Dengan pandangan kosong dan tanpa sedikitpun keraguan, Lina keluar dari mobilnya, menggendong bayi itu dengan satu tangan. Bayi kecil yang tidak tahu apa-apa, menangis, suara tangisannya mengiris sepi malam yang pekat. Hawa dingin mulai menyelimuti, namun Lina tidak menggubris sama sekali. Dia mempercepat langkahnya, seolah ingin segera mengakhiri semua ini.
Ia menunduk sedikit, memandang wajah bayi itu untuk terakhir kalinya. Bayi itu masih menangis, kulitnya mulai memerah terkena angin malam yang menusuk. Lina menghela napas, tetapi tidak ada tanda-tanda penyesalan di wajahnya.
"Maafkan aku," bisiknya pelan, hampir tak terdengar, mungkin lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk bayi tersebut. Tanpa menunggu reaksi, dia segera meletakkan bayi itu di atas rumput kering di pinggir jalan. Bayi itu menggeliat, seolah mencari hangat dan kasih sayang, tetapi tidak ada yang memeluknya.
Air mata mulai mengalir dari sudut mata bayi itu, namun Lina hanya memandang sebentar, lalu dengan cepat kembali ke mobilnya. Hati kecilnya berbisik, betapa senangnya di saat ia membuang bayi tidak berdosa itu.
Di dalam mobil yang melaju kencang, Lina menggenggam kemudi dengan penuh kebencian, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Matanya menatap tajam ke depan, sementara kakinya menekan pedal gas semakin dalam. Ia tak mau memikirkan bayi yang baru saja ditinggalkannya. Bagi Lina, bayi itu hanya sebuah masalah yang lebih baik dijauhkan.
"Ingin aku merawat bayi Jessie Olivia? Jangan bermimpi!" katanya sinis, suaranya penuh dengan penghinaan. Dalam hitungan detik, deru mobilnya menjauh, meninggalkan keheningan yang mencekam di belakang.
Bayi malang itu, terbaring sendirian di jalanan yang sepi, tubuh mungilnya hanya dibalut selimut tipis yang tak cukup untuk menghalau dingin malam. Tak ada satu pun yang tahu nasib bayi itu di tengah kegelapan yang mencekam.
Di tempat lain, Jessie tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Nafasnya terengah-engah, keringat dingin mengalir di wajahnya. Tangannya bergetar, dadanya dipenuhi perasaan gelisah yang tak bisa ia jelaskan.
"Anakku... kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh? Apakah dia dalam bahaya?" gumamnya, matanya menerawang penuh kecemasan. Jessie memaksa tubuhnya yang masih lemah untuk bangkit dari ranjang. Ia cepat-cepat mengenakan baju panjang, lalu beranjak keluar dari kamar dengan langkah tergesa-gesa, hatinya dipenuhi tekad untuk menemukan putranya.
Begitu tiba di depan rumah, Jessie langsung mengetuk pintu dengan keras. Ia tidak peduli lagi dengan apa pun, hanya keinginan untuk mendapatkan anaknya kembali yang memenuhi pikirannya.
“Tuk… tuk…”
"Buka pintunya! Kembalikan anakku!" Jessie berteriak lantang, suaranya menggema dalam keheningan siang yang sunyi. Dengan tenaga yang tersisa, ia terus menggedor pintu.
Tak lama kemudian, pintu itu terbuka tiba-tiba, dan di sana berdiri Harry, suaminya, dengan wajah terkejut dan bingung. Raut keterkejutan di wajahnya berubah menjadi kebingungan campur ketakutan saat melihat Jessie berdiri di depannya.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanyanya dengan mata terbelalak, seolah tak percaya apa yang dilihatnya.
Jessie menatapnya dengan tajam, wajahnya penuh amarah yang telah tertahan. "Tentu saja kau sangat kecewa karena aku masih hidup, bukan? Bahkan jika aku mati, aku akan tetap menghantui hidupmu. Sekarang, di mana anakku?" sergah Jessie, dengan dorongan kuat yang membuat Harry sedikit tersentak ke belakang.
Harry menggeleng pelan, masih belum mampu mempercayai apa yang dilihatnya. "Kau... kau tidak mungkin masih hidup," ucapnya, suaranya hampir seperti bisikan, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
"Tuhan melindungiku, Dia membuatku tetap hidup agar aku bisa menemukan anakku. Jadi, serahkan dia sekarang juga!" Jessie berkata penuh keyakinan, matanya membara dengan tekad untuk mendapatkan anaknya kembali.
Harry mendengus, senyumnya sinis dan penuh ejekan. "Tidak perlu lagi kau datang mencarinya, Jessie, karena dia sudah hilang," ucapnya dengan nada datar, seolah itu hal yang biasa.
Jessie menatapnya dengan mata membelalak, perasaan panik mulai merayap dalam dadanya. "Hilang?" bisiknya tak percaya, namun segera nada suaranya berubah menjadi penuh kemarahan. "Jangan berbohong lagi, Harry! Cepat serahkan anakku!" bentaknya, emosinya yang tak terbendung meluap.
Harry menyipitkan mata, tatapannya berubah licik. "Kau masih hidup, Jessie… Apakah ini semua rencanamu? Menculik anakku dan kembali ke sini dengan berpura-pura seakan-akan kau tidak tahu apa-apa? Agar kau terlihat tak bersalah?" tuduhnya, suaranya menggertak penuh kebencian.
Jessie menatapnya tajam, rasa jijik dan benci memenuhi dirinya. "Apa kau sudah gila, Harry? Jangan mencari alasan untuk menutupi kebohonganmu! Serahkan anakku sekarang juga!" Jessie berkata dengan nada mengancam, suaranya bergetar penuh kemarahan. "Kalau sampai terjadi sesuatu pada anakku… aku bersumpah, aku akan membunuhmu!" ancamnya dengan tatapan penuh kebencian.
Tanpa peringatan, Harry mengayunkan tangannya dan menampar wajah Jessie dengan keras, membuatnya tersentak.
"Masih berani kau datang ke sini? Di mana Jerry?" bentak Harry sambil mencengkeram kerah baju Jessie dengan kasar.
Jessie menatapnya, bingung. "Jerry?" gumamnya, mencoba memahami kata-kata Harry.
"Jerry adalah putraku yang kau bawa pergi! Katakan padaku, di mana dia sekarang?" tuntut Harry dengan penuh amarah, cengkeramannya semakin erat.
Jessie balas menatapnya dengan penuh kemarahan. "Apa yang kau katakan? Kau yang membawanya pergi dariku! Aku bahkan tidak sempat melihatnya! Kembalikan dia padaku, laki-laki b******k!"
Jessie membalas dengan penuh emosi. Dengan sekuat tenaga, ia menggigit tangan Harry yang mencengkeramnya, berusaha melepaskan diri.
Harry mengerang kesakitan dan melepaskan cengkeramannya. "Dasar sampah! Kau merebutnya dari tangan Lina karena kau cemburu! Dan sekarang kau berpura-pura tak tahu," ucap Harry dengan nada menghina, matanya penuh kebencian.
"Merebut dari tangan Lina? Apa dia yang mengatakan itu? Di mana anakku sebenarnya? Cepat beritahu aku!" Jessie berteriak dengan frustasi, tubuhnya gemetar karena emosi yang tak tertahankan.
"Wanita gila! Seharusnya kau yang mengembalikan Jerry padaku!" bentak Harry lagi, amarahnya memuncak. Tanpa ragu, ia menjambak rambut Jessie dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. Jessie berusaha meronta, tetapi tenaganya tak cukup untuk melawan kekuatan suaminya.
"Kalau bukan kau pelakunya, Mana mungkin bayi yang baru usia beberapa hari bisa kabur,"ketus Harry.
***
Di tempat lain, Roy yang berada di rumah sakit mendadak menyadari bahwa Jessie tak lagi di kamarnya. Raut wajahnya berubah, menunjukkan kecemasan yang dalam. Ia cepat-cepat merogoh saku jasnya, mengeluarkan ponsel, dan segera menghubungi asistennya.
"Cari tahu di mana Jessie Olivia sekarang juga!" perintah Roy tegas, suaranya terdengar dingin dan penuh otoritas.
" Tuan, saya akan segera melacaknya," jawab asisten di seberang sana.
Roy menunggu informasi asistennya, sambil melangkah menuju ke mobilnya yang parkir di depan rumah sakit.
Tak lama kemudian, ponsel Roy berdering. Dengan cepat, ia menjawab panggilan itu.
"Tuan, Nona Olivia pulang ke rumahnya," lapor asistennya di seberang telepon.
Roy tersenyum tipis, nada puas tersirat di wajahnya. "Baiklah, aku tahu," jawabnya singkat sebelum memutuskan panggilan.
Menatap kosong ke arah jendela, Roy bergumam pelan, suaranya penuh tekad dan kepedihan yang tersembunyi, "Jessie Olivia... kemana pun kau pergi, aku akan mendapatkanmu kembali. Anggap saja ini caramu menebus perbuatanmu di masa lalu."