Aku terus melihat satu persatu foto yang dikirim oleh Husniah padaku. Ada beberapa foto dimana aku sedang bermesraan dengan Lita. Bahkan ada foto di mana bibir kami saling menempel. Bisa-bisanya si pemotret ini dapat momen seperti ini, padahal itu hanya ciuman sekilas.
Ini adalah momen yang terjadi sudah sangat lama, saat aku pergi dengan Lita di malam Minggu, kami makan bersama di sebuah restoran yang bernuansa romantis. Memilih sport yang jauh dari kebanyakan pengunjung, bagian lebih remang-remang dengan kesan romantis begitu nyata. Lalu terjadi adegan seperti yang di foto ini.
Siapa yang memberikan foto-foto ini pada Husniah. Pasti pria bernama Wisnu itu, siapa lagi yang kenal aku dan juga Nia secara bersamaan, hanya dia. Apa karena foto ini juga sikap Husniah begitu berubah padaku. Dulu saat aku galak padanya, masih ada senyuman yang dia tampakkan padaku. Tapi sekarang, tak pernah tersenyum sama sekali padaku.
Bagaimana aku akan menjelaskan semua ini pada Husniah. Makin rumit saja rumah tangga kami ini.
Ucapan salam dari luar gerbang terdengar saat otakku masih berusaha mencari jalan keluar. Siapa yang bertamu. Bergegas aku melihatnya.
"Lita?"
"Kok kaget gitu sih, Mas?" sapa Lita dengan senyum mengembang.
"Kamu gak pernah lagi mau jalan sama aku, makanya aku datang sekaligus mau mengatakan sesuatu," imbuhnya.
Aku menarik nafas dalam-dalam, pasti wanita ini ingin mengatakan tentang Pernikahan. Kenapa baru sekarang dia ngebet ingin menikah. Aku mempersilahkan wanita itu masuk ke rumah.
"Kamu tidak enak badan, Mas. Tampangmu kusut banget?"
Aku menggelengkan kepala, "Aku baik-baik saja."
"Dimana Nia?" tanya Lita dengan mata memindai sekeliling.
"Keluar."
"Siapa sih dia, Mas? Enak banget hidup sama kamu, bisa kuliah, bisa keluar semaunya," cerocos Lita, seakan tidak suka.
"Dia istriku." Kali ini dengan lancar lidahku mengatakan kosa kata itu.
Lita tertawa mendengar pengakuanku, perkataanku seperti sebuah lelucon baginya.
"Kamu membohongiku, demi apa, Mas. Agar tidak menikahiku?" Lita bertanya masih dengan tawa di bibirnya.
"Nia memang Istriku, Lita."
Lita terdiam, memandangku dengan tatapan yang ... entahlah.
"Aku memang menikah dengannya sejak saat dia kubawa ke sini." Aku kembali menjelaskan.
"Lebih baik kita duduk dan coba jelaskan," ajak Lita.
Aku cukup kaget dengan reaksinya, wanita itu tidak marah seperti yang aku pikirkan sebelumnya. Marah karena merasa aku permainkan dan di bohongi, tapi ternyata dia santai saja seperti itu. Kami akhirnya duduk di ruang tamu, di sofa panjang aku duduk bersebelahan dengan Lita.
"Aku bikin minuman dulu, ya, Mas," ujar Lita meminta ijin.
Aku mengangguk, biarlah wanita itu sendiri yang melakukannya. Kepalaku mendadak sakit mendapati fakta kalau Husniah mengetahui hubunganku dengan Lita. Bagaimana aku bisa melunakkan hatinya kali ini. Wanita mana yang mau dibohongi dan dihianati, terlepas dia masih sangat muda seperti Husniah ataupun sudah matang seperti Lita. Di mata Husniah aku sudah buruk, ditambah lagi dengan hal ini, makin buruk saja citraku.
Tak lama di dapur, Lita membawa dua gelas teh hangat dan piring kosong, wanita itu tadi membawa kue saat datang ke sini. Setelah meletakkan gelas di meja, wanita itu memindahkan kue ke dalam piring. Lalu kembali duduk di sampingku.
"Minumlah dulu, Mas. Sepertinya kamu sedang tidak baik-baik saja."
Aku menurut dan meminum teh hangat tersebut, rasa hangat menjalar di tenggorokanku, aroma melati yang berasal dari teh tersebut cukup memenangkan pikiranku.
"Coba ceritakan apa yang terjadi. Sepertinya kamu ada masalah," ucap Lita memecah kesunyian di antara kami.
Aku menghela nafas panjang, untuk apa aku menceritakan pada wanita ini tentang hubunganku dengan Nia.
"Aku akan membantumu jika masalah berhubungan dengan Nia, dan itu ada kaitannya dengan kedekatan kita," ucap Lita meyakinkanku.
"Aku tidak tahu kalau kamu ternyata sudah menikah, lagi pula hubungan kita selama ini memang tidak ada komitmen di dalamnya. Kita hanya sering bersama saja dan menghabiskan waktu berdua," imbuhnya lagi.
Akhirnya setelah menimbang-nimbang, aku menceritakannya semua pada Lita, tentang bagaimana aku menikah dengan Husniah. Menceritakan bagaimana kehidupan pernikahan kami, dan bagaimana perasaanku sekarang pada Husniah. Itu penting diketahui oleh Lita, agar dia tidak berharap padaku. Tidak menganggapku masih membenci pernikahan ini. Aku berharap wanita ini bisa membantuku menjelaskan semua yang terjadi pada Husniah seperti yang dia katakan barusan.
"Aku akan bantu membujuknya, nanti. Sini aku pijit kepalanya, kamu pasti pusing memikirkan hal ini, kan?" Lita berkata sambil mendekat padaku, mengulurkan tangan hendak menyentuhku.
"Kita tidak boleh melakukan ini lagi, Lita." Aku menolaknya.
"Aku hanya akan memijit kepalamu, Mas. Tidak lebih dari itu, aku hanya peduli padamu," ujar Lita meyakinkan.
Kepalaku memang benar-benar sakit kali ini, aku membiarkan Lita memijit kepalaku. Lagi pula dia memijitnya sambil berdiri di belakangku, di balik sofa. Aku yakin tidak akan terjadi hal-hal yang ingin kuhindari saat ini.
Tangannya memijit kepalaku dengan lembut dan aku menikmatinya, ditambah aroma parfumnya yang manis seperti sebuah aromaterapi memanjakan hidungku. Aku memejamkan mata untuk menikmatinya hingga kepalaku menengadah ke atas. Aku tersentak saat merasakan sesuatu yang lembut menempel di bibirku, wanita itu menciumku.
Aku memberontak, tapi tangannya berusaha menahanku. "Hanya ciuman, ini yang terakhir kali," bisiknya di telingaku.
Dan entah apa yang aku pikirkan, aku mulai menikmatinya. Bahkan saat tangan lentiknya menyusuri dadaku aku pasrah saja dengan hal itu. Aku hanyalah laki-laki yang lemah akan godaan wanita. Bukan orang suci yang bisa menahan diri.
"Otak dan tubuhmu perlu di relaksasi, Mas," bisiknya lagi sembari meloloskan kaos pendek yang aku kenakan. Bahkan wanita itu sudah berpindah posisi, tidak lagi di belakang sofa, tapi berada di sampingku.
Selama ini kami memang tidak melakukan hubungan jauh hingga layaknya suami istri, tapi kami bisa saling memuaskan.
Telingaku mendengar pintu gerbang di dorong seseorang, aku hendak bangkit dari posisiku namun wanita yang sudah menguasaiku itu mencegahnya.
"Paling gerbang tetangga sebelah," ucap Lita.
Aku membenarkan ucapannya, siapa yang bakalan masuk ke teras rumahku tanpa permisi, tidak mungkin ada. Biasanya jika ada tamu, mereka akan mengucapkan salam di luar pintu gerbang. Aku dan Lita malah melanjutkan ciuman dengan panas.
Bbrakk! Pintu rumah terbuka dengan kasar, setelah itu terdengar teriakan seseorang memanggilku. Suara yang sangat aku kenal.
"Mas Hanan, ayo kita pulang. Ibu ...." Suara itu menggantung tidak terselesaikan.
Aku langsung mendorong tubuh Lita yang ada di atasku. Kulihat hidung Husniah memerah, matanya sudah penuh dengan air mata. Dia menangis. Bukan menangis karena melihatku bermesraan dengan Lita, tapi aku yakin itu tangisan yang sudah terjadi sejak sebelum masuk rumah ini.
"Maaf aku menganggu," lirihnya, kemudian berbalik kembali ke luar rumah.
Aku segera menyambar kaosku, berlari mengejarnya. Jangan sampai dia pergi tanpa mendengar penjelasanku seperti drama-drama bertema perselingkuhan. Walaupun aku juga tidak tahu apa yang akan aku jelaskan padanya.
***