"Seharusnya kau jangan terlalu mengorek kisah cinta seseorang, An. Kau membuat Sera dan Darren tidak nyaman."
Abi melepaskan coatnya. Kemudian menggantungkannya di gantungan baju yang ada dibalik pintu kamar.
"Mami, apa aku boleh makan creme Belle lagi?" Rey berlari ke kamar dengan mendorong pintu kamar. Aku memang dibekali creme brulee yang banyak oleh Sera.
"Boleh, sayang. Sebentar Mami ambilkan."
Lalu aku keluar dari kamar menuju pantry, dan mengambilkan creme brulee untuk diberikan pada Rey. Anak itu begitu sangat menyukainya. Ya, anak-anak memang suka makanan yang manis-manis. Kemudian menghampiri Abi yang duduk sambil menggendong Ruby di ruang televisi. Aku selalu heran pada Abi. Kenapa dia sering sekali menyalakan televisi, padahal aku yakin dia tidak mengerti dengan bahasanya.
"Aku agak aneh saja pada mereka berdua. Pertama, Sera tidak memakai cincin di jarinya. Kedua, kenapa dia tiba-tiba mengenalkan Darren pada kita. Kemudian, tingkah Sera selalu gugup kalau ditanyai soal Darren."
"Kau curiga, kalau mereka bukan pasangan sungguhan?"
"Ya," aku mengangguk dengan semangat. "Mereka seperti bukan pasangan."
"Sienna dekat dengan Darren. Itu artinya, Darren memiliki hubungan khusus dengan Sera."
"Bisa saja, mereka hanya teman biasa. Kemudian, Sera bersandiwara bersama Darren."
"Untuk apa?" Abi menjatuhkan tatapan membunuh padaku. Seolah menegaskan bahwa dia tahu betul alasan Sera berbohong. Kalau memang wanita itu benar-benar berbohong. "Dia berbohong atau tidak, itu bukan urusanmu. Kalau pun dia berbohong, itu pasti karena dia menghindari permintaan konyolmu itu."
Apa aku bilang. Abi juga pasti merasakan kalau Darren dan Sera bukan pasangan sungguhan. Tapi Abi tidak ambil pusing. Tapi apa yang dikatakan Abi memang benar. Sera punya alasan untuk berbohong padaku tentang hubungannya dengan Darren.
"Apa aku menyinggung perasaannya?" tanyaku ragu. "Aku tahu. Lewat matanya, dia masih menyimpan cintanya untukmu."
Abi terdiam, menatapku secara intens. Ruby menjatuhkan ponsel ayahnya yang dia taruh di atas meja. Tapi aku dan Abi tak peduli dengan itu. Tatapannya teduh padaku. Kemudian dia mengulurkan tangannya, menyentuh pipiku.
"Kau tidak berhak mempertanyakan perasaan seseorang. Kau tidak pernah tahu seberapa kuat dia untuk mengubur dalam-dalam perasaan itu. Ada beberapa orang yang tak ingin kisah cinta masa lalunya dibahas. Mungkin Sera termasuk ke beberapa orang itu. Dia mungkin saja terganggu dengan pertanyaanmu. Tapi dia tak ingin mengatakan secara terang-terangan. Maka dari itu, bisa jadi dia berbohong tentang dia dan Darren." Kata Abi panjang lebar. "Dan kau harus mengerti. Tidak perlu membahas hal-hal yang tidak masuk diakal. Jalani saja apa yang Allah berikan saat ini kepada kita. Setelahnya, biar Allah yang mengatur ulang."
"Kau tidak perlu repot memikirkan siapa yang akan mengurusku setelah kau pergi. Kau tidak perlu mencemaskan keselamatan anak-anak kita. Yang penting saat ini, kalau kita masih punya waktu, kita wujudkan mimpi kita." Lanjutnya. "Aku harap kau mengerti." Dan kalimat terakhirnya seolah menegaskan kalau dia sudah lelah dengan semua drama yang aku buat.
Ruby turun dari pangkuan Abi, kemudian terduduk di permadani, mengambil ponsel Abi yang terjatuh, dan memasukkannya ke dalam mulut. Aku tertawa kecil melihatnya bertingkah seperti itu. Menganggap benda-benda di sekitarnya adalah makanan.
Berapa lama lagi aku bisa bertahan di dunia ini. Sampai kapan aku bisa melihat perkembangan Ruby. Mendampinginya dari mulai bisa berjalan hingga dapat berlari. Mengerti bahwa tidak semua yang ada di dekatnya bukan makanan. Mengajarkannya berbicara dengan lancar, mengantarkannya jajan di warung, bermain dengan teman sebayanya kemudian bertengkar dengan temannya, lalu mengadu sambil menangis. Dan kembali bermain bersama.
Sampai kapan aku bisa melihat semua kejadian itu dari waktu ke waktu. Aku memejamkan mataku, lalu membenamkan wajahku ke dalam kedua telapak tangan. Mengusap wajahku yang terasa panas. Dan mengangkat Ruby yang sedang berusaha untuk berdiri, dengan berpegangan pada meja. Usianya memang sudah 13 bulan, tapi Ruby masih belum bisa berjalan. Aku selalu mencemaskan itu, tapi Abi mengatakan kalau perkembangan setiap anak berbeda. Masih ada waktu beberapa bulan ke depan untuk menunggunya bisa berjalan.
Aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana dia kehilangan ibunya, yang bahkan mungkin ketika dia dewasa, dia tidak mengingat kasih sayangku. Kupeluk tubuh mungilnya, dan dia memberontak sambil berceloteh tak jelas. Tidak ada kosakata yang dia ucapkan. Lagi-lagi aku mengkhawatirkannya.
***
Kami punya waktu tiga hari lagi di Paris. Tapi banyak sekali yang belum kami kunjungi. Sera bilang, aku harus ada sekitar satu tahun untuk menyambangi seluruh yang ada di Paris. Itu terlalu lama, dan itu juga tidak mungkin aku lakukan. Selain terbentur dengan biaya, kami juga ada banyak pekerjaan yang menunggu di Jakarta. Dan kami ingin memanfaatkan waktu yang singkat ini untuk kembali berjalan-jalan.
Hari ini Darren tidak ada jadwal praktik, dan dia ingin mengajak Rey dan Ruby jalan-jalan bersama dengan Sera. Awalnya aku menolak, tapi Sera membujukku. Bukannya aku tak ingin membiarkan Rey bersama Sera, tapi menjaga 3 orang anak sekaligus itu sangat merepotkan. Apalagi Sera tidak memakai jasa pengasuh.
"Kau tidak perlu khawatir, aku bisa membantu Sera dengan baik. Aku sudah terbiasa menjaga anak-anak."
Itulah yang diucapkan Darren padaku, saat mereka mendatangiku di apartemen milik Sera. Walau masih enggan, akhirnya aku mengizinkannya juga. Diyakinkan oleh Abi, bahwa mereka akan baik-baik saja.
"Sekarang, giliran kita punya waktu berdua." Abi merangkul pundakku, lalu menarik tubuhku ke pelukannya. Matanya mengerling jahil, khas dirinya.
"Kau punya rencana untuk kita?"
Tangannya terlepas dari pundakku, kemudian dia mengeluarkan dua buah tiket ke depan wajahku.
"Kita akan pergi ke Lourmarin. Aku sudah membeli tiket kereta api. Kita harus bergegas, karena perjalanannya akan memakan waktu kurang lebih 6 jam."
Aku menyipitkan mata, sambil menatapnya. "Kau pasti sudah tahu, kalau anak-anak kan pergi jalan-jalan bersama Sera dan Darren. Jadi, kau merencanakan semua ini."
"Anggap saja ini bulan madu kita."
***
Kami naik kereta dari Paris Gare de Lyon ke Avignon Center, kemudian melanjutkan dengan kereta lain ke Cavaillon. Sepertinya Abi sudah fasih sekali dengan rute perjalanannya. Walau agak bertanya-tanya, akhirnya kami sampai di Lourmarin.
Begitu kami menginjakkan kaki di sini, langsung terasa suasana yang hangat. Tempat ini seperti berupa kota kecil, dengan bangunan rumah tanpa cat. Jalanan sempit setapak, berhiaskan daun ivy yang dipenuhi wangi lavender yang memberikan cita rasa khas lokal. Sangat rapi dan bersih.
Bukan hanya bangunan rumah saja, tapi di sini juga terdapat banyak cafe, restoran, dan butik. Suasana sangat jauh berbeda dengan keadaan kota Paris.
"Yang menarik di sini, adalah wisata kuliner khas lokalnya. Mari kita coba yang ada di sana."
Kami mencoba masuk ke dalam cafe dengan halaman terbuka di lantai atas.