Sementara itu, di dalam rumah, Jessie mengalami siksaan yang tak terbayangkan. Harry menyeretnya dengan kasar, dan sebelum Jessie sempat memulihkan keseimbangan, ia mendapat tamparan yang bertubi-tubi dari suaminya itu.
"Plak! Plak!" Suara tamparan bergema di ruang tamu, menyakitkan dan brutal. Jessie terjatuh, terkapar di lantai dengan tubuh yang lemah. Namun, semangat dan tekadnya untuk mempertahankan anaknya tetap kuat.
"Berani sekali kau merebut Jerry dariku! Lina yang akan menjadi ibunya. Kau tidak layak sama sekali!" bentak Harry dengan sorot mata penuh kebencian dan penghinaan.
Jessie, meskipun wajahnya memerah dan berdenyut sakit akibat tamparan tersebut, berusaha bangkit perlahan. Tatapannya penuh dengan kemarahan yang telah lama terpendam. Dengan napas terengah, ia menatap Harry dengan mata yang tajam dan penuh kebencian.
"Lina? Wanita j4lang itu sama sekali tidak pantas menjadi ibu anakku!" seru Jessie dengan suara yang bergetar, antara amarah dan rasa sakit. "Anak itu adalah darah dagingku. Aku yang mengandungnya selama sembilan bulan, aku yang berjuang mati-matian di ranjang persalinan untuk melahirkannya. Jangan harap kalian bisa memisahkan kami berdua!"
Harry menatap Jessie dengan senyum sinis, "Jessie Olivia, kau benar-benar berpikir bisa merawatnya? Kau tak punya apa-apa untuk memberinya kehidupan yang layak," ejeknya dingin, tak sedikit pun belas kasih di matanya. "Aku akan menuntutmu atas tuduhan menyembunyikan anakku. Dari segi keuangan, kau sama sekali bukan tandinganku. Kalau kasus ini sampai ke pengadilan, hak asuh tetap akan jatuh ke tanganku," lanjutnya.
"Kau sudah salah besar! Bayi yang kau larikan itu baru berusia beberapa hari, dia membutuhkan aku. Hanya aku yang bisa menyusuinya!" balas Jessie, suaranya penuh kemarahan sekaligus kepedihan.
Harry menatapnya dengan pandangan meremehkan, lalu mendengus sinis. "Jessie Olivia, hentikan sandiwara ini! Cepat serahkan Jerry padaku!" bentaknya, suaranya menggema dalam ruangan yang sunyi.
Jessie menggeleng, matanya memerah menahan air mata dan frustrasi yang semakin memuncak. "Kau yang membawanya pergi! Kenapa malah memintaku menyerahkan dia padamu? Apa kau tahu ke mana j4lang itu membawanya? Apakah Lina melakukan sesuatu yang membahayakan Jerry?" tanyanya dengan suara bergetar, penuh kecemasan.
Harry menghela napas kasar, lalu menjawab dengan nada kesal. "Lina sangat sayang pada Jerry! Dia tidak akan melakukan hal bodoh. Kau yang terlalu prasangka buruk karena cemburu" sahutnya dengan nada dingin.
"Tidak… aku tidak percaya padamu. Di mana Lina? Beritahu aku! Aku yakin dia tahu di mana anakku berada!" tanya Jessie, suaranya terdengar putus asa, namun penuh ketegasan.
Harry yang merasa kesal dengan sikap Jessie, segera mendorongnya kasar hingga tubuh Jessie terjatuh ke lantai, terhuyung dalam kondisinya yang masih lemah. Jessie tersungkur, namun tetap berusaha menahan rasa sakit sambil menatap Harry dengan tatapan terluka.
"Malam ini juga, serahkan Jerry padaku!" ancam Harry dengan suara dingin dan penuh kecaman. "Kalau tidak, aku yang akan membuangmu. Jangan berharap ada belas kasihan dariku," lanjutnya, memandang Jessie dengan sorot mata dingin yang tak menunjukkan sedikit pun rasa peduli.
Jessie terdiam sesaat, menatap wajah dingin Harry yang membuat hatinya semakin berkecamuk. Kengerian mulai menjalar di hatinya, namun ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menemukan anaknya. Dengan suara bergetar dan penuh harap, ia berkata, "Harry, ini tentang anak kita. Aku tahu kau membenciku. Tapi kita harus tahu di mana anak kita. Cepat beritahu aku, di saat aku melahirkan, kau membawanya ke mana?"
Harry menghela napas pendek, seolah-olah enggan meladeni pertanyaan itu. "Aku serahkan kepada calon istriku, dan ada pengasuh yang merawatnya," jawabnya tanpa sedikit pun nada penyesalan.
Jessie terkejut mendengar pengakuannya. “Apakah Lina yang mengatakan anak kita hilang di apartemen?” tanyanya cemas, namun Harry hanya memandangnya dengan penuh kecurigaan.
"Masih berpura-pura? Cukup sudah. Jangan mencuci otakku agar aku percaya padamu," kata Harry tajam, seakan tak sudi menatap wajah Jessie lebih lama.
Jessie merasa air matanya mulai menggenang, tapi ia berusaha untuk tegar. “Aku tidak tahu di mana anak kita. Mana mungkin aku yang membawanya pergi? Cepat tanya Lina di mana dia membuang anak kita! Aku mohon padamu, Harry. Anak kita baru beberapa hari, dia akan kedinginan dan kelaparan kalau di luar. Tolong aku!” Penuh rasa putus asa, Jessie memohon, suaranya hampir tercekik oleh tangis.
Namun Harry tidak bergeming. “Cukup!” bentaknya. “Aku tahu kau sengaja ingin memisahkan aku dari Lina, menghasutku agar aku percaya padamu. Di dunia ini aku hanya percaya pada Lina.”
Jessie menatapnya penuh rasa sakit, tidak percaya bahwa Harry lebih mempercayai wanita lain dibandingkan dirinya, ibu dari anak mereka. “Aku adalah ibunya. Kalau anakku bersamaku, mana mungkin aku datang ke sini? Kau yang membuangku ke jurang. Selama ini aku di rumah sakit. Aku mana mungkin bisa tahu tempat tinggal anak kita,” jelas Jessie, suaranya semakin lirih, namun tetap berusaha keras menyampaikan kebenaran.
Harry menatap Jessie dengan kemarahan membara. “Jessie Olivia, seharusnya kau mati saja. Selagi kau tidak mati, maka hidup kami bertiga tidak akan tenang!” bentaknya, sebelum berbalik dan berjalan menuju kamarnya, mengabaikan Jessie sepenuhnya.
Namun Jessie tidak mau menyerah. Dengan tangan terkepal, ia berkata dengan suara penuh amarah dan keteguhan, “Aku tanya padamu sekali lagi. Di mana anakku?”
Harry berhenti di ambang pintu, berbalik dan membalas dengan tajam. “Tidak tahu! Kau yang menculiknya dan sekarang kau malah berakting di depanku!”
Mata Jessie menatapnya lekat, penuh luka yang sulit ia sembunyikan. “Lina… dia ada di mana? Aku hanya ingin tahu apa yang dia lakukan pada anakku,” desaknya.
Harry mendengus, sinis dan meremehkan. “Jangan bercanda lagi. Aku tahu kau cemburu karena aku mencintainya. Walau tanpa dia, aku juga tidak akan kembali padamu.”
Jessie menggigit bibirnya, menahan tangis yang mulai mengalir. Suaranya bergetar saat ia menantang, “Lina dan anak kita, siapa yang kau pilih? Kalau kau mencintai anakmu sendiri, seharusnya kau bertanya padanya!”
Harry hanya tertawa kecil, memandang Jessie dengan hinaan di matanya. “Wanita gila,” gumamnya dengan nada menghina, sinar dingin terpancar dari matanya.
Begitu Harry berbalik dan meninggalkan ruang tamu, Jessie berdiri di sana dalam keheningan, napasnya tersengal oleh amarah dan kekecewaan. Pandangannya beralih ke meja, di mana sebuah gunting tergeletak. Dengan gerakan perlahan namun mantap, Jessie mengambil gunting itu dan menyimpannya dalam saku jaketnya. Tanpa berkata-kata, ia mengencangkan genggamannya.