Anggita melongo melihat Edward dan Seno saling tos layaknya orang yang sudah kenal lama. "What's up Bro?" sapa Edward dengan senyum mengembang. Sangat berbeda kepadanya.
"Baik Kak."
Anggita mendekati keduanya dengan wajah kebingungan. "Kalian... saling kenal? Sejak kapan?"
"Udah lumayan lah. Iya ngga Bro."
"Yoi Kak." Keduanya saling tos. "Kok kakak ngga tahu si Seno kalau kamu kenal sama Edward." Anggita kesal.
"Kamu ngga perlu tahu kita kenal sejak kapan, katanya mau bawain makanan buat Seno."
"Ya tapi aku kepo kenapa kalian bisa..."
Edward mendorong tubuh Anggita mendekati ranjang. "Udah ngga usah banyak cingcong. Kasih dulu itu makanannya kasian Seno pasti lapar."
Anggita menggerutu. Ia membuka wadah yang berisi makanan buatannya untuk sang adik. "Woah...asik. Makasih ya Kak." Seno memeluk kakaknya sejenak tapi langsung mendapat tatapan tajam dari Edward.
Ia pun melepaskan pelukannya sambil cekikikan. "Kenapa sih kalian? Aneh banget deh."
"Kakak mah curigaan. Pantesan aja di putusin mulu ama cowoknya gara-gara curigaan." Ledek Seno membuat Edward tertawa.
Pletak.
"Aduh sakit kak." Ringis Seno memegangi kepalanya yang terkena getokan Anggita. "Sembarangan kalo ngomong. Udah habisin makannya."
Edward duduk di sofa sambil membaca koran. Entah sejak kapan Seno berpindah tempat ke ruang VVIP yang luas seperti ini. Seingatnya Seno masih tinggal di ruang perawatan kelas II, tapi saat tadi datang menjenguk Edward membawanya naik ke lantai 10 dimana ruang VVIP berada.
Anggita sempat bertanya kenapa dan Edward menjawab kalau semua fasilitas ini masuk ke dalam kontrak mereka. Anggita hanya beroh ria. Ia merasa bersyukur karena Seno mendapatkan tempat yang layak untuk dirinya menyembuhkan diri.
Edward pun mengganti semua dokter yang dulu menangani Seno dengan dokter-dokter yang terbaik. Anggita merasa tidak enak dengan itu. Ia takut kalau dirinya tidak bisa di harapkan seperti yang di inginkan dalam kontrak itu.
"Kenapa Kak? Mikirin apa lagi?" tanya Seno melihat kakaknya terdiam. Anggita menggelengkan kepala mencoba senyum agar adiknya tidak khawatir.
"Ngga usah bohong deh. Keliatan banget tahu kalo kakak lagi banyak pikiran."
Anggita mengacak-acak rambut adiknya. "Sotoy lu ah. Oiya udah dulu ya kakak sama Edward mau pergi sebentar. Nanti kami balik lagi."
Edward melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu siang. Mereka sudah di tunggu oleh dokter Mario yang akan memeriksa kondisi rahim Anggita. Edward mengganti dokter yang sebelumnya menangani Anggita dan mendatangkan Mario sahabatnya yang tinggal di Australia untuk ikut andil dalam hal ini.
"Oh oke deh."
"Kami pamit ya." ucap Anggita sambil melambaikan tangan. Edward dan Seno saling tos. Sebelum pergi meninggalkan kamarnya, Seno membisikkan sesuatu kepada Edward dan Anggita kepo abis.
***
Anggita menatap Edward sesaat setelah pria itu keluar dari ruang perawatan Seno. "Apa?!" Edward kembali bersikap dingin kepadanya.
"Tadi Seno ngomong apa?" Edward melihat kearahnya dan mengucapkan satu kata yang makin membuat Anggita sebal. "Kepo."
"Hish! Dasar rese." gerutu Anggita. Keduanya masuk ke dalam lift yang akan membawa mereka turun ke lantai 4 dimana klinik kandungan berada.
Edward merogoh saku jasnya dan mengeluarkan ponsel merek terkenal keluaran terbaru. Anggita yang sedang memainkan handphone murah meriah jenis android itu langsung memasukkan hapenya ke dalam tas yang dibawanya.
Edward melihat sekilas. "Halo. Kamu dimana?" tanya Edward kepada seseorang.
"Oh baguslah. Ku kira kamu kabur lagi. Oke kami segera sampai." Edward menatap kearahnya. "Kenapa lagi?"
"Cuma mau ngingetin jangan sampai pingsan lagi. Merepotkan."
"Ck... Ngga lah. Lagian situ ngapain repot kalo gue pingsan, tinggal panggil perawat beres kan."
Pintu lift terbuka. Anggita segera keluar meninggalkan Edward yang sedang mengoceh panjang lebar. Keduanya masuk ke dalam ruang pemeriksaan dokter Mario dimana Clara sudah duduk menunggu mereka datang.
"Lama banget sih. Ngapain dulu?" ucap Clara jutek sambil menatap Anggita. Ia langsung menggandeng lengan suaminya seolah ingin menunjukkan bahwa pria tampan itu adalah suaminya.
Anggita menunduk. "Maaf Bu tadi saya dan Pak Edward mengunjungi adik saya yang di rawat disini. Maaf kalo menunggu lama."
"Kamu ngapain ikutan jenguk juga sayang. Emang kamu siapanya dia pake jenguk-jenguk segala." Clara tampak tak suka. Edward terlihat jengah.
"Kamu datang kesini cuma mau ngomel?!"
Clara langsung bersikap manis dan manja. "Ya abisnya aku ngga suka kamu terlalu dekat sama gadis itu. Inget sayang dia kita sewa untuk mengandung buah cinta kita. Jadi jangan terlalu dekat." ucap Clara sambil menatap Anggita.
Hatinya sakit merasa teriris-iris. "Kamu tenang aja sayang. Dia bukan tipe aku. Aku cuma menjalankan apa yang ada di kontrak. Ngga lebih dari itu."
Ucapan Edward semakin membuat hatinya sakit. Seolah tamparan keras bagi Anggita. Ingin rasanya ia menggali lubang yang sangat dalam lalu menyembunyikan diri saking malunya.
Ia berusaha kerasa untuk tidak menitikkan air mata akibat ucapan pasangan itu. "Kamu denger sendiri kan. Kamu jangan terlalu dekat sama suami ku. Kami bayar mahal untuk semua ini jadi tahu diri." cibir Clara sambil tersenyum puas.
Anggita mengangkat kepalanya menatap pasangan itu dengan lekat. "Bapak dan Ibu tenang saja. Saya sangat tahu diri siapa saya. Mana berani saya mendekati Pak Edward yang agung. Siapa saya, saya sangat paham. Jadi saya harap kalian tidak usah khawatir."
"Baguslah kalau kamu paham. Udah sana bersiap. Dokter Mario udah tunggu kamu di dalam." ucap Clara mengusirnya.
Tanpa menoleh lagi Anggita langsung masuk ke ruangan dimana dokter Mario akan memeriksanya. Edward melihat air mata menetes di wajah cantik Anggita tapi gadis itu segera menghapusnya dengan cepat.
***
Anggita menunggu di ruang tunggu. Ia sudah selesai diperiksa oleh dokter Mario dan tinggal menunggu hasil pemeriksaan. Edward dan Clara sedang diperiksa tapi belum juga selesai.
"Bagaimana hasil pemeriksaan gadis itu?" tanya Edward kepada Mario tentang hasil milik Anggita.
Dokter Mario membolak balik hasil pemeriksaan Anggita agar tidak menimbulkan kesalahan. "Baik. Sistem reproduksinya sangat baik dan siap untuk mengandung."
Edward dan Clara tampak lega. "Baguslah. Ngga sia-sia kita bayar mahal dia. Iya kan sayang." ucap Clara senang.
Mario menatap keduanya. "Kalian yakin mau memakai rahim gadis itu untuk mengandung benih kalian."
"Iya donk masa batal. Sayang donk duitnya udah keluar banyak." jawab Clara enteng sedangkan Edward tak berkata apa-apa.
"Tapi resikonya cukup besar Clara. Bisa jadi pembuahan yang terjadi akan gagal. Kenapa ngga kamu aja sih yang hamil. Toh kalian sama-sama subur. Rahim mu siap untuk mengandung keturunan Sadewa. Kenapa harus memilih wanita lain untuk menggantikan mu mengandung."
Mario masih tak habis pikir dengan ide gila Clara yang menginginkan seorang gadis yang bernama Anggita untuk mengandung keturunan.
"Alah elo ngga usah banyak tanya deh. Pokoknya lakuin apa yang udah di rencanain dari awal. Tugas lo itu gimana caranya biar calon keturunan Sadewa bisa tetap stay di rahimnya sampai saatnya di lahirkan nanti." omel Clara tak suka karena ia lagi-lagi di minta untuk hamil.
Mario kesal karena Clara berbicara yang tak masuk akal. Ia menatap Edward. Pria itu sejak tadi tak mengucapkan apapun. "Lakukan seperti yang sudah di rencanakan dari awal." ucap Edward memberi keputusan final, dan itu membuat Mario kecewa dengan keputusan sahabatnya itu.
Ia menghela nafas berat. "Oke kalau itu yang kalian mau. Gue akan berusaha sebaik mungkin agar keinginan kalian tercapai. Tapi gue ngga janji bakalan berhasil."
Edward dan Clara pun keluar dari ruangan dokter Mario. Anggita langsung berdiri melihat keduanya keluar dari ruangan dokter. Clara langsung menghampiri Anggita.
"Kamu harus menjaga pola makan mu karena kamu akan segera di suntikkan benih penerus keluarga Sadewa. Ku harap kamu memperhatikan asupan makanan yang baik untuk anak kami."
Belum sempat bicara, Clara sudah mengajak Edward pergi dari sana.
***
TBC