Vivi's wedding

1077 Kata
Aku menyongsong hari pernikahan Vivi dengan suka cita. Benar apa kata pepatah itu, cinta itu buta. Abi mengatakan walaupun pernikahan mereka adalah semu, tapi dia yakin kalau Vivi dan Christian saling mencintai. Mereka hanya tinggal tunggu masing-masing menyadarinya saja. Lihat Vivi sekarang. Aku tidak pernah menyangka kalau gadis tomboy itu, kini berdiri di pelaminan mengenakan gaun pengantin paling cantik yang pernah kulihat. Seorang pria tinggi berdarah Indonesia Prancis itu berdiri di sampingnya dengan melingkarkan tangannya di pinggang Vivi posesif. Siapa yang akan menyangka wanita tomboy yang sama sekali tidak ada niatan untuk menikah kini dialah yang jadi ratunya. Sha berdiri di stand minuman, dan seperti biasa dengan setia Raga mengekor di belakang Sha walau selalu mendapat penolakan dari wanita itu. Tapi aku tahu, Sha bukan menolak. Hanya saja dia belum tahu kapan dia akan membuka hati lagi. Fay. Dia tidak perlu dikhawatirkan soal kisah percintaan. Dengan senyum bitchy nya dia merangkul lengan seorang pria berdarah chinees yang siang itu keluar dari kamar Fay. Pelayan bernama Rafael yang kami temui tempo hari. Mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Aku selalu berharap kalau mereka juga akan berakhir di pelaminan. Tapi, kisah percintaan mereka berbeda dari kebanyakan orang normal. Tapi kurasa Rafael cukup bisa membuat Fay keluar dari penyakit sinting nya. Nessa. Gadis keraton itu terus memasang wajah masam saat bang Arsen didekatnya. Tapi, bule gila itu sepertinya pantang menyerah. Aku terkikik geli. Tidak biasanya bang Arsen mendapat penolakan dari seorang wanita. Kurasa dia sedang mendapatkan karmanya. Naya. Dia tidak datang hari ini. Dia sedang sidang tesis. Akhirnya dia menyelesaikan S2 psikologi nya dan impian membuka praktik sendiri sudah di depan mata. Padahal dirinya sendiri masih butuh pengobatan. Tapi dia bilang, walau dia sudah lulus S2, dia akan tetap menjalankan bisnis kue pie bersamaku dan Vivi. "An," aku tersentak saat para wanita-wanitaku menghampiri. "Vivi akan melempar buket bunganya. Ayok!" aku menoleh ke belakang, menanti Abi yang janji untuk datang. Sha menyeret tanganku ke tengah kerumunan para gadis. Entah siapa yang pertama menobatkan kalau buket bunga pengantin akan menjadi sebuah keberuntungan bagi setiap wanita yang mendapatkannya. Aku jenis wanita yang percaya kepada Mr. Right. Tapi jika Mr. Right hanya bisa didapat dari sebuah buket bunga, lalu apa artinya sebuah perjuangan. Oh, mendapatkan buket bunga yang dilempar sang pengantin juga butuh perjuangan. Berjuang melawan para wanita yang berubah jadi bringas. Aku, Sha, Fay dan Nessa berdiri paling depan di barisan pemburu keberuntungan. Para wanita ini membuat aku menumpukan seluruh berat tubuhku pada heels karena terus mendorong-dorong dari belakang. Semua berteriak histeris memekan telingaku saat Vivi mulai membelakangi kami mengambil ancang-ancang akan melempar buket bunga. Semua orang semakin menjerit saat tangan Vivi diangkat keatas. Aku bukan penangkap yang andal, jadi kemungkinan mendapat buket bunga tersebut kecil. Jadi aku hanya pasrah tidak begitu berusaha menginginkan bunga tersebut ketika kulihat Vivi siap melempar bunga. Saat aku mengambil ancang-ancang, tiba-tiba ada yang menarik lenganku ke belakang. Aku nyaris terjungkal, kemudian meninju orang itu, yang berani-beraninya mengeluarkanku dari kerumunan pemburu keberuntungan. "Sedang apa kau di sana?" Abi mengangkat kedua alisnya. "Aku mau menangkap buket bunga dari Vivi." Jawabku mendumel. "Tidak perlu." Semburnya. "Orang yang akan menikahimu sudah ada di depan mata, jadi untuk apa kau berdesakan di sana?" "Duuh.. calon suamiku galak sekali." Aku merangkul lengan Abi. "Aku cuma berpartisipasi meramaikan acaranya saja, tidak bermaksud apa-apa." Tiba-tiba suasana menjadi ricuh saat Vivi mulai melempar bunga. Entah tenaganya yang kelewat besar atau bagaimana, buket bunga yang dilempar Vivi melewati atas kepalaku dan Abi, terpental jauh ke belakang. Kemudian tertangkap oleh seseorang. Aku menyipit. Memastikan kalau penglihatanku tidak salah. Ben berdiri di sana bersama dengan Shafiya, sedang memegang buket bunga. Wajah mereka tampak terkejut, kemudian Ben terlihat gugup dan memberikan bunga itu kepada Shafiya dengan gerakan cepat. Seluruh tamu undangan bersorak riang, sementara yang diteriaki hanya bisa melongo seolah tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Aku hanya bisa terkikik melihat pemandangan itu. Kalau dilihat-lihat mereka begitu cocok satu sama lain. Ya, Ben cocoknya mendapatkan wanita seperti Shafiya. Wanita yang tangguh. Semoga ada kebaikan untuk Ben. *** Hari pertama kami membuka toko offline untuk bisnis kue pie kami. Toko online kami sudah laris manis. Jadi, kami ada modal untuk membuka toko offline. Letaknya tidak jauh dari rumahku. Karena sudah ada pelanggan, jadi kami tidak perlu repot mencari tempat strategis. Orang-orang sudah mengenal kue pie kami, dan pasti mereka akan datang di mana pun kami berada. Toko sangat ramai pengunjung. Toko kue pie ini, menjadi lebih pesat. Bukan hanya menjual kue pie. Tapi juga dessert box, kue bolen, kue gulung dan lain sebagainya. Karena saking kewalahan menerima pesanan, aku merekrut pegawai baru untuk membantuku di dapur. Urusan pelayanan ada Naya dan Vivi. Ya, Christian tidak ambil pusing dan mengizinkan Vivi untuk bekerja di sini. Asal jaga sikap, katanya. Oh ayolah, sekarang Vivi sudah jadi istri sang konglomerat. Di mana gerak-geriknya sudah diawasi. Apapun yang menjadi kegiatannya akan selalu menjadi berita. Saat aku ada di dapur, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari luar. Aku keluar untuk memeriksa. Di sana sudah banyak kerumunan orang-orang, dan wajah Naya dan Vivi yang nampak panik. "Ada apa?" Aku datang menerobos kerumunan. "Ibu ini bilang, dia terserang sakit perut setelah makan kue pie yang dia beli dari sini." Naya menjelaskan dengan menggebu-gebu. "Bu, maaf, apa Ibu sudah memeriksakan diri ke dokter?" tanyaku baik-baik. "Mohon maaf, barangkali sakitnya perut Ibu bukan karena memakan kue pie kami. Mungkin karena ada akibat lain." "Dokter mengatakan, kalau saya keracunan makanan." Ibu-ibu itu menjawab dengan emosi. "Tidak mungkin Ibu keracunan kue pie kami. Kami membuat kue ini dari bahan-bahan premium. Dan setiap hari kue-kue di sini selalu baru." Pungkas ku. Seperti biasa, orang-orang ramai sedang memegang gawainya. Pasti mereka sedang merekam, lalu memposting nya di soal media mereka. "Oke, begini saja. Kami akan bawa sample kue-kue di sini ke lab makanan untik diperiksa. Kalau memang kenyataannya kue-kue di sini beracun, kami akan ganti rugi. Tapi, kalau terbukti kue di sini aman. Maka Ibu yang harus ganti rugi, akibat pencemaran ganti rugi. Sekarang semua ada hukumnya." Kataku benar-benar bijak. Aku sudah terlatih menghadapi pelanggan yang super cari perhatian seperti ini. Jadi, pelanggan seperti ini tinggal di gertak saja bisa langsung menciut. Terbukti, sekarang wajahnya pucat pasi. Dia diam sambil menatapku. Tapi, dia tidak bisa menyembunyikan rasa ketakutannya. "Bagaimana, Bu?" kali ini Vivi yang berbicara. "Tidak peelu," katanya. "Permisi." Apa aku bilang. Ada saja orang yang ingin menghancurkan bisnis orang lain. Saat itu itu keluar dari toko, sekilas aku melihat seseorang berdiri di depan toko, tapi dia langsung pergi begitu saja. Ah mungkin salah orang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN