bab 8

1530 Kata
Setelah memarikirkan mobil Fito. Aku dan Fito masuk ke dalam mall. Fito langsung menuju toko favoritnya. Sementara Aku mengekor di belakanganya. Aku duduk di kursi tunggu, di dekat kasir. “Ada yang bisa saya bantu Kak?” tanya salah seorang pegawai toko padaku. “Saya hanya ngantar teman kok, Mbak,” jawabku. Aku melihhat ke arah gadis itu. Aku memperhatikannya dari atas hingga ke bawah. Insting pria akan selalu tajam. Jika melihat wanita dengan kemulusan yang sempurna. “Baik, saya permisi dulu,” pamitnya padaku. Dia meninggalkan aku yang masih duduk di dekat meja kasir. 'Lumayan bening juga', batinku. Aku memandangi beberapa pasang sepatu, dari tempatnya duduk. Ada sebuah sepatu yang membuatku tertarik. Aku pun berdiri dan melihat sepatu itu. Aku membolak-balikkan sepatu itu. Melihat model dan juga bahannya. “Kamu suka?” tanya Fito, membuat aku kaget, dan hampir melemparkan sepatu itu ke arahnya. “Iya, bagus, jangan ngagetin dong!” ucapku. Aku meletakkan kembali sepatu yang tadi sedang aku lihatnya. “Hahaha, masa gitu aja sudah kaget,” jawab Fito. Dia tertawa dengan keras. Membuat beberapa karyawan mengintip ke arah kami. Aku hany tersenyum ke arah mereka. “Yee, lagi fokus juga kok,” ucapku. Aku memang selalu merasa begitu kaget, jika ada suara yang tiba-tiba muncul saat aku sedang fokuus pada sesuatu. “Kalau suka ambil saja, potong gaji ya, hahaha,” ucap Fito sambil tertawa. Aku tidak bisa percaya begitu saja padanya. “Ealah, ku kira dibayarin, ternyata potong gaji. Enggak deh, mendingan aku enggak beli sepatu, dari pada gajiku dipotong separuh tiap bulan.” Aku dengan sengaja menyindirnya. Aku bahkan tidak ingin membayangkan gajiku berkurang begitu banyak. Hanya karena sebuah sepatu. “Hahaha, diskon lima puluh persen deh,” ucap Fito. Dia tergelak mendengar ucapanku. Seakan dia bisa membaca pikiranku. “Seriusan?” tanyaku mastikan. Fito mengangguk, aku menguarkan ponselnya. Lalu membuka aplikasi kamera. “Ucapkan lagi, kalimat yang barusan kamu katakan.” Aku menyuruhnya melakukannya. Kemudian aku memencet tombol rekam video. Mengarahkan kamera tepat ke wajah Fito, agar wajah Fito bisa terekam dengan jelas. “Sepatunya aku diskon lima puluh persen, potong gaji selama lima bulan, sudah cukup?” ucap Fito. Dia menggelengkan kepalanya. Dia tidak menyangka, kalau aku sampai terpikir untuk membuat video dirinya mengucapkan hal konyol itu. Aku terkekeh pelan. “Sip, sudah dapat rekaman. Kamu tidak bisa berkilah nanti!” ucapku. Kemudian aku memberikan sepatu ke kasir, dan dibayar oleh Fito.   Kami keluar toko, Fito mengajakku ke lantai atas. Mencari camilan katanya. Tanpa sengaja Fito menabrak seorang cewek. “Maaf, enggak sengaja,” ucapnya. Dia mengatakannya dengan tulus, aku bisa mengetahuinya. Karena, dia bukanlah Bos yang semena-mena. Walaupun dia kaya raya, dia selalu merendah. Bahkan, dia mau berteman denganku. Si karyawan rendahan di kantornya. Saat cewek itu menoleh, baru aku menyadari, bahwa cewek itu adalah Dinda. “Enggak apa-apa kok, maaf juga ya, aku enggak lihat kamu tadi.” Dinda juga meminta maaf pada Fito. “Loh Dinda?” ucapku memastikan. Aku memandangnya dengan lekat. Walaupun aku sudah yakin itu memang dia. “Eh Pio,” jawabnya. Dia tersenyum padaku. Sangat manis, membuatku merasa meleleh. “Kalian saling kenal?” tanya Fito. Dia mengarahkan jarinya padaku dan Dinda. Aku mengangguk, “Dia pacarnya Jefri,” jawabku. Tentu dengan nada serendah mungkin, aku tidak suka mengucapkannya.   “Ah, pacarnya Jefri.” Fito mengucapkannya dengan mengangguk-anggukan kepalanya. “Iya,” jawab Dinda. Dia masih saja tersenyum dengan begitu manis. “Yo, kamu mau kemana? Bisa temani aku sebentar?” tanya Dinda padaku. Aku melihat ke arah Fito. Dia mengangguk tanda setuju. “Lanjut saja Yo, nanti kabari saja kalau sudah selesai,” ucapnya. Kemudian dia berlalu pergi.   “Ada apa Din?” tanyaku. Aku membuat senyum terindahku mengembang di bibiku. “Temani aku beli buku dong, enggak enak kalau sendirian,” jawabnya. Dia sedikit menggelayuti lenganku. “Loh, Jefri kemana?” tanyaku padanya. Hal seperti ini, biasanya selalu dilakukan dengan pacar. Benar bukan? “Sibuk katanya, enggak tahu dia kemana,” jawabnya dengan wajah kesal. Dia melipat kedua tangannya di depan d**a. “Ya sudah, ayo aku temani,” ucapku. Aku lansung menarik tangannya. “Makasih ya Pio, kamu baik deh!” ucapnya. Dia juga membalas genggaman tanganku. Apa ini pertanda kalau, ah tidak mungkin! Sadarlah Pio! Tanpa bicara lagi, Dinda berjalan dengan tetap menggandeng tanganku. Aku merasa senang dibuatnya. Entah itu sengaja atau karena kebiasaan, yang penting aku menikmatinya. Kapan lagi bisa berduaan dengan Dinda. Sang pujaan hatiku. Kami berjalan beriringan, layaknya sepasang kekasih. Hatiku begitu berbunga-bunga. Tidak pernah aku merasa sebahagia ini sebelumnya. Kami sampai di sebuah toko buku ternama. Dinda langsung melepas gandengannya dan menuju rak buku yang dia inginkan. Dia melihat satu per satu buku di rak itu. Hingga akhirnya dia menemukan buku yang dia cari. Aku hanya mengamatinya dari jauh. Mengagumi dirinya, tanpa bisa memiliki. “Ketemu,” pekiknya. Kemudian aku berjalan menghampirinya. “Mana?” tanyaku. “Ini,” ucapnya. Dia menunjukan sebuah n****+ romance. Aku tidak ingat apa judulnya. Karena, yang aku ingat hanyalah dia. Kecantikannya, senyum manisnya, juga cara biacaranya. Semuanya sempurna, hanya saja kesempurnaan itu tidak bisa aku miliki. Seandainya saja, dia menjadi milikku. “Ada lagi yang mau dibeli?” tanyaku padanya. “Ada, aku cari lagi ya. Jangan kemana-kemana! Jangan tinggalin aku!” ucapnya, sebelum dia pergi mencari buku yang dia cari. Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Kemudian aku mengikuti langkah kecilnya. Sekarang dia beralih ke rak cerita horor. “Kamu suka cerita horor?” tanyaku padanya. Aku mengambil sebuah n****+ secara asal. Melihatnya dan membaca sinopsis di belakang bukunya. “Iya,” jawabnya sambil mengangguk. Aku melihatnya dengan ekor mataku. Mencuri pandang kecantikannya yang sungguh sempurna. Para karyawan toko sepatu tadi, tidak ada apa-apanya dengannya. “Kalau kamu, sukanya cerita tentang apa?” lanjutnya. Aku meletakkan kembali n****+ yang tadi kulihat. “Aku? Aku sih sukanya cerita tentang kamu dan aku,” jawabku sekenanya. Aku bukan tipe orang yang suka membaca n****+. Main play station lebih menyenangkan dari pada membaca buku buatku. “Kamu ini ada-ada saja.” ucapnya. Aku melihatnya tersipu. “Kamu kenal sama Jefri dimana Din?” tanyaku padanya. Aku sangat penasaran dengan hubungan mereka. “Dimana ya? Kalau enggak salah, aku pernah ketemu dia di kampusku deh,” jawabnya. “Lah kok enggak ingat? Kok tiba-tiba pacaran?” tanyaku memburunya. Kemudian aku merutuki diriku sendiri. Kenapa aku harus menanyakan sebanyak itu. Aku menepuk kepalaku pelan. “Hahaha, kok kamu kepo?” ucapnya sambil tertawa. “Ya kepolah, kok bisa cewek secantik kamu, kepincutnya sama Jefri,” ucapku. “Terus, harusnya aku kepincut sama siapa dong? Kamu?” tanyanya, dia tergelak setelah mengucapkannya. Iya Din, harusnya kamu kepincut sama aku bukan dia, jawabku dalam hati. “By the way, aku sudah anggap kamu seperti temanku sendiri. Seperti kamu dengan Jefri.” Dia menjawab itu dengan memandang deretan n****+.   Aku merasa sudah kalah sebelum berperang. Rasanya hatiku tertohok, tertinju, terpukul, terhantam, pokoknya sakit sekali. Tapi, aku tetap berusaha tersenyum padanya. Aku juga sedang memikirkan, harus menjawab apa lagi padanya. “Iya, aku tahu kok,” jawabku. Akhirnya, hanya itu saja yang keluar dari mulutku. “Oh iya, besok di kampusku ada bazar. Kalau kamu senggang, datang ya?” pintanya. Rasanya tidak enak kalau menolaknya. “Iya, aku usahakan. Sekalian nanti aku bilang ke Jefri,” jawabku padanya. Mencoba memberikan jawaban terbaik yang aku bisa. “Alah, palingan dia enggak bisa. Selalu sibuk, heran deh. Apa dia punya pacar lain ya?” tanyanya padaku. Aku merasa sedang diinterogasi sekarang. Aku bingung harus menjawab seperti apa. Seperti sedang makan buah simalakama ini. Jujur, kena semprot Jefri, enggak jujur, kasihan Dindanya. “Yo! Kok bengong sih?” ucapnya sambil menepuk pundakku. “Ah iya, enggak kok Din. Setahuku ya cuma kamu pacarnya. Kok kamu tiba-tiba nanya gitu, Kenapa?” aku balik bertanya padanya. Mencoba mencari jawaban, apakah dia memang benar-benar tahu. Atau hanya curiga. “Soalnya dia jarang banget ada waktu buat aku, kan aku jadi males lama-lama digituin,” ucap Dinda. Rasa kesal jelas terpampang di wajahnya. “Enggak kok, kamu jangan terlalu mikir soal itu. Jalani sajalah, kalau enggak nyaman, ya jangan dilanjut. Hubungan kan untuk dua orang. Kalau salah satu berjuang, sementara yang satu lagi enggak. Ya, buat apa?” ucapku dengan sebijak mungkin. Aku berharap dia tidak menangkap maksudku yang sebenarnya. Kalau aku berharap, mereka putus dengan segera. “Entahlah. Ngomong-ngomong, kamu beneran enggak punya pacar?” tanyanya. “Iya, kenapa?” jawabku. Aku memandang dia dengan tatapan serius. “Ah masa sih? Ku kira Jefri cuma bohongan waktu itu.” “Beneran kok, kalau kamu mau jadi pacarku, lain lagi sih ceritanya,” jawabku sedikit menyinggungnya. Tapi dia malah tertawa terbahak-bahak. “Kamu ini aneh Yo, kok ngajak pacaran sama pacarnya temanmu sih?” jawabnya. Dia masih tertawa saat mengucapkan ittu. “Kan katamu enggak nyaman, kalau kamu nyaman sama aku, aku enggak nolak kok, hehehe,” jawabku. “Aku bilangin Jefri nih, hahaha.” Dia malah mengancamku. Mampus sudah kalau benar dia akan mengataknnya pada Jefri. “Bilangin saja, palingan dia cuma bakal ngomel kalau aku sudah godain kamu. Bukunya sudah ketemu?” ucapku mengalihkan perhatiannya. “Sudah kok, ayo balik. Yo, aku minta nomer hapemu dong,” pintanya. Akhirnya kesempatan emas itu datang juga kepadaku. Tanpa banyak bicara, aku langsung memberikan hapeku padanya. “Ketik saja nomermu, nanti aku simpan,” ucapku. Dia meraih hapeku, lalu mengetik nomer hapenya. Kemudian dia menyimpannya dengan nama 'Dinda cantik'. Aku tergelak melihatnya. Dia juga tertawa. “Jangan di ganti!” ucapnya padaku. “Kalau Jefri lihat gimana?” godaku padanya. “Hahaha, bilang saja kalau aku yang nyimpen. Beres.” Dia menjawabnya dengan sangat ringan. Seperti tidak merasa bersalah sama sekali. “Iya deh, pokoknya kamu yang tanggung jawab ya?” godaku padanya. “Iya, aku yang tanggung semua resikonya.” Jawabnya. Kami menuju meja kasir. Dinda meletakkan kedua n****+ yang tadi dia ambil. “Aku yang bayar ya?” aku menawarkan diri padanya. “Enggak usah, aku bayar sendiri saja. Kapan-kapan kalau kamu mau belikan aku, aku pasti terima,” dia menolaknya dengan hati-hati. Aku tahu, dia tidak ingin menyinggunggku karena penolakannya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN