Bab 9

1514 Kata
Setelah mengantar Dinda ke parkiran. Aku segera menelpon Fito. “Fit, kamu dimana?” tanyaku. “Di ataslah, sudah selesai? Cepat kesini! Ada kejutan,” ucapannya membuatku penasaran. Kejutan apa yang dimaksud olehnya. “Iya, aku kesana sekarang,” jawabku. Aku menaiki beberapa eskalator untuk menuju lantai atas, tempat dimana food court berada. Dalam perjalanan menuju Fito, aku memikirkan kemungkinan-kemungkinan dari kejutan itu. Tapi, aku tidak bisa menemukan satu pun kemungkinan yang cocok. Aku mempercepat langkahku, saat aku melihat Fito melambaikan tangannya padaku. Ada dua orang yang sedang duduk bersamanya. Tapi mereka sudah pergi, sebelum aku sampai di meja Fito. “Tadi ada siapa?” tanyaku. Aku menarik kursi dan duduk di depannya. “Kamu sih lama, kejutannya pergi deh,” jawabnya. “Kejutan? Dua orang tadi? Siapa sih?” tanyaku penasaran. Bagaimana bisa aku akan terkejut dengan kedua orang tadi. “Iya, tuh mereka duduk di sana sekarang,” ucap Fito. Dia menunjuk ke salah satu meja. Aku melihat ke arah yang dia tunjuk. Ada seorang cowok dan seorang cewek yang sedang bermesraan di sana. Aku menajamkan pengelihatanku. Tapi tetap saja tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas. “Siapa sih?” tanyaku pada Fito. “Kamu penasaran? Ayo kesana!” ajak Fito. Aku menurut saja padanya. Kami melangkah menuju meja mereka. “Jefri?” ucapku tak percaya. Aku tahu dia playboy, tapi aku enggak menyangka dia bisa sejahat ini. Dia bilang ke Dinda kalau dia sedang sibuk, nyatanya dia sibuk mesra-mesraan dengan cewek lain. Dasar cowok b*****t. Emosiku memuncak, tanpa sadar aku mengarahkan tinjuku pada Jefri. Membuat Fito, Jefri, juga selingkuhan Jefri kaget. Fito memegangi tubuhku, aku masih saja mencoba meraih Jefri yang masih bingung dengan tingkahku. Aku terus berontak, pegangan Fito terhadapku lepas. Aku meninjunya sekali lagi. Kemudian Fito menarikku lagi. Jefri juga mulai terpancing emosinya. Aku rasa dia bingung dengan apa yang aku lakukan padanya. Dia mulai maju dan mencoba menggapaiku, yang sedang dipegangi oleh Fito. “Minggir Bos,” ucap Jefri pada Fito. Tapi Fito tidak menggubrisnya. Dia fokus padaku yang masih saja meronta untuk dilepaskan. Mungkin Fito mulai lelah menahanku, agar aku tidak memukul Jefri lagi. Akhirnya Fito menghempaskan aku di kursi. Punggungku terasa sakit sekali. “Kamu ini kenapa sih?” tanya Fito. Sepertinya dia merasa menyesal, sudah memberitahuku tentang sebuah kebenaran. Dia tidak menyangka, responku akan senekat itu pada Jefri. “Kamu kok mukul aku Yo?” tanya Jefri. Dia memegangi pipinya, bekas yang kutonjok tadi. Dia masih ingin membalasku, tapi dihalangi oleh Fito. Ceweknya melirikku dengan sinis, tangannya sesekali memegangi pipi Jefri. “Kamu enggak apa-apa?” tanyanya pada Jefri. Dia melirik sinis lagi padaku. “Kalau kamu ngerasa punya salah, cepat minta maaf!” ucapku pada Jefri. Aku menggebrak meja mereka. Lalu aku berjalan pergi dari mereka. Aku melihat Fito melambai ke mereka. Kemudian dia mengikuti langkahku. Jelas saja dia mengikutiku, kunci mobilnya kan ada di aku.   ***   Kami sampai di rumah Fito. Aku lihat Lely dan Dito sedang duduk santai di sofa. “Sudah selesai?” tanyaku pada Lely. Aku duduk di samping mereka. “Sudah, ayo pulang,” pinta Lely. “Loh kok buru-buru?” tanya Fito. “Capek Kak, dia enggak bisa-bisa. Kesel aku, pingin ku tonjok rasanya. Pantas saja dia di bully, gerakan sederhana saja dia enggak bisa. Sampai berbusa rasanya mulutku ngasih tahu dia,” omel Lely. Aku melihatnya melirik sinis ke arah Dito. “Loh, karena itulah kamu diminta jadi guru karatenya. Kalau dia bisa les di luaran sana, ya dari dulu sudah sabuk hitam dia,” ucap Fito. Sepertinya, dia mencoba merayu Lely. Dia peka sekali dengan kondisi itu. Gerak cepat, sebelum Lely meminta untuk berhenti mengajar. “Kamu mau kan bantu dia?”  pinta Fito. Dito hanya menunduk, wajah dia memang terlihat ingin menyerah rasanya. Pada akhirnya Lely pun luluh. Dia mengangguk. Tapi dia tetap meminta untuk pulang.   ***   Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamarku. Merebahkan diri di kasur empukku. Juga menyalakan ac dengan remote di tanganku. Aku merasa begitu kesal dengan Jefri. Bisa-bisanya dia berbuat seperti itu. Kenapa dia harus beralasan sibuk. Sibuk kencan sama wanita lain. “Dinda, dinda, kenapa kamu duluan kenal sama Jefri sih, mendingan kamu kenal sama aku dulu,” ucapku pelan. Aku menutup wajahku dengan bantal. Kesal dan sangat emosi, masih sangat terasa. Awalau kamarku sudah mendingin sejak tadi. Tapi, kepala dan pikiranku masih terasa panas.   Aku benar-benar kesal saat itu. Entah, akan jadi seperti apa hubunganku dengan Jefri nantinya. Aku tidak peduli lagi. Aku hanya tidak tega. Orang yang begitu tulus, mendapatkan pria yang modus. Aku memang cemburu, tapi aku tahu batasanku. Tapi ini sudah keterlaluan. Walaupun aku bukan siapa-siapanya Dinda, tapi aku sangat kesal. Aku pernah ingat ada yang berkata padaku. Bahwa, jika kamu tidak jujur dengan perasaanmu, maka hanya rasa sakit yang akan kamu rasakan. Sepertinya, aku sedang dalam fase merasakan sakit itu.   ***   “Yo, turun. Ada Jefri,” ucap emakku. Aku malas sekali untuk turun. Aku berpura-pura saja tidak mendengarnya. Tapi si kampret Jefri malah masuk ke kamarku. Dia melemparkan guling ke arahku. Dia menghempaskan tubuhnya diatasku. Aku mengaduh, dia malah terawa. “Rasain, sakit kan?” ucapnya padaku. Aku hanya diam saja. Aku sangat malas ngobrol dengannya saat ini. Dasar orang enggak punya malu. Sudah putus kayaknya urat malunya. Masih saja punya muka buat datang kesini. Apa dia tidak takut akan menonjoknya lagi? “Yo, bangun!” ucapnya tepat ditelingaku dengan nada tinggi. Aku terkesiap, gendang telingaku rasanya mau pecah mendengar itu. Sakit sekali rasanya telingaku. Dasar menyebalkan. “Apa sih!” bentakku padanya. Aku memasukkan jari kelingkingku ke dalam lubang telinga. Mencoba untuk menetralisir rasa sakitnya. “Nah gitu dong bangun! Aku mau nanya nih sama kamu.” Dia mengucapkannya dengan nada serius. Tapi aku ogah-ogahan mendengarkan dia berbicara. Palingan juga dia memberi alasaan. “Kalau kamu mau bahas soal di mall tadi, aku males. Percuma bahas masalah sama orang, yang sendirinya enggak tahu salahnya apa,” jawabku. “Nah, makanya aku mau nanya. Apa salahku, kok kamu sampai mukul aku? Sakit tahu!” omel Jefri. Dia masih memegangi pipinya, yang aku tonjok tadi. Ada warna biru di sana. Sepertinya, tinjuku benar-benar sangat keras tadi. “Pikir dong, punya otak kan? Apa jangan-jangan otakmu enggak ada? Itu kepala doang ya? Enggak ada isinya?” sindirku padanya.  Aku memalingkan badanku. Kemudian aku berdiri dan berjalan menuju balkon. “Yeee, sensi amat. Kayak cewek saja kamu,” jawabnya. Dia mengikuti berjalan ke balkon. Ini orang, otaknya tinggal secuil apa udah habis. Kok enggak bisa mikir. Malah ngatain orang. Aku meliriknya dengan sinis. “Cewek tadi siapa?” tanyaku padanya. Aku sengaja langsung menanyakan pada intinya. “Oh, dia Angel. Kenapa? Kamu suka? Bukan pacarmu atau gebetanmu kan?” tanya dia cemas. Sepertinya, dia mengira aku marah karena aku menyukai gadis yang sedang bersamanya. Padahal, aku maah karena aku sukanya sama Dinda. Aku tidak suka, jika ada yang menyakitinya. Sekecil apapun itu. “Kenapa kamu mikir gitu? Enggak kepikiran soal lain?” sindirku. Aku sengaja mengatakan secara terang-terangan. Biar otak dia nyampe, karena loading otak dia biasanya lama. Seperti komputer keluaran lama. “Ayolah, to the point saja. Apa yang membuat kamu marah?” tanya dia. dia langsung menyerah, tanpa mau berpikir. Sudah hapal betul aku dengan caranya berpikir. “Dinda!” jawabku singkat. “Dinda? Dinda kenapa?” tanyanya dengan tanpa dosa. Padahal dia sudah dengan sengaja berselingkuh. “Ya kamu pikirlah, kamu habis berbuat apa sama dia?” desakku padanya. “Aku enggak inget,” jawabnya. Benar-benar menyebalkan sekali dia. Rasanya ingin sekali menonjoknya lagi. Tapi, aku tidak ingin Emak dan Bapak merasa curiga. Jadi, aku mengurungkan niatku. “Mau aku jedotin ke tembok? Biar kamu inget?” desakku. Aku sudah mengambil ancang-ancang untuk menarik kepalanya. “Aku cuma bilang, enggak bisa nemenin dia beli buku. Karena aku sibuk,” jawabnya. Ekspresinya datar-datar saja. kalau kalian melihat ekspresi dia saat itu. Aku yakin, kalian juga akan ingin memukulnya saat itu. “Nah itu tahu, sibuknya mesra-mesraan sama cewek lain?” sindirku. Menatapnya dengan tatapan tajam dan mematikan. Dia mengalihkan pandangannya dariku. “Tapi kok kamu tahu soal Dinda?” tanya dia terkejut. Dia mulai menyadari kesalahannya. “Aku ketemu dia tadi, bayangin kalau dia ngikut aku ke food court juga. Bakal seperti apa perasaannya pas lihat kamu sama cewek tadi?” ucapku penuh emosi. Ingin ku tinju dia lagi rasanya. “Jadi tadi ada Dinda di mall? Apa jangan-jangan dia lihat aku ya tadi?” ucap Jefri panik. “Sukurin!” ucapku penuh penekanan. Puas sekali rasanya melihat dia panik seperti itu. “Yo, bantuin aku ya. Jangan bilang-bilang ke Dinda. Aku sayang sama dia,” rengeknya padaku. “Kalau sayang sama dia, ngapain selingkuh?” sindirku. “Ya namanya juga cowok, satu mana cukup,” jawabnya enteng. Ku jitak kepalanya. Kesal aku mendengar jawaban seperti itu. “Bener loh Yo, kamu saja yang belum ketemu sama cewek yang bisa menarik perhatianmu, kalau sudah, pasti kamu mau nyari lagi dan lagi,” ucapnya dengan penuh bangga. Aku jadi mual melihatnya. Enggak tahu saja dia, kalau aku sudah jatuh cinta - sama pacarnya. “Aku enggak gila kayak kamu! Kalau ada satu, ya sudah itu. Ngapain nyari lagi. Kurang kerjaan aja nyari ribut,” jawabku. Aku melengos padanya. “Kalau kamu ngerasa punya banyak pacar itu enak, tanggung sendiri resikonya. Aku enggak ikutan!” lanjutku. Dia hanya tersenyum, lalu berkata “Kalau kamu enggak bilang ke Dinda, ya berarti dia enggak akan tahu.” “Kalau ternyata dia melihat kamu sama cewek tadi di mall, gimana? Aku ogah ikut campur masalah kalian. Gedek sendiri rasanya,” jawabku, sengaja aku menyindirnya dengan terang-terangan. “Semoga saja enggak,” jawabnya enteng. Kok bisa ya, aku punya teman modelan dia. Sudah bertahun-tahun lagi, apa ada yang salah ya dengan otakku? Makanya aku bisa berteman segitu lamanya dengannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN