Setelah mengantar Rama dan Naya kembali ke bengkel, aku langsung tancap gas menuju Bogor. Rumah ibu dan ayah untuk menjemput Rey dan Ruby. Aku membawa serta mbok Darmi. Aku tahu diri. Kondisiku tidak akan bisa mumpuni untuk menjaga Rey dan Ruby sekaligus. Jarak Jakarta Bogor bisa aku tempuh kurang lebih 60 menit lewat tol. Dan pukul sepuluh pagi, aku sudah sampai rumah ibu dan ayah.
Sepertinya Abi tidak bicara apa-apa kepada ibu dan ayah. Karena mereka tidak menanyakan apa-apa padaku. Kehadiranku tidak lama, karena setelah ini aku ada janji bersama Abi melihat progress rumah baru kami yang Abi bilang untuk kejutan. Ya Tuhan, bagaimana bisa aku mencurigai seorang suami yang sedang berjuang mewujudkan mimpi kami.
Kami kembali ke Jakarta setelah dzuhur, dan mampir sebentar ke supermarket setelah dekat dengan lokasi rumah baru. Kami membeli camilan untuk di makan di sana. Bang Arsen sudah ada di rumah baru. Sedangkan Abi masih di kantor.
Rey ingin membeli ice boba saat kami keluar dari supermarket. Dia langsung berlari, dan aku mengejarnya. Tapi, sebelum aku bisa menggapai anak itu, tungkai ku tiba-tiba melemah. Dan kepalaku seolah dihantam batu besar, kemudian pecah dan membuatku hilang kesadaran. Aku terjatuh ke lantai mall, dan samar-samar melihat Rey berbalik, dan berlari padaku, selebihnya aku tak dapat lagi melihat.
***
Sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Sepertinya lumayan lama. Kepalaku sudah tak sakit lagi. Tapi aku masih berbaring di bangsal ini. Oh ya Tuhan, harus berapa kali lagi aku mengulang adegan seperti ini.
Rey?
Dokter Rian muncul. Dia menghela napas saat melihatku. Kemudian duduk di samping ranjang ku.
"Sudah aku katakan, hal ini akan berkali-kali terjadi, kalau kau menolak untuk diobati." Aku merasakan wajahku panas, dan bibirku kering. "Berapa kilogram kau kehilangan berat badanmu?"
Tenggorokanku terasa sangat gersang. Sehingga aku harus membasahi nya dengan ludah. Semakin hari berat badanku memang menurun drastis. Abi bilang, aku jauh lebih kurus dari biasanya. Dia juga selalu komplain agar aku memakai make up seperti biasa. Karena wajahku tampak pucat.
"Aku tidak ingin menyusahkan suami dan anakku, Dok. Kalau aku harus menjalani kemoterapi, berapa banyak waktu dan tenaga yang harus dihabiskan oleh suamiku? Belum lagi kesedihan anak-anakku, kalau mereka tahu ibunya sedang menunggu ajal, Dok." Aku berdehem. Kemudian terbaruk. Tubuhku lemas sekali.
Dokter Rian menatapku, tatapan yang teduh.
"Apa kau ingin berjuang sendiri?"
"Senyum dari suami dan anak-anakku sudah cukup membuatku semangat."
"Oke," Dokter Rian menepuk-nepuk kan tangannya di lenganku. Kemudian tersenyum tipis.
Aku bersyukur bisa bertemu dengan dokter Rian. Beliau sangat memahamiku, dan mau mengerti apa yang aku mau. Aku memalingkan wajah saat dokter Rian pamit pergi. Tak dapat ke bendung tangisan ini. Bukan akhir seperti ini yang aku mau, tapi takdir yang Tuhan berikan harus kujalani. Aku hanya meminta, agar ikhlas ada dalam hatiku.
Dalam tangis yang sepi, ada yang menubruk perutku. Rey, menjatuhkan kepalanya, memelukku yang sedang berbaring.
"Mami, Rey sayang Mami. Maafkan Rey, kalau Rey sering nakal. Mulai hari ini, Rey janji akan menurut sama Mami. Tidak akan membantah apa kata Mami. Mau membantu menjaga Ruby."
Rey merengek, berkata dengan cepat nyaris tak jelas. Tapi aku bisa mendengar suaranya yang parau. Dia menatapku dengan air mata.
"Mami, jangan pergi." Rey menempelkan telapak tangannya di pipiku.
"Rey," sekuat tenaga aku menahan tangisku. Pasti mataku sudah memerah. Dan tanganku sibuk mengusap jejak-jejak air mata yang sebelumnya pecah. "Mami tidak akan pergi ke mana-mana. Mami akan terus di sini, bersama Rey."
Tapi sorotan mata Rey tidak memperlihatkan ketenangan. Justru sorotan mata itu seolah sedang mengawasiku, memandangku dengan seksama. Matanya seolah tahu kalau aku sedang berbohong.
"Mami, janji?" Rey memberikan kelingkingnya.
"Janji," suaraku tercekat sambil menautkan kelingkingku di keling nya yang mungil.
***
Aku meminta mbok Darmi untuk tidak mengatakan apa-apa pada Abi. Rey juga berjanji untuk tidak akan mengatakan apa yang terjadi barusan kepada Abi. Dan aku menelpon Abi untuk membatalkan melihat rumah baru. Abi setuju, karena dia pun tidak bisa pulang lebih cepat. Dan aku memutuskan untuk pulang ke rumah saja. Kalaupun diteruskan, aku tidak kuat untuk menyetir.
Fay datang menyambangi rumahku. Aku lupa tidak mengabari nya kalau aku sudah ada di rumah. Dia muncul dengan membawa banyak makanan, serta mainan untuk Rey dan Ruby. Setelah tempo hari dia makan satu jar dessert box, hari ini aku melihatnya membawa banyak sekali camilan. Seperti orang mau piknik saja.
"Ana!" Fay mengangkat kantung-kantung itu ke udara dengan bahagia. "Apa kabar darl? kenapa kau susah sekali aku hubungi? Naya bilang kau sudah pulang ke rumah. Astaga, kau tahu, berapa kali dalam sehari, Abi menerorku untuk menanyakan keberadaan dirimu. Kalau aku tahu kau di mana, aku akan katakan padanya."
Seperti biasa. Kehadirannya selalu membuat heboh. Kali ini dia sampai memelototkan matanya padaku. Kemudian membuka semua camilan yang dia beli. Mulai dari siomay, rujak, es campur, segala macam roti, coklat, dan snack ringan.
"Dan aku bilang pada Abi kalau aku menghilang, dan aku ada di apartemenmu."
"What?!" Suaranya melengking. Dan aku tertawa terbahak. Dia membuka rak piring, kemudian mengambil piring serta mangkuk. Kemudian menuangkan semua makanan itu. Dia membeli dia poris siomay dan es campur. Untukku katanya. "Memangnya kau sembunyikan di mana sih? karena wanita bernama Sophie itu? benar, Abi mengkhianatimu?"
Fay duduk, kemudian memberikan satu mangkuk es campur dan siomay ke hadapanku.
"Semuanya hanya salah paham, Fay." Aku mengaduk es campur. "Sophie itu pemilik bisnis properti. Dan Abi membeli rumah padanya. Rumah itu dibeli untukku, dan sekarang sedang dibuatkan kolam renang di belakang rumah, dan perpustakaan kecil. Dia sengaja tidak bilang apa-apa padaku. Katanya mau memberi kejutan. Ternyata dia yang terkejut."
"Hah? dia beli rumah mewah itu untukmu?" Fay terkejut, nyaris mengeluarkan bola matanya. Lalu sendok berisi es campur sampai tumpah, dan membasahi sebuah kertas.
Kertas?
Sebelum aku bisa mengambilnya, Fay lebih dulu mengangkat kertas tersebut. Kemudian mengelap nya.
"Fay, tidak apa-apa. Ini bukan apa-apa." Mataku, dan dengan cepat menggapai kertas yang ada di tangan Fay. Tapi wanita itu malah berkelit.
Dia menyipitkan matanya. "An, aku sama sekali tidak mempermasalahkan kertas ini. Aku tidak peduli. Tapi karena kau terlanjur mengatakan ini bukan apa-apa, yang artinya ini adalah kertas penting. Apa ini?"
Aku menghela napas. Pasrah ketika Fay mulai membaca isinya. Awalnya wajahnya biasa saja, kemudian muncul kerutan di dahinya, lalu setelah itu matanya membesar, dan dia menempelkan tangannya di mulutnya. Fay mengalihkan pandangannya padaku. Dia menatapku tajam.
"An," dia bicara tapi nyaris seperti bisikan. "Kau.. kau.." Fay mendekat, kemudian memelukku. "An, bicara padaku."
Aku tak sanggup. Hingga akhirnya aku hanya bisa menangis dan mengeratkan pelukan kami.