I get drunk

1245 Kata
Saat aku menerima pernyataan cintanya Ben satu tahun yang lalu, dan memutuskan untuk menerima lamarannya enam bulan yang lalu, maka aku menaruh kepercayaan penuh kepada, Ben. Menerima segala apa yang menurutku tidak sesuai harapan. Menurut Nessa, segala hal yang ada di alam semesta telah terencana jauh sebelum kita dilahirkan. Maka dari, itu kenapa apa yang kita inginkan seringkali tidak sesuai dengan kenyataan di depan mata. Semua bukan kebetulan. Termasuk segala yang ada di diri Ben. Sikap tidak pedulinya, sikap dinginnya, irit bicaranya, kadar sensitifitasnya yang rendah dan semua hal tentang Ben yang tidak pernah masuk ke dalam daftar pria idaman. Naya bilang, tidak akan pernah ada pria idaman, karena saat kita jatuh cinta segala yang ada dalam daftar tidak akan pernah lagi berfungsi. Dan semua terjadi padaku. Semua yang Ben miliki tidak pernah ada dalam daftar pria idamanku dan aku mencintai Ben. Itu masalahnya. Fay, pernah mengatakan jangan biarkan masa lalu merusak masa depan. Tapi, kenyataannya masa lalu Ben yang baru saja aku ketahui perlahan mengikis segalanya. Seolah menelanjangi satu hal lagi yang ada pada diri Ben. Sikap egoisnya. Aku tidak tahu apakah ini akan berjalan sesuai rencanaku atau tidak. Karena mengingat dua puluh enam tahun aku bernapas, kehidupanku nyaris selalu melenceng dengan apa yang telah aku susun. "Jadi, apa rencanamu?" "Tidak ada." Dengan gerakan lambat gelas berisi sedikit wine masuk ke tenggorokan Fay. Diam-diam aku memikirkan bagaimana rasa wine tersebut hingga tanpa kusadari aku menelan ludah. Seperti seorang cenayang, Fay selalu tahu apa yang dirasakan lawan bicaranya. Maka dari itu, dia menuangkan wine yang ada di dalam botol ke dalam gelas miliknya kemudian menyodorkannya padaku. Aku menggeleng keras, tapi mataku tak lepas dari cairan warna merah tersebut. "Its okay, aku tidak memaksa walau sepertinya air liurmu menetes seperti anak kecil yang menginginkan permen." Aku mendengus sebal. "Rasanya tidak buruk, kok." Lanjutnya kemudian menandaskan isinya. Aku dan Nessa tidak pernah menyentuh minuman alkohol. Tidak seperti Fay, Sha dan Naya. Ya, Naya. Jika kalian melihat Naya, kalian tidak akan pernah sangka seperti apa Naya sebenarnya. Ayolah penilaian wanita peminum alkohol itu buruk di mata masyarakat sementara wanita seperti Naya jauh dari kata wanita nakal. Setidaknya di rumah dia sendiri. "Apa yang bisa kulakukan?" "Kau sudah tidur dengan Ben?" Aku mendelik tidak suka. "Maksudku, Ben sudah tidur dengan dua orang wanita, jadi tidak akan masalah baginya untuk meniduri satu wanita lagi." Awalnya aku ingin merahasiakan tentang Ben dan Viona, tapi aku sendiri tidak pernah bisa menjamin mulutku yang nyaris tidak bisa jaga rahasia. Hey, memangnya hubungan Ben dan Viona patut dirahasiakan? "Aku masih perawan." Ucapku setengah kesal. "Tidak heran." Timpal Fay. "Wanita dengan pemikiran rumit sepertimu pasti akan berpikir seribu kali untuk melepas keperawanan." "Ini hanya soal prinsip, Fay." "Apa sekarang kau masih punya prinsip?" tanyanya. "Ayolah, pria yang sudah tidak perjaka mendapatkan wanita yang masih perawan. Apa itu terdengar adil?" "Aku tidak pernah mempermasalahkan soal perawan dan perjaka. Biarlah itu menjadi bagian dari masa lalu nya. Yang membuat aku terganggu adalah cara Ben menyimpan masa lalunya dan bagaimana dia bersikap. Aku jadi tidak yakin apakah dia mencintaiku atau tidak." "Lalu, kau mau Ben jujur dari awal?" Fay mengibas rambutnya. Ya sejak tadi aku memang agak terganggu dengan rambutnya. Ini tengah hari bolong, kenapa rambutnya masih saja basah. Fay, bukan tipe orang yang rajin membersihkan badan. Jadi, keramas di siang hari adalah sesuatu yang tidak mungkin dia lakukan kecuali ada sesuatu yang mendesak. "Kau, mau Ben mengatakan masa lalunya bersama Viona sejak awal hubunganmu dengannya? dan menceritakan detail yang terjadi antara dia dan Sera? Ya ampun Ana, kurasa tidak ada pria yang sebodoh itu." Fay memutar bola mata. "Setiap pria akan menutup rapat-rapat masa lalunya." "Fay.." "Kalau kau tidak terganggu dengan masa lalunya, lantas apa masalahnya sekarang?" "Perasaannya." Cicitku. Wanita itu menghela napas kemudian menjatuhkan punggungnya di sandaran sofa miliknya. "Kau kan tinggal menanyakannya. Ben, Do you love me? Cause I love you. Beres." "Tidak semudah itu." "Astaga." Fay duduk tegak dalam satu gerakan cepat seperti ibu-ibu yang masakannya gosong. "Kau mau menikah An, hanya menanyakan perasaan satu sama lain saja susahnya minta ampun. Yang benar saja.. lagipula bukan saatnya lagi kalian mempertanyakan perasaan masing-masing." Semua yang dikatakan Fay benar. Seharusnya aku tidak perlu mempertanyakan perasaan pria yang akan menikahiku. Tapi entah kenapa ada perasaan ragu yang terus memenuhi otakku. "Aku ragu, Fay." Ada jeda yang cukup panjang. Fay menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa aku artikan sampai akhirnya dia berkata. "Ragu pada apa?" tanyanya dan aku mulai berpikir kembali. "Ragu pada Ben, atau ragu pada perasaanmu sendiri?" aku juga tidak mengerti. Ada suara pintu terbuka. Aku dan Fay menoleh secara bersamaan ke arah pintu kamar Fay. Dan di aana aku mendapatkan seorang pria tengah berdiri dengan celana tidur tanpa atasan sehingga memperlihatkan kesempurnaan tubuhnya. Sekilas aku berpikir sepertinya aku pernah melihat wajah pria tersebut. Fay tersenyum canggung padaku kemudian beranjak dari duduknya untuk menghampiri pria yang tak asing lagi bagiku dan masuk ke dalam kamar dengan terburu-buru. Pantas rambutnya basah di tengah hari bolong begini. 'Ada sesuatu yang mendesak.' Aku tidak heran dengan kelakuan Fay yang seperti ini. Dia berubah semenjak kami berada di tingkat dua perkuliahan. Persisnya setelah dia mendapati kekasihnya tidur dengan kaka perempuannya sendiri. Cinta memang bisa mengubah segalanya. Termasuk sifat malaikat seperti Fay. Dan dia tidak pernah -atau mungkin belum- menyesali perubahan hidupnya. Memikirkan masa lalu Fay membuat aku tidak sadar kalau sekarang aku tengah memegang gelas beling milik Fay yang berisi wine. Oh tidak! Tidak! Aku tidak mungkin meminumnya kan? Tapi kurasa sudah, karena aku mulai merasakan kepalaku berdenyut. Ya Tuhan kenapa sampai tidak sadar kalau aku.. apa ini? Gempa ya? Kenapa barang-barang di apartemen Fay menjadi ada dua. Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku berdiri menuju kamar Fay dan mengetuknya. Tapi tidak ada jawaban di sana. Fay keterlaluan, bisa-bisanya dia having s*x disaat sedang mendengarkan curhatan sahabat. Tidak berperikemanusiaan. "Fay!" Tanganku menggedor pintu kamar Fay. "Fay! Fay! Fay!" Sialan. Dia pasti enak-enakan di dalam sana. Secara bersamaan dering ponselku berbunyi nyaring. Oh, sejak kapan musik rock menjadi ringtone ponselku. Menyebalkan. "Hallo." "Ana, di mana?" "Apanya yang di mana?" Oh ya ampun sejak kapan aku bisa bersendawa keras seperti ini. "Ana, kau di mana sayang? Rey, mengunci dirinya di dalam private zone." Rey? Mengunci diri di dalam kamar? Apa Rey dan Fay sedang melakukan aktifitas yang sama. "Lalu apa yang bisa aku lakukan? Dobrak saja pintunya atau biarkan saja. Mungkin Rey sedang bersenang-senang seperti Fay yang sedang bersenang-senang dengan pria yang entah dia dapat darimana.... Oh s**t bahkan dia tidak mendengarkanku.. Fay! Fay! Buka pintunya bodoh. Sialan! Aku bisa.." "Ana apa yang sedang kau bicarakan? Kau mengoceh.. ya ampun, kau mabuk?" "Aku? Mabuk? Hey, aku tidak pernah mabuk. Aku pernah naik pesawat tapi tidak mabuk. Aku pernah naik kapal laut tapi tidak mabuk. Aku pernah naik kora-kora tapi tidak mabuk.. hey.. hahahaha... bukankah kora-kora juga kapal laut." "s**t. Ana kau mabuk. Di mana kau sekarang? Katakan di mana?" "Aku? Aku di.. di tempat yang bergoyang dan miring." Nah, kan benar. Sekarang badanku bergoyang ke kiri dan ke kanan. "Jadi aku di.. ah! Rumah miring." "Demi Tuhan!" "Fay, bodoh! Buka pintunya, b***h!" "Kau di apartemen Fay?" Sebelum aku menjawab pertanyaannya ada yang merampas ponselku. Fay. Apa aku bilang aku tidak mabuk. Aku masih bisa mengenali siapa yang berdiri di depanku sambil berbicara lewat ponsel milikku. Aku hanya sedikit pusing dan sempoyongan. "Ayok, kita pergi!" Fay menarik tanganku kasar membuat aku tidak bisa melawan dan mengikuti pergerakan Fay yang membawaku pergi dengan.. oh jadi ini mobil siapa? wangi sekali. Punyaku tidak sebagus ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN