Satu minggu kemudian, Abi ada perjalanan dinas ke luar kota untuk dua hari. Aku mempersiapkan semua keperluannya dalam satu tas. Kemudian mendiktenya di mana aku menyimpan semua keperluannya. Obat-obatan juga sudah aku persiapkan. Berjaga-jaga, siapa tahu saja dibutuhkan.
"Semuanya sudah siap, Bi. Jangan skip makan, oke?"
"Terima kasih," dia mengecup keningku. "Aku tidak tahu kalau tidak ada kau. Hari-hariku mungkin akan berantakan." Katanya.
"Tapi, kau harus mulai membiasakan diri mengurus semuanya sendiri."
"Kenapa harus sendiri, kalau sudah ada kau."
Aku hanya tersenyum, lalu membelai wajahnya. Setelah semuanya beres, dan dipastikan tidak ada yang tertinggal, Abi pamit berangkat menggunakan taksi.
Aku melambaikan tangannya. Dan sekarang waktunya membangunkan Rey untuk ke sekolah. Berarti dua hari ini, aku yang akan mengantar dan menjemput Rey ke sekolah.
***
Fay menemuiku di toko kue. Pembicaraan kami terputus karena tantrum nya Ruby. Dan sekarang, sepertinya Fay masih sangat penasaran.
"Fay, tolong jangan bahas ini di sini. Aku tidak mau yang lain tahu." Dia terus mengekoriku.
"Oke, yang lain tidak tahu. Tapi Abi? kenapa kau tidak mengatakan padanya soal ini, An?" dia mendesis, sambil mengawasi sekitar.
"Sudah aku bilang, aku tidak ingin dia sedih, dan membebaninya." Aku berjalan menuju meja di pojok dekat jendela.
"Kau sekarat, An. Dan suamimu harus tahu itu." Dia mengikuti gerakan ku duduk di kursi. Dia mengambil posisi di hadapanku. "Kau sedang menulis apa?"
"Aku sedang membuat daftar apa saja yang diperlukan Abi, serta kegiatannya." Jawabku. Aku tidak mengalihkan pandanganku. "Dan aku akan mencari perempuan untuk melakukan semua yang ada dalam daftar."
"Apa? kau bilang apa tadi? mencari perempuan? untuk apa?"
Aku menatap Fay. "Untuk menjadi istri dari suamiku."
"What?" Dia berteriak. Suara Fay yang nyaring membuat pembeli menatap kami. "Apa kanker membuatmu jadi tidak waras?"
"Aku hanya tidak mau dia sendirian, setelah aku pergi, Fay. Dia harus tetap ada yang menjaga."
Dia diam. Aku juga diam. Kami saling menatap satu sama lain. Fay, selalu menjadi orang pertama yang memahamiku, mengerti dan menerima. Walau selalu melontarkan kata-kata pedas, tapi itu bentuk kepeduliannya.
"Aku.. aku tidak bisa membayangkan kalau kau tidak ada." Fay memegangi tanganku, kemudian membenamkan wajahnya di tanganku. Kedua bahunya bergetar. Dan terdengar isakan keluar dari bibirnya. Aku terenyuh melihatnya. Selama aku mengenalnya, yang aku tahu hanya satu kali dia menangis. Selebihnya wanita bringas ini seolah tidak memiliki air mata. "Kumohon An, kumohon kau mau berjuang untuk sembuh. Jalani kemoterapi."
"Fay, kemoterapi hanya untuk menunda waktunya. Bukan menghilangkan. Aku menjalaninya atau tidak, ajalku akan tetap tiba." Fay mendongak, wajahnya sembap oleh air mata. Lalu dia usap wajahnya oleh telapak tangan. "Justru, kalau aku harus menjalani kemoterapi, itu semua hanya akan membebani Abi. Menyita waktu dan tenaganya. Apalagi Rey dan Ruby. Aku tidak ingin melihat mereka sedih."
Fay masih berlinang air mata dan terus menerus mengusapnya. "Aku akan bantu Abi untuk mewujudkan semua mimpi kalian, sebelum kau... sebelum kau tidak ada."
***
Pukul tiga sore, aku menjemput Rey. Hari ini setelah pulang sekolah, ada les tambahan. Aku menunggunya sambil bersandar di body mobil. Dan tak lama kemudian, Rey keluar dari gerbang sekolah. Begitu dia melihatku, dia langsung berlari, dan aku membentangkan kedua tanganku. Memeluknya erat.
"Mam, hari ini nilai bahasa Inggris ku paling tinggi di kelas." Katanya senang. Kemudian dia mengeluarkan kertas dari dalam tasnya. Dan memperlihatkannya padaku.
"Woooaa, anak Mami pintar sekali. Selamat ya, sayang." Aku mengusap kepalanya, lalu mengecup keningnya.
"Karena nilaiku bagus, apa aku boleh minta sesuatu?"
"Boleh, kau mau apa?" Aku berjongkok, menyamaratakan tinggiku dengannya.
Rey menatapku cukup lama. Mungkin sedang berpikir atau apa. "Rey, mau bertemu dengan tante Sera."
Senyumku yang awalnya lebar, perlahan memudar. Apa aku tidak salah dengar. "Rey, kau yakin? kenapa?"
"Apa Mami senang kalau aku mau bertemu dengan tante Sera?"
"Rey," aku mengusap kedua lengannya. "Mami tidak pernah memaksamu untuk bertemu dengan tante Sera. Kalau kau tidak mau, tidak apa-apa."
"Tapi, Mami senang kan, kalau aku mau bertemu dengan tante Sera?"
"Iya, Mami senang. Tapi, Mami lebih senang kalau kau mau melakukannya atas dasar kemauanmu sendiri."
"Aku mau melakukannya. Untuk Mami. Untuk membuat Mami bahagia."
Rey memelukku, melingkarkan kedua tangannya di leherku. Aku menangis sesenggukan.
***
Setelah mendengar keinginan Rey, aku langsung menelpon Sera. Tapi kekecewaan yang aku dapatkan. Dia sudah kembali ke Paris satu minggu yang lalu. Dan akan kembali ke Indonesia baru, satu tahun kemudian.
Tapi, tadimalam dia kembali menelponku, dia mau mengundangku ke Paris bersama keluarga. Dan bagusnya, dia akan membayari semua perjalanan.
Aku, harus menunggu sampa Abi pulang. Aku harus katakan padanya kalau kami harus berangkat ke Paris sesuai dengan undangan Sera. Karena aku ingin segera mempertemukan Sera dengan Rey.
Tapi baru besok Abi akan pulang ke rumah. Aku sudah tidak sabar menunggu hari esok.
Dan keesokan harinya, aku msnjemput Abi di bandara. Tadinya Abi akan pulang memakai taksi. Tapi aku berinisitatf untuk menjemput Abi agar aku bisa secepatnya menanyakan semuanya pada Abi.
pukul 11 siang aku sudah sampai di bandara. Tinggal menunggu Abi untuk datang. Aku sudah tidak sabar menunggunya. Sebentar lagi, hari itu akan tiba. Aku yakin kalau semua yang aku susun akan terwujud. Aku berharap itu semua.
Abi melambaikan tangannya padaku. Kemudian dia memelukku. Tapi, kebahagiaan itu sepertinya hanya sampai sini saja. Aku tidak sadarkan diri.
***
Aku terbangun lagi di sebuah bangsal. Dan kini aku melihat keberadaan Abi. Samar-samar wajahnya tampak begitu muram, dan aku pastikan akan ada banyak pertanyaan yang akan dia lontarkan padaku.
"Bi," ucapku lirih. Abi segera bergerak dan setengah membungkuk untuk memeriksa ku. Saat dia akan menekan tombol untuk memanggil perawat, aku menahannya. "Kenapa aku bisa ada di sini?" Aku hanya memastikan kalau apakah dia sudah mengetahui semuanya atau belum.
Abi tertegun, memandangku dan tombol itu secara bergantian. "Kau pingsan di bandara." Katanya.
"Aku haus." Jawabku. Tenggorokanku memang sangat terasa kering.
Dengan gerakan grasak-grusuk Abi mencari keberadaan air minum. Tapi dia tidak menemukan setetes saja air minum di sana. "Sebentar." Kemudian dia berlari menuju keluar kamar pemeriksaan ini
Tidak lama kemudian dia kembali dengan botol plastik air mineral beserta sebuah sedotan. Dia masih diam menatapku yang sedang minum. Lalu tanpa bisa aku cegah, dia menarik tubuhku dan memeluknya erat. Aku bisa merasakan gerakannya yang halus mengecup puncak kepalaku.
"Maaf, Bi." Ucapku lirih.