Ibumu

1004 Kata
Aku terkejut dan seketika terdiam seperti telah tersedot ke ruang hampa. Aku menganga masih mencerna apa yang telah terjadi sambil memegangi payung besar yang mau roboh dengan tanganku yang kebas, dan tubuhku yang mengigil karena kedinginan. Begitu payung yang aku pegang tidak memayunginya lagi, aku baru sadar kalau baru saja Abi membentakku. Hatiku remuk. Begitu saja. Demi sibuk menghubungi Sera entah untuk apa, dia berani berteriak padaku, dan menyuruhku untuk diam. Seolah aku adalah pengganggu untuknya. Aku lebih baik kehujanan sampai demam daripada harus dibentak olehnya di tengah jalan di saat hujan berderai-derai di atas payung yang luar biasa berat. Serta petir kencang yang suaranya mengiringi suara bentakan Abi. Mungkin keputusanku mengejarnya dan berusaha memayungi nya agar tidak kehujanan adalah kesalahan besar. Seharusnya aku memang diam saja di rumah. Menunggunya dengan tenang menyelesaikan sesuatu yang dia katakan rumit itu. Nasibku memang harus menunggu. Dia bilang aku harus menunggu. Aku yang ngeyel dan tidak mendengarkan. Napasku tertahan di tenggorokan. Paru-paruku mulai tersumbat, aku sedang berusaha menahan tangisku. Sampai d**a ini sesak dan aku melangkah menjauhinya. Berjalan cepat-cepat, menumpahkan air mata. Lalu berhenti saat melihat sandal jepit yang tergeletak tak berdaya itu di jalan. Dan entah kenapa tangisku menjadi pecah. Aku menangis sesenggukan sambil meraih sandal jepit milikku dan membawanya ke pangkuan. Nasibku kini sama dengan sandal jepit ini. Tergeletak, sendirian, kehujanan, dan tak berdaya. "Ana." Tanpa harus melihat, aku tahu siapa yang mencekal tanganku. "Sorry," dia melepaskan cengkeramannya, dan mengambil alih payung besar yang aku pegang. Lalu mulai memayungi aku dan dia. "Aku mau jemput Rey di rumah Sera. Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Kau mau ikut atau menunggu di rumah." Suaranya kini terdengar lembut. Aku masih dalam keadaan terisak. Napasku tersengal. Aku menatapnya yang kini basah kuyup. Lalu mengangguk kecil tanda mengiyakan. Hanya dengan tatapannya yang teduh, aku lumer juga. Sambil berjalan, Abi meraih pundakku dan menariknya agar mendekat padanya. Sandal jepit yang putus masih aku pegang entah kenapa, sampai kami berada di sisi jalan dan menghentikan taksi. Abi menyebutkan alamat rumah Sera, dan kami melaju bersama taksi yang dalamnya dingin seperti kulkas. *** Kami berhenti di sebuah rumah tingkat ber cat putih. Tanpa perlu bertanya aku tahu ini rumah Sera. Tidak banyak dekorasi di sini. Hanya terdapat satu buah kursi besi panjang di teras rumah. Sebuah mobil Jazz terparkir di car port. Badanku sudah menggigil saat Abi menekan bel di sisi jendela. Abi menaruh payung dekat kursi besi itu. Sementara aku menggesekan telapak tangan berusaha menciptakan kehangatan. Tapi yang punya rumah tak kunjung membuakan pintu. Abi bergerak gelisah, lalu kembali menekan bel tapi tidak ada sahutan. Saat Abi mulai memeriksa jendela, tidak sengaja aku mendorong pintu dan terbuka. Tanpa minta persetujuan Abi langsung masuk ke dalam, diikuti olehku. Rumah nampak sepi. Ini sudah malam tapi lampunya masih gelap. Abi mulai memanggil tapi tidak ada sahutan. Aku dan Abi bergerak dalam kegelapan seperti maling. Dalam keheningan yang mencekam samar-samar aku mendengar suara isak tangis. "Bi, seperti ada yang menangis." Abi mengangguk, lalu aku menarik belakang baju Abi saat pria itu mulai berjalan ke sumber suara. Saat tangisan itu mulai terdengar jelas, dengan gerakan cepat Abi menaiki tangga, berlari ke lantai dua. Dan aku mengikutinya dari belakang. Seperti kami berada di dalam film horror saja. Begitu kami sampai atas, aku melihat Sera yang mengenakan dress putih meraung di depan pintu, dan cukup membuatku terkejut dengan penampilannya. Abi langsung menghampiri Sera dan menyentuh kedua pundaknya. Sedangkan aku meraba-raba mencari saklar. Begitu aku menemukannya, aku menekan saklar dan lampu menyala. Jreng jreeng. Lampu menyala seperti kejutan pesta ulang tahun. Rumah Sera yang tadinya gelap kini terang benderang seperti lampu sorot di sebuah konser musik. Bersamaan dengan lampu menyala, aku disuguhkan dengan Sera menangis di pelukan Abi. Di dadanya Abi yang bidang, di bajuku yang dia pakai yang basah kuyup karena air hujan. Aku menelan ludah susah payah melihat pemandangan itu. Abi berusaha membuka pintu yang sepertinya terkunci. "Rey mengunci dirinya dari dalam." Sambil terisak Sera menjelaskan. Lalu dia mundur, begitu juga dengan Abi. Aku tahu apa yang akan pria itu lakukan selanjutnya. Braakkk Pintu terbuka dengan satu kali tendangan. T Buru-buru Sera menyalakan lampu, dan kami semua mendapati Rey sedang duduk di pojokan sambil memeluk kedua kakinya. Aku langsung kasihan melihatnya begitu. Rey menyadari kedatangan kami, lalu dia berdiri. Ku kira dia akan menghampiri Abi, tapi nyatanya anak itu berlari ke arahku dan memelukku. Aku merendahkan tubuh, merengkuh badan Rey yang mungil, dan agak gemetar. Sudah berapa lama dia berada di dalam dengan lampu yang dimatikan. Saat itu juga Rey menangis sejadinya, seolah tangisan itu sudah dia tahan sejak lama, dan baru ada kesempatan untuk menumpahkan nya. Aku yang panik dan tidak tahu ada apa, mengusap punggung Rey memberikan ketenangan. "Aku benci tante itu." Ucap Rey terbata-bata di tengah tangisnya. "Dia.. Dia.. Jahat. Dia.. Galak sama Rey." Otomatis pandanganku tertuju pada Sera. Seketika wanita itu menutup mulutnya kemudian mendekat. "Stop." Aku berdiri, menyembunyikan Rey di belakang tubuhku. "Jangan mendekat." Ucapku pada Sera. Masih berusaha melindungi Rey dari wanita itu. "Aku.. Aku tidak jahat." Sera menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Dari sini aku melihat wajahnya yang pucat begitu panik. "Rey, ini ibu. Aku ibumu." Aku terkesiap mendengarnya. Lalu Sera mendekat, tapi bersikukuh aku merentangkan tanganku melindungi Rey. Aku tahu kenapa Rey begitu ketakutan. "Jangan halangi aku. Aku ini ibunya." "Tidak Sera, bukan seperti ini caranya." "Jangan ikut campur." tandasnya. "Rey, kemari Nak, ini ibu." Sera berusaha meraih Rey yang sekarang merengkih pinggangku erat sekali. "Reeeey!" tiba-tiba Sera menjerit. Tubuh Rey mengejang dan bergetar. "Aku ibumu! Ibumu!" Seras menjambak rambutnya yang sudah kusut, kemudian duduk lemas ke lantai. Aku menatapnya dengan nanar. Dia masih terus menangis di iringi jeritan sesekali. Abi mulai mendekat kemudian merengkuh tubuh Sera yang tak berdaya. Sera sempat memberontak, tapi Abi langsung menarik Sera dalam pelukan. Mengusap kepala wanita itu, dan membenamkan di dadanya. Sera masih berontak dan Abi terus memerangkap tubuh Sera sampai akhirnya wanita itu menyerah. Dalam isakannya yang terdengar kacau, Abi mencium puncak kepala wanita itu. Pelukan yang Abi berikan pada Sera saat ini menjelaskan bahwa wanita itu lebih membutuhkan Abi daripada aku membutuhkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN