Pagi mulai tiba, dan cahaya matahari yang redup menyinari langit. Angin kencang bertiup dari segala arah, membuat daun-daun dari pohon tinggi di sepanjang jalan berjatuhan, terombang-ambing oleh angin. Di tengah suasana itu, Jessie berusaha merangkak, tubuhnya lemah dan tak berdaya. Tubuhnya basah kuyup, wajahnya tampak letih dan penuh luka, sementara lengan serta kakinya memar akibat terseret arus sungai.
"Anakku... Anakku..." gumam Jessie lemah, suaranya serak dan terputus-putus. "Aku harus hidup... Aku harus bertahan... Demi anakku!" Dengan segenap tekad, ia mencoba bangkit, mengabaikan rasa sakit yang terasa di bekas jahitannya, meski setiap langkah membuatnya meringis kesakitan. Wajahnya sangat pucat, rambutnya berantakan, dan pandangannya mulai kabur, tetapi tekad untuk bertahan membara di hatinya.
Di kejauhan, sebuah mobil melaju di sepanjang jalan. Sang sopir tiba-tiba menginjak rem dengan keras ketika melihat sosok wanita yang berjalan tertatih-tatih di tengah jalan.
"Tuan, ada seseorang di sana," lapornya dengan nada panik, menoleh ke belakang.
Pria yang duduk di kursi belakang, Roy Fernando, menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam. Matanya menyipit ketika melihat sosok wanita itu yang basah kuyup dan berjalan tertatih di tengah jalan. Ekspresinya dingin dan penuh perhitungan.
"Suruh dia minggir. Jangan menghalangi jalan kita," perintah Roy tanpa menunjukkan sedikit pun rasa kasihan.
"Baik, Tuan," jawab sopirnya sebelum keluar dari mobil, mendekati Jessie.
Namun, baru saja ia hendak mendekati Jessie, wanita itu tiba-tiba tumbang ke aspal, tak berdaya. Sopir itu segera berlutut di sampingnya, mencoba mengguncang tubuh Jessie yang lemah.
"Nona, Nona! Bagaimana denganmu?" tanyanya cemas, menatap wanita yang terkapar tak sadarkan diri. Jessie hanya mampu membuka mata sedikit, suaranya nyaris tak terdengar.
"Tolong… anakku! Bawa aku... menemuinya!" bisiknya lirih sebelum akhirnya pingsan di tangan sang sopir.
---
Tiga jam kemudian.
Di sebuah rumah sakit, dokter yang baru saja selesai memeriksa Jessie menghadap Roy dan sopirnya dengan wajah serius. "Kondisinya sangat lemah, bekas jahitannya terbuka. Pasien baru menjalani operasi caesar dan kesehatannya sangat buruk. Beruntung kali ini dia berhasil melewati masa kritisnya," kata dokter itu sambil menatap Roy dengan pandangan tegas.
Roy mendekati tempat tidur Jessie yang terbaring lemah, wajahnya masih pucat dan tampak terlelap dalam ketidaksadaran. Ada sorot dingin di mata Roy, tetapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit diuraikan.
Sopirnya, Andy, mendekat dengan raut wajah bingung. "Tuan, tidak ada yang tahu siapa keluarga wanita ini," katanya pelan, memandang ke arah Jessie.
Roy diam sejenak sebelum akhirnya memberi perintah singkat, "Andy, bayar semua biaya dan kebutuhannya. Namanya adalah Jessie Olivia. Selidiki apa yang sudah terjadi padanya. Malam ini juga aku ingin tahu kejadian yang menimpanya!"
Andy mengernyit bingung mendengar nama itu. "Jessie Olivia? Apakah Anda mengenalnya, Tuan?" tanyanya penasaran.
Roy menatap Andy dengan sorot dingin. "Lakukan saja perintahku!" jawabnya tanpa basa-basi.
"Bukan saja mengenalnya," batin Roy, menahan perasaannya yang berkecamuk, "Aku bahkan mengenalnya lebih baik daripada siapa pun."
***
Di sebuah penthouse megah, tangisan keras Felix, putra Roy, terdengar memecah keheningan. Bocah kecil berusia tiga tahun, wajahnya yang penuh air mata menyiratkan ketakutan yang begitu dalam. Di depannya, berdiri Zoanna, sang ibu, dengan wajah kesal dan penuh amarah.
"Diam! Untuk apa kau menangis terus, dasar tidak berguna!" bentak Zoanna dengan suara dingin, membuat bocah itu semakin ketakutan. Dengan kasar, ia mendorong Felix hingga terjatuh dan terkapar di lantai kamar. "Setelah aku melahirkanmu, aku selalu disalahkan oleh papamu. Apa kau tahu itu?" katanya dengan nada penuh frustrasi.
Felix, yang duduk di lantai dengan tubuh gemetar, hanya bisa memandang ibunya dengan air mata bercucuran. "Mama... Mama..." isaknya, memohon belas kasihan yang tak kunjung datang.
Namun, Zoanna hanya menatapnya dengan ekspresi dingin, tanpa sedikit pun rasa iba. "Tidak berguna. Seharusnya aku tidak melahirkanmu!" teriaknya lagi, suaranya penuh kemarahan yang meledak-ledak. Ia melemparkan bantal ke arah Felix tanpa peduli pada tangisan anaknya.
Pada saat itu, pintu kamar terbuka, dan Roy masuk ke dalam dengan ekspresi murka. Melihat apa yang terjadi, ia segera menarik lengan Zoanna menjauh dari Felix dengan kasar. "Keluar dari kamar ini sekarang!" katanya tegas, suaranya menggema di ruangan.
"Lepaskan tanganmu!" Zoanna berteriak, berusaha melepaskan diri dari genggamannya.
"Wanita gila! Kalau Felix ada apa-apa, aku tidak akan melepaskanmu!" Roy mengecamnya dengan nada dingin yang penuh ancaman sebelum menutup pintu dengan keras.
Setelah Zoanna pergi, Felix masih terduduk di lantai, tubuh kecilnya bergetar karena ketakutan. Mendengar pintu tertutup, ia mendongak, dan saat melihat ayahnya di sana, ia mengulurkan kedua tangannya, mencari perlindungan.
Roy segera menghampiri dan mengangkatnya ke dalam pelukan yang penuh kehangatan. "Sayang, jangan takut. Papa ada di sini," bujuknya dengan lembut, berusaha menenangkan putranya yang masih menangis histeris.
"Papa, aku takut mama!" isak Felix, tangisannya menggema di seluruh kamar, menunjukkan betapa dalam rasa takutnya.
Roy memeluknya erat, membelai punggungnya dengan lembut. "Maafkan Papa, karena meninggalkanmu sendirian di rumah," bisiknya penuh penyesalan.
"Aku tidak mau di rumah," ucap Felix lirih, memeluk leher ayahnya dengan erat.
"Papa janji, kamu tidak akan sendirian lagi," katanya pelan, menenangkan putranya sambil memeluknya lebih erat.
***
Jessie yang baru sadar ia membuka matanya dan menatap langit-langit kamar dengan pandangan nanar, pikirannya langsung dipenuhi kekhawatiran tentang putranya. "Anakku... Anakku!" bisiknya pelan, dan tanpa pikir panjang, ia mencoba bangkit dari ranjang, meskipun rasa sakit akibat luka operasinya masih terasa menyengat.
"Sudah sadar rupanya," terdengar suara berat dari ujung ruangan. Roy duduk di sofa di dekat ranjang, menatapnya dengan ekspresi datar namun penuh perhatian.
Jessie menoleh, sedikit terkejut melihat sosok pria asing di kamarnya. "Siapa Anda?" tanyanya bingung, mengerutkan alis.
"Aku yang membawamu ke rumah sakit. Kondisimu cukup parah, terutama setelah melahirkan. Kenapa kau berada di tempat itu? Apa kau berniat bunuh diri?" Roy bertanya.
Jessie hanya menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan kesedihannya. "Terima kasih… karena telah menyelamatkan nyawaku," katanya lemah. Meski tubuhnya masih lemah, ia berusaha turun dari ranjang, rasa cemasnya pada putranya mengalahkan rasa sakit yang mendera.
Roy menatapnya dengan alis terangkat. "Dalam kondisi seperti ini, kau masih memikirkan untuk mencari anakmu?" tanyanya.
Jessie berhenti bergerak, pandangannya beralih ke wajah pria di depannya. "Bagaimana kau bisa tahu…?" tanyanya pelan, seolah tak menyangka pria asing itu mengetahui pikirannya.
"Anakmu… kau terus menyebut-nyebutnya, bahkan dalam keadaan tidak sadar," jawab Roy seraya bangkit dari sofa. Ia mendekat, menatap Jessie dengan pandangan serius. "Aku akan membantumu menemukan putramu. Tapi dengan satu syarat."
Jessie menatapnya dengan sorot mata penuh harap sekaligus waspada. "Syarat apa?" tanyanya, hatinya berdebar keras menunggu jawabannya.
"Jadi simpananku," ucap Roy dengan suara rendah namun tegas.
Mata Jessie membelalak lebar, napasnya tertahan mendengar permintaan pria itu. Ia merasa seolah terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai. Sosok pria asing yang menyelamatkannya kini mengajukan permintaan yang membuatnya hampir tak percaya. "Kenapa… kenapa kau ingin aku menjadi simpananmu?" tanyanya, suaranya bergetar antara ketakutan dan ketidakpercayaan.
Roy hanya menatapnya tajam, bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. "Itu harga yang harus kau bayar jika ingin mendapatkan anakmu kembali. Pertimbangkan baik-baik, Jessie Olivia. Aku bisa memberimu kekuatan yang selama ini kau tak punya," katanya, sebelum berbalik meninggalkan kamar, memberikan Jessie waktu untuk memikirkan tawarannya yang mengguncang perasaannya.