Bab 11

1096 Kata
Kenapa semua jadi kacau begini, kuremas rambutku dengan kencang, ingin rasanya ku cabut sekalian. Kepalaku mendadak pusing. Hal yang aku tunggu selama ini adalah menikahi Lita, tapi sekarang aku tidak berniat lagi melakukannya. Aku sudah punya istri, Husniah. Dia istriku dan aku mencintainya, sekarang. Apa Lita akan terluka jika aku menolaknya, apa ayahnya akan memakiku karena mempermainkan anaknya. Selama ini tidak ada istilah pacaran dalam hubunganku dengan Lita. Tidak ada komitmen, kami hanya sering bersama dan sesekali bermesraan. Aku memiliki sesuatu yang bisa kunikmati dengan tenang di rumah, tapi malah memilih wanita yang tanpa ikatan. Benar-benar pria bod0h. "Ayo, Mas," ajak Lita saat waktu pulang sudah tiba. "Kemana?" tanyaku seperti orang beg0 "Pulang bareng lalu mampir ke rumahku," jawabannya menjelaskan. "Aku tidak bisa, Lita. Maaf ya, aku harus menjemput Husniah. Dia sedang PKL di sebuah perusahaan yang jauh sekali dari rumah kami," tuturku panjang lebar. "Husniah? Nia, pembantumu itu. Bagiamana ceritanya anak itu PKL, pembantu PKL di perusahaan?" "Dia bukan pembantu, Lita." "Lalu apa? Kamu beneran jadi suka sama dia, Mas. Kamu bilang tidak suka anak kecil. Kamu pembohong, Mas!" Seru Lita dengan suara tertahan agar tidak menjadi pusat perhatian. Teman-teman kantor memang tahu kami dekat, meskipun tanpa hubungan. Sejak dulu kami sering pulang pergi bersama karena rumah kami searah, itu yang teman-teman pikirkan. "Maafkan aku, Lita. Aku pergi dulu." Tanpa menunggu persetujuannya, aku meninggalkan wanita itu begitu saja. Bergegas pergi ke parkiran, menyalakan mobil dan pergi dari tempat itu. Aku belum tahu dimana Husniah berada tapi aku sudah berkendara begitu saja. Di jalanan yang tidak terlalu ramai, aku menghentikan laju kendaraan dan menepi. Aku menghubungi nomor telepon Husniah. Pada panggilan ketiga, gadis itu baru mengangkat panggilanku. "Kamu dimana?" tanyaku langsung begitu Husniah mengangkat panggilan teleponku. "Di kantor," sahutnya singkat. "Kirim lokasinya, aku jemput." "Tidak perlu, Mas. Aku bisa pulang sendiri. Kamu akan kecapean kalau menjemputku juga," tolak Husniah. "Shareloc kataku!" Teriakku kencang. "I-iya, Mas," sahut Husniah dengan terbata. Pasti dia kaget dan ketakutan saat mendengar suaraku yang menggelar. Aku menarik nafas dalam-dalam, kenapa harus dikasari baru mengikuti mauku sih. Bocah itu, kenapa jadi jual mahal padaku. Ah, tidak. Akulah yang membuatnya seperti itu dengan ucapan dan perbuatanku pada Husniah sebelum-sebelumnya. Tak lama berselang, Husniah mengirim pesan berisi tempat dimana dia berada. Tempat itu memang cukup jauh. Pantas saja dia bilang akan pulang lebih malam lagi. Segera kulajukan kendaraanku menuju tempat tersebut, setelah sebelumnya aku memintanya untuk menunggu. *** Hampir setiap hari, aku menjemput Husniah selama dia melakukan PKL. Setidaknya itu mengurangi rasa bersalahku sudah menyia-nyiakannya selama ini, sekaligus menghindari Lita untuk sementara. Tak kubiarkan dia mencuci bajuku lagi, aku melakukannya sendiri sekarang, meskipun Husniah juga yang menyetrikanya. Aku membantunya membereskan rumah saat libur kerja, tak pernah lagi kuhabiskan waktu untuk bersama Lita lagi seperti dulu. Sudah satu setengah bulan ini aku menghindarinya, dengan alasan harus menjemput Husniah setiap pulang kerja, dan sibuk membereskan rumah saat libur. Aku bangun lebih pagi dari biasanya, berharap bisa menemani dan membantu gadis itu saat dia memasak, namun dia akan melipir entah kemana jika aku datang padanya. Aku benar-benar dihukum olehnya, dulu aku mengabaikannya dan sekarang dia yang mengabaikan diriku. "Hari ini hari terakhir kamu PKL kan, ayo makan di luar saja. Biar gak usah masak," ucapku sambil fokus menyetir. Sejak aku menjemputnya, dia memang memasak makan malam mendadak setelah sampai di rumah. Husniah mengerjakan dengan cepat saat aku sibuk mandi, dia sudah menyiapkan semuanya sebelum berangkat di pagi hari sehingga tinggal cemplung-cemplung saja. "Sayang duitnya, Mas! Biar aku masak saja," tolaknya. "Pakai duitku." "Iya, sayang duitmu." Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, berusaha untuk tidak membentak gadis yang duduk di sampingku tapi sibuk dengan dirinya sendiri ini. Dia selalu menyalakan laptop dan melakukan pekerjaan entah apa, saat berada di mobil bersamaku. "Kamu ngerjain apa sih? "Laporan." "Kan bisa dikerjakan besok atau nanti, PKL nya juga baru selesai, udah sibuk bikin laporan saja." Aku makin berusaha menahan emosi, Husniah masih saja menjawab pertanyaanku dengan singkat-singkat. Ini udah berapa lama berlangsung sejak saat itu. "Makin cepat dikerjakan, makin baik," sahutnya tanpa mengalihkan pandangan dari laptop yang menampilkan tampilan Microsoft Word tersebut. Hiihh menyebalkan sekali anak ini, geram aku dibuatnya. Aku menghentikan mobilku disebuah parkiran restoran, tak perlu bertanya padanya. Toh dia juga tidak peduli dengan sekelilingnya sejak tadi. "Kok berhenti?" tanyanya dengan mata memindai sekeliling. "Makan, turun!" Perintahku dengan tegas. Husniah menurut, menutup laptopnya dan ikut turun bersamaku. Kuhirup nafas dalam-dalam, sepertinya memang aku harus bertingkah seperti ini agar anak itu mengikuti perkataanku. *** Setelah kuliah praktek itu selesai, aktivitas Husniah mulai normal kembali. Kuliahnya mulai seperti biasanya. Aku pergi dia masih di rumah, begitupun saat aku pulang. Meskipun dia tetap tidak membuka diri, setidaknya aku melihatnya setiap hari. Aku baru menyadari betapa anehnya kehidupan kami ini, hidup satu atap tapi jarang sekali menyapa. Saat aku mengabaikannya dulu, mungkin terasa biasa-biasa saja, aku malah senang Husniah tak pernah mengangguku. Namun saat hatiku mulai memiliki rasa, ternyata diabaikan itu tidak enak. Pasti ini yang di alami oleh Husniah saat awal-awal dia tinggal di rumah ini. Belum lagi aku yang selalu ketus padanya. "Mas, aku mau keluar, ya." Husniah meminta ijin di hari Minggu pagi. "Kemana?" "Urusan kuliah." "Hari Minggu?" tanyaku menelisik. Untuk apa minggu-minggu ngurusin kuliah. "Mau ketemu dosen pembimbing." "Memang sudah skripsi, kamu kuliah baru berapa tahun, mana ada udah skripsi." Diam, gadis itu tidak menjawab. "Kamu gak lagi mau ketemu dengan bocah urakan itu, kan?" "Siapa yang kami bilang urakan, Mas?" "Wisnu." "Jangan sembarang melabeli orang, Mas!" Serunya tidak suka. "Memang dia begitu, " sahutku santai. "Apa kamu tidak tersinggung jika teman wanitamu itu aku bilang w************n? pelakor?" Aku menatap Husniah dengan padangan menelisik. Kenapa dia bisa mengatakan kalau Lita w************n dan pelakor. Apa dia tahu sesuatu tentang hubungan kami. "Kenapa kamu bisa berkata seperti itu?" "Kamu tahu sendiri jawabannya, Mas. Ah, tapi wanita itu tidak bisa di sebut pelakor karena dia tidak tahu kalau pria yang bersamanya adalah pria beristri. Hanya saja dia tetap murahan karena mau disentuh oleh laki-laki yang bukan suaminya." "Bicara yang jelas, Husniah!" Gadis itu mengambil ponsel dari dalam tasnya, dia memang sudah siap untuk berangkat. Seperti melakukan sesuatu pada benda pipih yang ada dalam genggamannya tersebut. "Lihat saja sendiri di handphonemu." Sepertinya dia mengirim sesuatu ke ponselku. Aku membuka dan ada beberapa fotoku dengan Lita dalam pose yang cukup mesra. "Aku pergi, Mas. Sejak awal mungkin kamu tidak berhak melarangku untuk melakukan ini dan itu. Kamu tidak berhak menuntutku melakukan apapun karena kami juga tak pernah melakukan kewajibanmu sebagai suami." Husniah berlalu meninggalkanku. "Aku pergi naik ojek, bukan di jemput oleh Kak Wisnu." Dia masih sempat menjelaskan sebelum tubuhnya hilang di balik pintu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN