan yang lebih parahnya lagi, aku menyuruhnya untuk bercerai."
"Pernikahan semu maksudnya. Justru di sini kau korbannya." Fay meralat.
"Tapi tetap saja pernikahan mereka resmi di mata agama dan hukum negara ini."
Aku membentangkan blus merah marun, seketika senyumku terbit di wajah. Ini adalah blus pemberian Abi saat tidak sengaja Rey menyemprotkan cat warna pada blus yang ku pakai. Sejenak aku mempertimbangkan apakah blus ini harus aku bawa atau tinggalkan saja.
Akhirnya proses penyortiran baju-baju yang aku habiskan hampir setengah hari selesai juga. Semuanya sudah rapi di dalam koper besar, siap untuk aku angkut ke Bandung. Ya, saatnya aku kembali ke habitat. Menjadi pemetik daun teh memang sudah menjadi takdirku.
"Kau yakin tidak ingin aku antar?"
"Tidak usah, aku nebeng saja sampai Jati Bening. Dari sana aku akan naik travel."
Fay menghela napas, lalu ikut berdiri bersamaku. Dia memgerucutkan bibirnya lucu sekali. Aku tertawa kecil kemudian memeluknya gemas.
"Aku pasti akan merindukanmu, An."
"Yes, me too."
"Kenapa harus pergi sih?"
Aku menghela napas lalu melepaskan pelukan kami. Aku sempat terhenyak saat melihat mata Fay berair. Diantara aku, Fay, Nesa, Sha dan Naya hanya dia yang punya hati sekuat baja. Aku tidak pernah melihatnya dalam keadaan sedih, galau, bingung bahkan menangis. Saat dia di khianati kekasihnya, bukannya menangis meraung-raung, dia malah teler semalaman dan besok paginya sudah menggebet pria baru. Tapi sekarang untuk pertama kalinya aku melihat Fay selemah ini, bahkan menangis. Aku jadi tersanjung.
"Kau pernah tidak, jatuh cinta kepada seseorang sampai rasanya d**a ini sesak, sakiiiit sekali." Fay hanya bisa menatapku dengan wajahnya yang murung. "Itu yang aku rasakan kepada Abi. Dan demi menjaga kewarasanku, serta keutuhan hatiku, jalan satu-satunya adalah meng.hi.lang." aku meniupkan bibir ke udara, serta melebarkan jemariku seolah aku sedang melakukan gerakan sulap menghilangkan barang.
Fay memutar bola matanya ke atas di iringi usapan tangannya di bawah matanya, sedang berusaha menghapus jejak air mata. Lalu mengangkat kedua bahunya menandakan kalau menurut Fay apa yang aku katakan hanya omong kosong. Orang seperti Fay yang hanya ingin senang-senang saja dengan pria, mana mengerti soal cinta.
Dan aku juga tidak peduli apakah Fay mengerti atau tidak, jadi yang aku lakukan sekarang adalah menariknya keluar rumah untuk mengantarkanku ke Jati Bening.
***
Aku melambaikan tangan pada Fay di balik jendela travel. Tangan Fay terangkat membentuk seperti telepom genggam dan menempelkannya di daun telinga, memberi tanda bahwa aku jangan lupa menghubunginya. Aku tersenyum melihat Fay yang dadah-dadah padaku seolah aku akan pergi ke Palestina sebagai relawan yang tidak diketahui kapan kembalinya, bukan ke Bandung untuk pulang kampung yang bisa di tempuh dalam 2 jam perjalanan.
Begitu travel menjauh dan lama kelamaan Fay nampak mengecil, aku mengeluarkan ponsel dan memasang earphone ke telinga. Berusaha untuk mengabaikan sekitar dan tenggelam dalam alunan lagu Usai Di Sini milik Raisa.
Dan lirik terakhirnya yang ku dengar seolah menghantam ulu hati. 'Aku kan menunggu tapi tidak selamanya'. Ya, Raisa benar. Dia memang selalu benar dan cantik dalam lagunya.
Saat yang bersamaan aku tersentak oleh sentuhan di bahu. Segera aku melepas earphone, mendongak ke atas dan mendapati...
"Rama?" Dia berdiri di sana dengan menggendong tas carrier di punggungnya.
Tanpa minta persetujuan pria gondrong itu duduk di sampingku yang memang kosong, lalu menurunkan carrier nya dan menaruhnya di bawah, tepat di kaki.
"Mau ke mana?" tanya nya.
"Emm Bandung," jawabku ragu. "Ini.. Travel menuju Bandung kan?"
Bukannya menjawab dia malah terkekeh. "Maksudku mau ngapain ke Bandung?"
"Pulang kampung." Jawabku. "Lalu, kau mau apa?"
Dia menepuk-nepukan tangannya pada carrier miliknya. "Naik gunung." katanya bangga.
"Gunung apa?"
"Ke Malabar." Jawabnya singkat.
Aku sering mendengar nama gunung Malabar. Gunung itu memang sangat eksis di selatan kota Bandung. Aku hanya pernah mendengar saja belum pernah ke sana.
"Sendiri?" tanyaku penasaran. Karena sepengetahuanku orang-orang yang gemar mendaki gunung, mereka akan pergi secara bergerombol, tidak sendirian seperti orang hilang.
"Tidak," Rama menggeleng, membuat kuncir rambutnya bergerak. "Rombongan, bakal ketemu di Pengalengan." jelasnya. "Lagipula tidak enak naik gunung sendirian, nanti di culik yang punya gunung."
Aku mendengus, sedangkan Rama terkekeh. Dia memang sering mengeluarkan jokes receh seperti itu. Hidupnya seolah santai tak ada beban. Atau mungkin dia memang tahu bagaimana caranya menikmati hidup. Atau relax dalam keadaan apapun, sekali pun kau berada dalam jurang kematian.
Selama perjalanan menuju Bandung aku habiskan dengan mengobrol bareng Rama. Dia termasuk orang dengan banyak sekali pengalaman, jadi selama berdiskusi dengannya tidak pernah kami mengalami hilang topik pembicaraan. Ada saja yang dia ceritakan. Apalagi kalau dia sudah cerita teman kuliahnya. Ya, aku baru tahu kalau Rama adalah pria usia 23 tahun yang baru lulus kuliah. Show room mobil dan bengkel itu milik kedua orang tuanya. Dia di sana hanya membantu selama dia mendapat pekerjaan.
Tapi kenyataan bahwa usia Rama jauh di bawahku, tidak menjadikan jarak diantara kami. Dia seolah bisa menempatkan diri denganku. Tidak ada rasa canggung, atau beda pembahasan. Aku sudah bilang wawasan dia luas. Ku rasa dia bakal cocok-cocok saja kalau harus berkumpul dengan bapak-bapak.
Travel berhenti di Pasteur. Otomatis aku dan Rama, juga semua penumpang travel turun. Tujuanku selanjutnya adalah Lembang. Aku masih harus naik angkutan umum lagi menuju rumah Bi Endah. Karena kalau harus naik angkot pasti berdesakan, aku memutuskan untuk memesan taksi online. Lumayan tiga puluh menit lebih aku bisa leha-leha sambil memejamkan mata.
"Ana," Rama memanggil. Tapi aku tidak merasa dia kurang ajar hanya dengan memanggil namaku saja tanpa embel-embel 'Ka' atau 'Mbak'.
"Ya."
"Apa kita masih bisa bertemu di Bandung?"
"Ya, tentu saja."
"Okay, i'll call you."
"Okay."
Lalu kami berpisah di sini. Aku menuju Lembang, sementara Rama menuju Pangalengan.