Jessie tiba di depan rumahnya, tubuhnya limbung dan nyeri di bekas operasinya semakin terasa. Meski sakit, ia terus mengetuk pintu dengan keras, tak peduli meski tangannya mulai terasa sakit.
"Harry, buka pintunya! Tolong kembalikan anakku!" Jessie berteriak dengan suara serak dan pecah, mengabaikan rasa sakit demi putranya yang baru ia lahirkan.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka dengan kasar. Di balik pintu, berdiri Harry dengan tatapan dingin yang tak bersahabat.
"Untuk apa kau ke sini lagi?" tanyanya dengan nada jengkel yang penuh kebencian, seolah kehadiran Jessie hanya mengganggunya.
Jessie tak menggubris tatapan dingin itu. Ia langsung mendorong suaminya dan menerobos masuk, matanya mencari-cari setiap sudut rumah, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan bayinya.
"Di mana anakku, cepat katakan!" Jessie mendesak, napasnya tersengal-sengal antara rasa takut dan marah.
Harry hanya tertawa kecil, senyum sinis tersungging di bibirnya. “Itu anakku, Jessie. Sudah aku serahkan kepada orang lain untuk merawatnya. Kau tidak akan bisa bertemu dengannya lagi,” ucapnya tanpa perasaan, suaranya dingin seperti es.
Jessie menatap Harry dengan mata penuh amarah dan keputusasaan. “Harry, aku tidak peduli kalau kau ingin berselingkuh. Tapi kembalikan putraku! Dia butuh aku!” desaknya, air mata mulai menggenang di matanya.
Harry meliriknya sejenak, lalu berkata dengan kejam, “Putramu? Jangan lupa, Jessie, aku ayahnya. Kau hanya mesin untuk melahirkan anak ini. Lina akan menjadi ibunya, dan kau hanyalah orang luar.”Kata-kata itu menghantam hati Jessie dengan keras. Dalam keputusasaan, ia mengangkat tangannya dan menampar wajah Harry dengan penuh tenaga.“Plak!”
Harry tertegun, tak percaya Jessie berani menamparnya.
Dengan napas tersengal, Jessie berteriak, “Aku mempertaruhkan nyawaku demi anakku, Harry! Aku berjuang mati-matian untuk melahirkannya. Dia baru dua hari dan masih butuh s**u ibunya! Kau malah merebutnya dariku. Kembalikan putraku!”
Mendengar teriakan Jessie, Harry yang tersinggung langsung menamparnya kembali, kali ini lebih keras hingga Jessie terjatuh. Tubuhnya terhempas ke lantai, menahan sakit yang semakin mendera di bekas operasinya. Rasa nyeri itu membuatnya meringis, sementara darah mulai merembes dari bajunya.
Harry memandangnya dengan dingin, tanpa sedikit pun rasa iba. “Wanita busuk, kau tidak akan pernah bisa bertemu dengannya lagi. Aku akan membuat anakku percaya bahwa ibunya telah menelantarkannya. Ketika dia dewasa, hanya aku dan Lina yang akan dikenalnya sebagai orang tua yang baik.”
Jessie mencoba bangkit meski rasa sakit semakin menjadi. Matanya masih penuh tekad, meski tubuhnya lemah. Namun, Harry tidak peduli. Ia memanggil dua pria berbadan kekar yang menunggu di depan rumah.
“Kalian masuk dan bawa dia pergi ke tempat lain. Wanita ini hanya tumpukan sampah!” perintah Harry tanpa rasa bersalah.
Jessie memejamkan mata sesaat, menahan sakit dan air mata yang siap jatuh. Meski tubuhnya diseret keluar, tekadnya untuk bertemu anaknya tak akan pernah padam.
"Kau adalah iblis, dan akan terima akibatnya...," jerit Jessie yang sedang diseret hingga masuk ke mobil.
Beberapa saat kemudian.
Jessie semakin panik saat menyadari bahwa mereka tidak berhenti di tempat yang aman. Malam semakin larut, dan jalan yang mereka lalui semakin sunyi dan terpencil. Pemandangan sekitar berubah menjadi hutan gelap tanpa tanda-tanda kehidupan. Jessie memutar otaknya, mencari cara untuk melarikan diri, namun tubuhnya terlalu lemah dan ketakutannya terlalu besar.
"Turunkan aku, tolong aku! Anakku dibawa pergi!" tangisan Jessie sambil memohon pada mereka. Dalam hatinya ia lebih mencemaskan putranya dibandingkan dirinya sendiri.
Ketika mobil akhirnya berhenti, Kedua pria itu keluar dan membuka pintu belakang. Mereka menarik Jessie keluar dengan paksa. Jessie terhuyung-huyung, hampir jatuh ke tanah. Pandangannya kabur oleh air mata, tetapi ia tahu apa yang akan terjadi jika ia tidak berbuat sesuatu."Tolong... tolong jangan lakukan ini...," Jessie meratap dengan suara gemetar. "Aku mohon... demi anakku, biarkan aku pergi."
Namun, mereka tetap tidak menunjukkan belas kasihan. Mereka menyeret Jessie lebih dekat ke tepi jurang, memperlakukannya seperti beban yang harus segera disingkirkan.
"Kalian juga memiliki anak perempuan dan adik perempuan, bagaimana perasaan kalian bila mereka di posisiku. Selain itu, anakku baru dilahirkan, Dia butuh aku. Tolong jangan membunuhku. Aku mohon pada kalian dan tidak akan muncul lagi di hadapan kalian!" pinta Jessie sambil menangis dan memohon.
"Ini adalah perintah Tuan, kami tidak bisa membantah. Hidup matimu tergantung nasibmu," kata salah satu pria itu dengan nada datar.
Jessie memandang jurang yang menganga di depannya dengan mata yang penuh ketakutan. Kakinya terasa lemas, dan napasnya semakin berat.
"Aku mohon, tolong jangan lakukan ini!" Jessie meratap dengan sisa tenaganya. Namun, permohonannya hanya bergema di antara dinding-dinding jurang yang sunyi.
Tanpa ragu, kedua pria itu langsung mendorong Jessie ke tepi jurang. Jessie merasakan dunia di sekelilingnya seolah melambat. Ia menjerit, suaranya pecah di udara malam yang dingin, "Aahhh!"
Tubuhnya melayang sejenak di udara sebelum akhirnya jatuh dengan cepat, tenggelam dalam kegelapan yang menakutkan. Jessie hanya bisa merasakan dinginnya angin yang menerpa wajahnya sebelum ia merasakan tubuhnya menghantam air sungai yang deras dengan keras.
Air yang dingin dan ganas langsung menyelimuti tubuhnya. Jessie berusaha menggapai permukaan, namun arus yang kuat menariknya ke bawah, membuatnya terombang-ambing tanpa daya. Dalam kekacauan itu, pikirannya hanya tertuju pada bayinya yang belum sempat ia lihat.
***
Di sisi lain, di sebuah kamar bayi yang sunyi, tangisan putra Jessie terdengar semakin keras. Bayi mungil itu menggeliat gelisah di dalam boksnya, seolah merasakan derita ibunya yang jauh dari jangkauannya. Wajah bulatnya yang merah tampak berlinangan air mata, suara tangisannya memecah keheningan kamar.
Seorang pengasuh berusaha menenangkannya, menggendong dengan lembut sambil membisikkan kata-kata pelan. Namun, bayi itu terus menangis, tak terhibur oleh apa pun.
"Diam, bising sekali. Bagaimana aku bisa tidur kalau seperti ini?" Tiba-tiba terdengar suara tajam yang penuh kekesalan. Lina masuk ke kamar bayi itu dengan ekspresi masam, mata memandang tajam ke arah bayi yang menangis tanpa henti.
"Nona..." Pengasuh itu bergumam, tampak ragu dan cemas melihat Lina yang mendekat dengan wajah marah.
Namun, Lina tidak menggubrisnya. Dengan kasar, ia mengulurkan tangannya dan mencubit lengan kecil bayi itu dengan kuat. Tangisan bayi semakin kencang, menggema dalam nada pilu yang menusuk hati. Rasa sakit itu membuatnya menangis semakin keras, seolah-olah ia tahu bahwa ibunya, Jessie, sedang berjuang untuknya.
Malam itu, tak ada satu pun yang bisa membuat bayi itu terdiam. Tangisan menyayatnya terus terdengar, memenuhi seluruh ruangan. Di sisi lain, tidak ada yang bagaimana dengan nasib Jessie, yang terluka dan terpisah jauh dari putranya, ia dibuang begitu saja dan dibawa arus sungai yang deras membuat dirinya sulit untuk menyelamatkan dirinya!