Ada apa sih dengan orang-orang ini. Kenapa mereka semua berdiri di depan private zone ku dengan wajah panik.
"Di mana kau menyimpan kunci cadangannya?"
"Cadangan?" Tanyaku bingung melihat Naya yang kini berubah jadi dua. "Nay, wajahmu. Hahaha kenapa bisa jadi dua."
"Astaga, anak ini kenapa bisa mabuk."
"Ben!" aku menyadari keberadaan Ben di sampingku, yang kini sedang memegangi pelipisnya dan terlihat.. frustrasi?
"Ana, sudah aku bilang tidur di ruang VIP." Ben terengah-engah seperti baru saja mengejar seseorang.
"Aku tidak mau tidur, Ben. Kau pikir aku wanita seperti Fay, yang mudah diajak tidur."
"k*****t!" aw.. sakit. Fay memang punya tangan sekeras baja sampai-sampai tempurung kepalaku juga kalah. "Ben, tidak bisakah kau jaga Ana? Atau beri sesuatu yang bisa mengembalikan kesadarannya. Beri racun tikus misalnya."
Kini giliranku menggeplak kepala Fay. "Kurang ajar!" Rasakan! Bicara tidak menggunakan aturan. Dan tidak tahu diri akan memberiku racun tikus. Hah! Tapi apa racun tikus bisa membuat kepalaku tidak berdenyut lagi? Kalau bisa bolehlah beri aku satu saja.
"Stop!" Naya menahan tangan Fay dan aku tertawa puas. "Jangan bertengkar." Kata Naya seperti orang bijak. "Ana, di mana kunci cadang private zone? Private zone." Naya menunjuk-nunjuk pintu private zone. "Rey, ada di dalam. Pintunya dikunci dari dalam. Kami semua panik."
"Kunci cadangan, ya. Oke." Aku mengangguk paham. Serius aku paham. Kunci, kan? Kunci yang bisa membuka pintu. Aku punya. Satu. Ya, satu. "Tidak ada cadangan. Hanya satu."
Semua menghela napas saat mendengar kalimatku. Kenapa mereka lucu sekali.
"Bisakah kau masukan dia ke dalam lemari?"
"Ya, lemari!" aku menjerit. "Lemari. Kurasa aku punya satu lagi. Di dalam lemari."
"Lemarinya di mana?"
"Di dalam private zone." Kataku. "Hahahahahahaha."
"Lusiana! Kau itu benar-benar." Wah wah wah pasti Fay akan memukulku lagi. Jadi, aku siap-siap menghindar dengan melakukan gerakan mundur tapi tidak sangka aku justru terjatuh. Sial.
"Ya, ampun," aku tersenyum saat Ben membantuku untuk bangun dan kini aku berada di pelukannya. "Biar aku yang dobrak."
"Nah, dari tadi, kek." Ucapku seraya memukul dahi Ben keras. Ya, kurasa itu pukulan keras karena aku sempat mendengar Ben meringis.
Tanpa aba-aba, Ben melepas pelukanku membuat aku sempoyongan. Tapi beruntung, aku bisa menjaga keseimbangan walau pendaratannya sedikit membungkuk.
Dan dalam sekali tendangan pintu private zone milikku terbuka. Ini seperti de javu. Seperti pernah ada seseorang yang melakukan hal yang sama seperti Ben. Tapi siapa? siapa? oh aku ingat. Dia si atlet karate sabuk hitam. Tapi, siapa?
Semua orang masuk ke dalam dan Naya menarik tanganku ikut masuk. Keadaan di dalam sunyi senyap sampai pandanganku berhenti di satu titik. Di sebuah dinding bercat putih, aku menemukan sebuah... lukisan? Oh bukan itu.. ah tidak terlihat. Aku mendekat ke arah dinding sehingga aku bisa melihat sesuatu di sana. Sangat jelas. Dan itu bukan lukisan, melainkan sebuah gambar -entah apa- mungkin terbuat dari crayon warna-warni. Gambar. Dinding. Ya Tuhan.
"REY!!!! APA YANG KAU LAKUKAN PADA DINDINGKU?!"
Dinding. Dinding milikku kotor oleh coretan, gambar yang tidak aku mengerti dan ini semua perbuatan dari Rey, si anak pengacau. Keterlaluan.
"APA YANG SEDANG KAU PERBUAT?"
Bocah nakal itu langsung berdiri dari duduknya. Satu crayon yang sedang dia pegang jatuh ke lantai. Dia menatapku dengan wajah yang... takut? Sorotan matanya memancarkan kekhawatiran dan berair.
"KAU PIKIR DINDING INI BUKU GAMBAR YANG BISA KAU CORAT-CORET? HAH?" Rey tersentak dan bergerak mundur. "KELUAR! KELUAR!"
Aku memegangi kepalaku yang tambah berdenyut. Naya menghampiriku dan membawa Rey ke dalam gendongannya. Sebelum Naya keluar membawa serta Rey, aku melihat bocah itu berlinang air mata. Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan.
"Bisa-bisanya kau membentak Rey, hanya karena masalah ini."
Aku mendongak dan mendapati Ben di sana. Berdiri di hadapanku sambil berkacak pinggang.
"Dia mengotori dindingku." Ucaku pelan. Pelan sekali hingga hanya aku yang bisa mendengar.
"Rey ketakutan, Ana. Kau seperti orang kesetanan. Apapun yang Rey lakukan seharusnya kau tidak membentaknya seperti itu. Kau bisa membuatnya trauma. Astaga, kau akan menjadi ibunya Rey, tapi sikapmu tidak mencerminkan itu. Kau mabuk, kau berteriak hanya karena Rey mengotori dindingmu yang bahkan bisa kau bersihkan lagi. Jika Sera masih hidup dia pasti,"
"Apa?!"
aku memotong kalimatnya. Berteriak di depan wajahnya. Seratus persen kesadaranku sudah kembali.
Sejak kapan Ben bisa berbicara lebih dari satu baris.
"Sera. Sera. Sera. Di otakmu hanya ada Sera. Di hatimu hanya ada nama Sera. Sedangkan aku? Sedikitpun tidak pernah terlintas di pikiranmu, 'kan?" Aku mendorong dadanya dengan satu telunjukku. "Jika Sera masih hidup, lalu kenapa?" Jari Ben menyisir rambut sambil berdecak. "Jika wanita itu masih hidup, sudah pasti dia telah bahagia bersama dengan pria yang tulus mencintainya, bukan dengan pria yang meninggalkannya disaat dia sedang terpuruk. Dan jika Sera masih hidup, mungkin kita, mungkin kita..." tanganku terangkat memegang kepalaku, berusaha mengingat-ngingat apa yang akan aku katakan. "Tidak akan pernah bersama." Ucapku pada akhirnya. "Dan, kurasa itu lebih baik."
"Apa maksudmu?" Ben bertanya dengan tegas. Raut wajahnya keras.
"Maksudku.. maksudku.." aku menarik napas kemudian mengembuskannya dengan kasar. "Maksudku.. kurasa kita.. seharusnya kita... memikirkan kembali rencana pernikahan kita."
Ben mengusap wajahnya kasar, lalu menatapku lama sekali. Sampai pada akhirnya, Ben memelukku, mencium kepalaku berkali-kali.
"Suasana hatimu sedang buruk. Kau mabuk. Kita bicara lagi setelah otakmu benar-benar jernih."
Kemudian pintu private zone tertutup bersama dengan kepergian Ben, dan menyisakan aku di sini sendiri, dengan dinding yang kotor oleh perbuatan Rey.
Aku memandangi dinding tersebut sampai aku menemukan sebuah pemahaman dari apa yang bocah nakal itu lakukan. Sambil bergerak mundur, secara perlahan dan mataku fokus pada gambar tersebut, saat itu juga aku benar-benar sadar bahwa aku memang sedang kacau. Aku mabuk. Aku kesetanan dan t***l.
Rey menginginkan seorang bidadari, dan dia telah menemukannya. Hanya saja bidadari itu belum bisa sepenuhnya dia miliki, karena bidadari itu masih melayang-layang di angkasa dan hanya sesekali menemui Rey.
Sekarang aku tahu. Aku tahu bagaimana bentuk bidadari yang Rey maksud. Dia menggambarkannya dengan baik. Bidadari itu berambut panjang, memiliki dua sayap yang lebar serta kuat. Melayang di udara dengan senyuman yang sangat cantik. Memandang kedua orang yang bergandengan tangan di atas rumput hijau yang terbentang indah. Bibirku tersenyum kecil saat tahu bahwa gambar dua orang itu adalah Rey dan ayahnya. Tertulis nama Abyan di sana.
Sekali lagi, aku meneteskan air mata menyadari betapa bodohnya aku. Tanganku mengusap sebuah tulisan berwarna merah muda yang sulit dibaca tapi masih terlihat jelas. Sejenis tulisan yang dibuat sekuat tenaga oleh seseorang yang mungkin baru bisa menulis. Walaupun hanya satu kalimat, tapi memiliki makna begitu dalam.
I lov you yang mulia ratu.
Aku tersenyum lagi. Kemudian mengambil crayon yang berserakan di bawah dan membubuhkan hururf 'E' di kata 'Lov'. Dia pasti lupa huruf 'E' nya.
Rey. Dengan segala sikap nakalnya dia tetaplah seorang anak kecil yang melakukan segala sesuatunya dengan jujur.