8. Hurt

4503 Kata
BABY LOVE  PART 8 : HURT     Kimi tersenyum senang melihat isi dari kotak kecil yang tadi Daniel berikan padanya. Sebuah gelang dari bahan emas putih yang sangat cantik. Ada gantungan kecil berbentuk bintang di ujung pengaitnya. Walaupun sederhana namun terlihat mewah. Kebetulan sekali dia tidak sedang mengenakan gelang. Gadis itu langsung memakai gelang pemberian Daniel tersebut. Laki-laki itu sangat tau akan selera Kimi. Dia penyuka hal-hal yang sederhana. Mulai dari pakaian, gaya rambut bahkan perhiasan pun Kimi akan memilih model yang sederhana, namun terlihat indah.        Gadis itu menatap layar handphonenya untuk yang kesekian kali. Masih tidak ada balasan dari Kalva. Rasa kecewa itu kembali menghampirinya. Segera Kimi menepis perasaan kecewa itu, mungkin saja Kalva masih sibuk dengan pekerjaanya di Amerika, sehingga dia tidak punya waktu untuk membalas sms darinya. Sebenarnya ingin sekali Kimi menelpon menanyakan kabar Kalva. Namun dia takut akan mengganggu laki-laki itu, sehingga diurungkannya niat tersebut. Sudah cukup dia membuat Kalva marah karena ulahnya kemarin. Dia tidak ingin membuat masalah kembali untuk yang kedua kalinya.   “Lebih baik aku mencari resep untuk kue ulang tahun Kak Kalva saja,” gumam Kimi tersenyum. Sebentar lagi Kalva akan pulang, dia ingin membuat pesta kecil untuk menyambut kepulangan suaminya. Kimi langsung menuju ruangan kerja Kalva di lantai bawah. Perlahan gadis itu memutar knob pintu ruangan tersebut, lalu masuk ke dalam. Ruangan kerja Kalva sangat maskulin. Walaupun dia lebih sering masuk di siang hari, namun tak ada bedanya dengan malam hari. Mungkin hanya pencahayaan yang sedikit lebih redup karena Kimi hanya menghidupkan lampu di meja kerja Kalva.    Sesuai dengan kepribadiannya. Kalva menyukai warna – warna gelap dan juga simple, sama sepertinya. Kimi mulai menghidupkan laptop yang ada di meja Kalva. Sebenarnya dia memiliki laptop sendiri di kamarnya. Namun entah kenapa dia lebih suka berada di ruangan ini. Dia merasa Kalva berada di dekatnya. Apalagi harum ruangan ini masih menyisahkan parfum yang selalu laki-laki itu pakai.   Kimi mulai membuka google untuk mencari resep kue ulang tahun yang simple namun terlihat cantik dan yang terpenting rasanya enak. Dia sempat bingung memilih untuk membuat kue tart atau cupcake. Namun mengingat Kalva adalah orang penting, pasti dia akan banyak mendapat kiriman kue ulang tahun dari rekan kerjanya atau dari para sahabatnya. Akhirnya pilihan Kimi jatuh pada cupcake dengan aneka topping yang lucu. Yah, dia akan membuat sesuatu yang berbeda untuk Kalva.   Saat Kimi sibuk mencari pena di dalam laci kerja meja Kalva untuk menuliskan beberapa resep, dia menemukan  sebuah foto berbingkai kecil. Mungkin hanya berukuran 5R. Foto itu terletak paling bawah di dalam laci tersebut. Tertimpa beberapa file di atasnya.               “Cantik,” hanya satu kata itu yang bisa Kimi ucapkan untuk menggambarkan wajah di foto tersebut. Foto seorang gadis cantik yang tersenyum manis seraya menopang dagunya dengan kedua tangannya yang saling tertaut. Tiba – tiba saja ada perasaan aneh yang masuk ke dalam hatinya. Entah perasaan apa itu, Kimi sendiri tidak bisa menggambarkan dengan jelas. Tapi yang pasti Kimi merasa dadanya terasa sesak. Apakah dia cemburu pada gadis di dalam foto tersebut? Tidak. Dia tidak mencintai Kalva, kan? Dia hanya merasa simpatik pada adik mamanya itu. Dia hanya ingin menjalankan amanat dari mamanya, dia tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Ingin mengembalikan Kalva menjadi Kalva yang seperti dulu. Bukan Kalva yang memakai topeng dingin sebagai tamengnya.   “Nggak mungkin aku suka Kak Kalva...tapi kenapa aku merasa sesak melihat foto gadis ini,” ucap Kimi lebih kepada dirinya sendiri. Tidak ! dia tidak boleh seperti ini.    Mungkin saja ini adalah foto kerabat Kalva atau mantan Kalva. Kimi tidak pernah mendengar atau melihat Kalva jalan dengan perempuan lain. Kalaupun dia punya, tidak mungkin dia mau menikahi dirinya dan mengorbankan perasaan kekasihnya sendiri. Semoga saja apa yang Kimi perkirakan itu benar adanya. Kimi langsung menaruh kembali foto tersebut ke tempat semula. Setelah mencatat resep yang dia inginkan, dia segera mematikan laptop dan meninggalkan ruangan Kalva dengan pikiran masih tertuju pada foto gadis itu.   ***** Kimi terbangun saat mendengar alarm handphonenya berbunyi. Semalam, sekembalinya dia dari ruang kerja Kalva, Kimi langsung menghidupkan alarm handphonenya agar besoknya dia bisa bangun pagi. Dia ingin membuat cupcake untuk nanti malam, untuk itu dia pagi – pagi harus pergi ke supermarket untuk berbelanja bahan – bahan membuat cupcake. Apalagi dia harus mencari beberapa hiasan lucu untuk topping cupcake buatannya.Setelah mandi dan berdandan sedikit, Kimi langsung berpamitan pada Bik Asih. Gadis itu sangat bersemangat pagi ini, bahkan dia sampai melupakan sarapan yang sudah dibuat oleh Bik Asih. Jam sembilan pagi Kimi sudah sampai di depan mall yang lumayan jauh dari rumahnya. Karena hanya di swalayan mall ini lah semua bahan – bahan membuat aneka kue tersedia. Kali ini seperti biasa Kimi menggunakan jasa taksi untuk mengantarnya ke Mall. Dia masih ingin belajar mengingat jalanan ibukota.   Kimi mendorong trolinya menuju rak tempat bahan – bahan kue, Kimi langsung mengambil mentega, tepung terigu, gula halus , telur ayam, vanila bubuk soda kue dan bahan bahan lainnya untuk membuat topping yang lucu di atas cupcakenya nanti. Setelah semua bahan terbeli, Kimi langsung pulang ke rumah. Dia sudah tidak sabar untuk mempraktekan ilmu masaknya yang sudah lama tidak dia gunakan semenjak tinggal di rumah Kalva. Bik Asih yang melihat Kimi pulang dengan kantong plastik berukuran besar menjadi bingung sekaligus penasaran. Dia langsung membantu majikannya untuk menata bahan – bahan kue di atas meja dapur.    “Non Kimi mau buat kue?” Tanya Bik Asih kemudian. Kimi tersenyum lalu mengangguk. ”Kimi mau buat cupcake untuk Kak Kalva, Bik.” Ucap Kimi lembut lalu memakai apron yang tergantung di dekat kitchen set. Kimi mulai menyiapkan wadah untuk membuat adonan bulu sebagai bahan dasar membuat cupcake.    “Mau Bik Asih bantu, Non?” tawar  Bik Asih yang kasihan melihat tangan halus majikannya harus kotor. Dia memandang Kimi takjub. Baru kali ini ada perempuan yang dekat dengan majikannya, yang rela tangannya kotor demi membuat makanan untuk Kalva. Selama dia tinggal di rumah ini, semua perempuan yang datang ke rumah hanya bisa membawa makanan atau kue dengan merk ternama. Mereka tidak berpikir bahwa kue buatan tangan lah yang bisa membuat hati laki –laki menjadi tersentuh dan merasa sangat disayangi.               “Makasih, Bik. Tapi Kimi bisa sendiri kok. Dulu waku Kimi masih di Singapur, Kimi selalu membuat cupcake bareng mama. Rasanya menyenangkan membuat sesuatu untuk orang yang terpenting  dalam hidup kita, nanti Bibi cobain yah cupcake buatan Kimi.” Ujar Kimi tersenyum tulus. Entah kenapa setiap dia membuat sesuatu untuk orang yang dia sayang, Kimi merasa sangat bahagia. Apalagi bila sesuatu yang dia buat disukai oleh orang yang dia sayang. Semua rasa capek dan letih yang dirasakan saat membuat kue tersebut menguap , hilang begitu saja entah kemana. “Baik kalo begitu, Non. Kalo non Kimi perlu sesuatu tinggal panggil Bik Asih saja,yah, Non. Bik Asih ada di belakang ,” ucap Bik Asih lembut.  Kimi mengangguk lalu tersenyum,”Siap, Bik!” Sepeninggalan Bik Asih, Kimi kembali berkutat dengan resep masakannya. Dia sengaja membuat cuppcake lebih banyak untuk semua penghuni rumah ini. Dia ingin semua orang di rumah ini mencicipi cupcake andalannya. Ting ! Bunyi oven berbunyi menandakan bahwa cupcake buatan Kimi sudah matang. Gadis itu langsung mengambil capcuke tersebut dan meletakkan semuanya di atas nampan. Dia sengaja membiarkan dulu semua cupcake buatanya dingin. Setelah itu Kimi baru akan  menghiasnya. Sambil tersenyum manis Kimi mulai menghias cucpake buatanannya dengan fondant atau plastic icing. Dia sengaja membuat bentuk topping berbentuk jas dengan dasi di salah satu cupcake yang dibuat khusus untuk Kalva. Masih dengan plastic icing Kimi membuat orang –orangan dengan menggunakan jas, seperti yang sering Kalva kenakan saat pergi kekantor. Untuk Kalva sendiri Kimi membuat enam cupcake. Kimi tersenyum puas setelah selesai membuat cupcake untuk  Kalva. Di cupcake tersebut ada tulisan “Happy B’day Kak Kalva” dengan satu lilin di tengah – tengah. Kimi melirik jam dinding yang ada di dapur. Tak terasa sudah jam dua belas siang. Bahkan Kimi melupakan makan siangnya karena asik membuat cupcake. Setelah membereskan meja dapur dan menata cupcakenya di dalam kotak berbahan plastik, Kimi sengaja menyimpannya di dalam lemari kitchen set. Karena fondant yang menjadi bahan utama topping cupcakenya tidak tahan udara dingin dan lembab. Mereka semua akan mencair bila di taruh di dalam lemari es. *****               “Semuanya sudah beres, pak! Mobil bapak sudah kami siapkan, ” ucap salah satu Asisten Kalva saat dia baru saja tiba di Bandara Soekarno Hatta sekitar sepuluh menit yang lalu. Laki – laki itu mengangguk mengerti. Segera Kalva berjalan mengikuti asistennya tersebut. Sebuah mobil Audi putih miliknya sudah terparkir manis di parkiran Bandara. Laki – laki itu langsung masuk ke dalam kursi penumpang. Dia terlalu lelah untuk menyetir sendiri. Penerbangan yang memakan waktu cukup lama itu lumayan membuatnya lelah. Apalagi selama di Amerika Kalva bahkan tidak sempat untuk pergi bersantai barang sejenak. Lampu – lampu di pinggir jalan adalah pemandangan yang hanya bisa disaksikannya dari jendela kaca mobil. Kalva menghela nafas sejenak seraya merenggangkan ikatan dasinya yang membuatnya susah bernafas. Jas hitamnya sudah tersampir di kursi sebelahnya. Hari ini hari ulang tahunnya. Seharusnya dia merasa senang, tapi entah kenapa dia merasa kesal. Hampir semua isi inboxnya mengucapkan Selamat Ulang Tahun, sampai – sampai lelaki itu malas membukanya. Pasti sekarang di rumahnya sudah banyak parcel serta kue yang dikirim para relasi serta  sahabat – sahabatnya, membuatnya malas kembali ke rumah. Walaupun sebenarnya ada rasa rindu pada sesosok gadis kecil yang sekarang menjadi isterinya. Namun Kalva belum siap bertemu langsung dengan Kimi. Entah kenapa dia merasa setiap kali bertemu Kimi, emosinya menjadi naik seketika.               “Ran, Kita langsung ke hotel biasa saja. Aku sudah sangat lelah.” Perintahnya yang langsung diangguki oleh asistennya. Mobil Audi itu pun langsung menghantarkan Kalva ke sebuah hotel bintang lima yang sering menjadi langganannya menginap. Setelah cek in, Kalva langsung menuju lift untuk sampai di kamar president suite, dimana dia akan beristirahat.   ***** Kimi tersenyum menatap cupcake buatannya. Dia sudah sejak siang tadi mengirim pesan pada Kalva bahwa dia ingin bertemu di taman di dekat kompleks perumahan dimana Kimi tinggal. Taman itu sangat indah dan cantik. Ada sebuah kolam air mancur yang terletak di tengah – tengahnya. Dan di dekatnya ada tempat duduk berbentuk jamur yang melingkari meja dengan bentuk serupa. Sebenarnya taman ini lebih cocok untuk anak – anak, tapi entah kenapa Kimi menyukainya. Tak jauh dari tempatnya duduk, ada beberapa permainan untuk anak – anak. Angin malam yang kencang membuat tubuh Kimi merinding. Gadis itu saking semangatnya bahkan lupa untuk memakai jaket. Dia tidak berpikir bahwa udara diluar akan sedingin ini. Sayangnya langit malam itu terlihat gelap. Tak ada bintang sama sekali yang menghiasi langit.  Andai saja ada bintang yang muncul, pasti malam ini akan terasa sangat indah. Kimi melirik jam tangannya. Dia sudah satu jam menunggu di taman ini. Kimi sengaja datang lebih awal agar bisa menghias taman kecil itu. Walau bukan hiasan yang mewah, karena Kimi hanya menyalakan beberpa lilin kecil di beberapa sudut taman. Ditambah tulisan kecil yang dia buat untuk Kalva, di meja taman itu ada cupcake buatannya juga ada kotak makan berisi nasi goreng spesial buatannya. Nasi goreng itu dibuat sedemikian lucunya oleh Kimi. Bahkan bila ada yang melihat, mereka akan merasa sayang untuk memakannya saking lucunya.Angin kencang kembali datang, membuat lilin – lilin yang baru saja di hidupkan Kimi kembali padam.  Untuk kesekian kalinya Kimi kembali menghidupkan lilin tersebut.               “Kak Kalva kenapa belum datang, yah? Seharusnya dia sudah datang sejak tadi,” tanya gumam Kimi. Sekarang sudah jam sepuluh lewat. Kimi menghela nafas pelan. Sebenarnya Kalva belum membalas pesan darinya. Dan itu seharusnya menjadi jawaban telak untuk Kimi. Tapi entah kenapa, dia masih berharap bahwa Kalva akan datang, atau mungkin dirinya terlalu berharap banyak pada Kalva?               “Hatchi! Hatchi!, “ Seharian ini Kimi tak henti – hentinya bersin. Tapi gadis itu  tak menghiraukannya. Bahkan tubuhnya yang kelelahan pun tidak dipedulikannya. Dia terlalu bersemangat membuat kejutan untuk Kalva. Sampai – sampai gadis itu tidak memedulikan kesehatannya.    “Apa aku telpon saja, yah?” gumam Kimi pelan. Akhirnya setelah bertarung dengan hati kecilnya, Kimi memutuskan untuk menelpon Kalva. Butuh waktu beberapa menit untuknya menunggu sampai telponnya diangkat. Suara serak khas orang bangun tidur menyambut panggilan Kimi.               “Halo, Kak... ini aku Kimi,” ucap Kimi gugup, dia merasa sedikit takut bila telpon darinya mengganggu Kalva.               “Kimi, kamu pikir ini jam berapa? Ini sudah malam, aku sedang tidur di hotel. Maaf tidak memberitahumu bahwa aku menginap di hotel. Aku terlalu lelah sampai lupa menelpon mu. Oh, iya satu lagi. Bila ada yang mengirimkan kue tart atau sejenisnya, berikan saja pada penghuni rumah yang lain. Aku tidak suka makanan manis.” Ucap Kalva diseberang sana yang langsung membuat air mata Kimi mengalir. Kembali rasa sakit itu menghujam hatinya. Kali ini bagaikan ada beribu – ribu jarum yang menusuk jantungnya.    “Ba...baik, Kak. Maaf meng...ganggu istirahat kakak,” balas Kimi serak. Tubuh Kimi langsung terduduk di tanah. Air matanya mengalir deras. Untuk kedua kalinya semua pengorbanan yang dilakukannya terasa sia – sia. Air hujan yang mulai jatuh membasihi tubuhnya seolah ikut mengerti akan kesedihan hatinya. Bagaimana rasanya tidak dianggap? Bagaimana rasanya diacuhkan dan bagaimana rasanya kehadiran kita tidak dihiraukan? Semua pertanyaan itu pasti bisa Kimi  menjawabnya. Hanya satu kata. Sakit. Hanya kata itu yang bisa menjawab semuanya. Tangan Kimi terulur meraih kotak plastik berisi cupcake yang sengaja dibuatnya tadi pagi. Dipelukknya kotak itu erat – erat. ‘Aku tidak suka makanan manis’ kata – kata itu bagaikan kaset rusak yang selalu berputar – putar di telinganya. Semua usaha yang dilakukannya terasa percuma. Kenapa? Kenapa selalu dia yang merasakan sakit ini? Apakah akan terus selamanya dia tidak dianggap seperti ini? Kalau memang Kalva tidak menyukai dirinya, kenapa dia mau menikahi dirinya? Kenapa?   Ingin sekali rasanya Kimi menjerit mengungkapkan semua isi hatinya, mengungkapkan rasa sakit yang menghimpit dadanya. Namun dia tidak bisa. Dia tidak berani. Janjinya pada mamanya sudah membuatnya terikat dengan Kalva.  Masih dengan air mata yang mengalir, Kimi berusaha berdiri. Sekarang dia mulai merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit. Apalagi air hujan yang dingin membuatnya merasa seperti berada di dalam lemari es. Dengan langkah gontai dan kedua tangan yang masih memeluk kotak plastiknya , Kimi berjalanan menuju rumahnya. Sesekali isak tangisnya masih terdengar. Sampai di depan rumah, Bik Asih langsung berteriak kaget melihat Kimi yang pulang dengan tubuh basah kuyup. Wanita paruh baya itu langsung membawa Kimi masuk. Dia langsung menyuruh para pembantu lainnya menyiapkan air hangat serta baju tidur untuk Kimi.     Bik Asih sebenarnya merasa bingung sekaligus penasaran kenapa Kimi bisa pulang dengan keadaan menyedihkan seperti ini. Namun segera diacuhkannya rasa penasarannya itu. Yang terpenting sekarang dia harus melayani majikannya terlebih dahulu. Dia takut Kimi jatuh sakit. Apalagi dirasakannya tadi tubuh majikannya begitu dingin. Sepertinya Kimi terlalu lama berada di bawah hujan.   “Non, Non Kimi harus minum obat dulu, yah. Supaya besok non Kimi tidak sakit,” bujuk Bik Asih lembut setelah Kimi berbaring di atas tempat tidurnya. Kimi mengangguk pelan.    “Taruh saja di situ, Bik. Nanti Kimi minum,” ucapnya serak. Sebenarnya dia malas minum obat. Yang diinginkannya saat ini adalah istirahat. Tidur. Kimi berharap dengan tidur semuanya akan kembali baik esok paginya.                          “Kalo begitu Bik Asih tinggal, yah, Non. Kalo perlu sesuatu panggil saja Bik Asih,” ucap Bik Asih lembut. Kimi tersenyum mengangguk. Kemudian Bik Asih pergi meninggalkan Kimi yang kembali menangis mengingat kejadian tadi. Entah kenapa air matanya kembali menetes. Kimi terus saja menangis sepanjang malam, menangisi hidupnya yang terasa menyedihkan. Menangisi bahwa kenyataannya dirinya tidak dianggap. Setelah jarum jam menunjukkan pukul tiga pagi, barulah Kimi tertidur. Tertidur karena kelelahan menangis.   ***** Kalva kembali ke rumah pagi ini. Dia tersenyum lembut saat Bik Asih menyambut kedatangannya. Walaupun dalam hati kecilnya dia ingin Kimi yang menyambut kedatangannya. Namun segera ditepisnya pikiran anehnya itu.    “Saya kira Den Kalva pulangnya semalam, ternyata pagi ini, toh” Bik Asih meletakkan kopi panas yang baru saja Kalva minta tadi. Dia belum sempat ngopi atau sarapan di hotel. Siang ini dia ada janji dengan salah satu investor dari Jepang. Jadi dia perlu  istirahat sebentar dan berganti pakaian.   “Memang tadi malam, Bik, tapi Kalva menginap di hotel. Kalva capek banget jadi memilih buat istirahat di hotel saja,” jelasnya lalu perlahan menyesap kopi hitam  buatan Bik Asih.             “Kimi kemana, Bik? Apa dia belum bangun?” Kalva memerhatikan sekelilingnya berharap menemukan sosok mungil itu. Namun hasilnya nihil.             “Eh mungkin non Kimi masih ti...”             “Kak Kalva?” sebuah suara lembut memanggil Kalva, membuatnya menoleh dan mendapati Kimi yang berdiri di depan anak tangga terakhir. Gadis itu mengenakan dress selutut seperti biasanya. Sekarang Kalva baru menyadari bahwa Kimi senang mengenakan dress selutut.   “Iya, ini aku. Baru bangun?” Tanya Kalva masih memerhatikan Kimi dari tempatnya duduk. Begitu juga dengan Bik Asih, dia memerhatikan Kimi. Dia khawatir akan kesehatan gadis itu, apalagi wajah Kimi yang terlihat pucat. Walaupun gadis itu menutupinya dengan make up tipis, namun Bik Asih masih bisa melihatnya dengan jelas. Kimi mengangguk pelan lalu tersenyum simpul,   “Maaf aku baru bangun, kak. Kakak sudah sarapan? Mau aku buatin sesuatu?” tanya Kimi pelan, dia langsung berjalan menuju dapur. Tapi Kalva langsung mencegahnya.   “Tidak usah, Kimi. Aku sudah minta dibuatkan Bik Asih, Bik buatkan nasi goreng dua untuk aku dan Kimi, yah” pinta Kalva kepada Bik Asih yang langsung diangguki wanita itu.   “Bik, buatin satu untuk Kak Kalva saja, aku nanti saja,” Kimi langsung menolak tawaran Kalva. Dia tidak nafsu makan pagi ini. Daripada dia tidak memakannya lebih baik tidak usah dibuatkan sekalian.    “Tapi, non, dari kemarin...” Kimi langsung menggeleng pelan. Memberik kode agar Bik Asih tidak mengatakan di depan Kalva bahwa sejak kemarin dia belum makan sama sekali.               “Baik, non.” Ucap Bik Asih lalu  pamit ke belakang untuk segera menyiapkan sarapan untuk majikannya.   “Bagaimana pengumuman kelulusannya?” tanya Kalva kemudian.   “Besok baru dikirimkan oleh sekolah hasilnya, Kak. Maaf kak, aku mau ke taman sebentar. Mau melihat taman,” pamit Kimi langsung bergegas meninggalkan Kalva yang sedikit bingung dengan sikap Kimi.   Sesampainya di taman kecilnya, Kimi langsung menghirup udara banyak – banyak untuk mengisi paru- parunya yang terasa sesak. Dia tidak mau berlama – lama di dekat Kalva, karena dirinya takut air matanya kembali mengalir bila melihat Kalva. Sebenarnya Kimi merasa kurang sehat. Sejak bangun tadi pagi tubuhnya terasa lemas dan panas, seperti terbakar api. Apalagi tenggorokannya terasa sakit. Kepalanya juga terasa sangat pusing. Tapi Kimi tidak ingin membuat Bik Asih khawatir, jadi sebenarnya dia turun untuk mencari obat penurun panas di kotak obat, namun tak disangkanya bahwa Kalva sudah datang dan sedang mengobrol dengan Bik Asih. Obat yang semalam Bik Asih berikan tidak mempan sama sekali. “Non Kimi, non dipanggil sama den Kalva, beliau menunggu di ruang kerja,” tiba – tiba saja Ijah muncul dan memberitahu bahwa Kalva memanggilnya. Membuatnya dahinya mengerut. Bingung.   “Baik, Jah. Nanti aku ke sana,” sahut Kimi yang akhirnya dengan terpaksa menghampiri Kalva yang berada di ruang  kerja. Sesekali tangannya memegangi kepalanya yang semakin terasa pusing.               “Ada apa, Kak? Kata Ijah kak Kalva memanggilku,” tanya Kimi penasaran. Dia merasa takut saat melihat raut wajah Kalva yang berubah, tidak seperti tadi pagi. Bahkan dia menatap tajam kearah Kimi.               “Kamu yang mengacak – acak meja kerjaku,?” tuduh Kalva yang langsung membuat Kimi terperangah. Bagaimana dia bisa tau? Kimi tidak bermaksud mengacak – acak ruang kerja Kalva. Kemarin dia hanya mencari pena untuk mencatat resep cupcake untuk Kalva. Kimi menundukkan wajahnya, air matanya kembali mengalir.   ”Maaf, Kak. Aku nggak bermaksud mengacak – acaknya, aku cuma..”   “Jadi benar? Kimi, walaupun kamu isteri aku, tapi kamu nggak berhak untuk mengacak – acak ruang kerja aku. Ngerti?” potong Kalva cepat dengan nada dingin. Kimi terkejut mendengarnya. Dia tidak bermaksud melakukannya.    “Kak.. tunggu sebentar...aku bias jelasin,” Kimi menarik tangan Kalva. Membuat laki – laki itu menghentikkan langkahnya. Bukan karena tangan Kimi yang menahannya. Namun telapak tangan Kimi terasa panas di lengannya.   “Aku...” Kimi berusaha menghirup udara yang terasa sesak. Dia merasa udara di ruangan menjadi sangat sedikit. Apalagi hawa panas yang semakin membakar tubuhnya, membuatnya susah untuk berbicara. Kalva memutar tubuhnya, lalu memerhatikan wajah Kimi. Air mata telah menggenangi kedua pelupuk matanya. Wajah gadis itu terlihat sangat pucat. Kalva tidak mengerti wajah Kimi pucat karena sakit atau karena ketakutan bahwa dirinya ketahuan mengacak – acak ruang kerjanya.   “Aku... aku tidak mengacak – acaknya, Kak. Aku hanya... hanya mengambil pen...na,”  jelas Kimi terisak pelan, dia kembali menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah  Kalva yang dingin.   Terdengar helaan nafas dari Kalva. Dia sendiri bingung kenapa dia bisa semarah ini dengan Kimi. Padahal mungkin saja Kimi tidak tau dimana letak kesalahannya. Dia hanya mencari pena, Kalva! Bukan mengacak – acak barangmu! Arrghhhh , rasanya Kalva merasa seperti orang bodoh. Tidak seharusnya dia memarahi gadis yang ada di hadapannya ini.   “Aku pergi dulu, mungkin akan pulang malam,” ucap Kalva lalu meninggalkan Kimi yang masih menangis di dalam ruang kerjanya. Dia butuh waktu sendiri untuk menjernihkan pikirannya.   *****   “Non Mau kemana? “ tanya Bik Asih saat melihat Kimi hendak membuka pintu gerbang depan. Wanita itu tidak sengaja melihat Kimi saat dirinya mengantarkan kopi untuk  Jaka, satpam rumah tersebut. “Pergi sebentar, Bik. Sore juga aku udah pulang , kok, “ balas Kimi pelan.   “Non sudah makan? “ tanya Bik Ijah khawatir.   Kimi menggeleng pelan,”Nanti saja di luar, Bik. Kimi pergi dulu yah, Bik,” pamit Kimi lalu membuka pintu gerbang tersebut. Tak lama kemudian sebuah mobil taksi berwarna biru berhenti tepat di depannya. Kimi langsung masuk ke dalam mobil tersebut meninggalkan rumah besar itu. Sebenarnya Kimi sendiri bingung mau pergi kemana. Dia hanya merasa sesak bila terus – terusan berada di rumah itu. Sepanjang perjalanan Kimi hanya memerhatikan jalanan yang mulai basah karena hujan yang turun membasahi kota Jakarta.   Dia ingin pergi ke rumah sahabatnya, tetapi  Kimi takut sahabatnya itu bertanya – tanya saat melihat penampilannya yang kusut. Akhirnya Kimi malah menyuruh supir taksi untuk berhenti di sebuah cafe kecil yang tidak jauh dari sekolahannya.   “Kembaliannya ambil aja, pak,” ucap Kimi saat memberikan selembar uang berwarna merah kepada supir taksi tersebut.   Supir itu tersenyum senang,”Makasih, Non,“ sahut supir tersebut kemudian menjalankan mobilnya meninggalkan Kimi yang sudah berjalan masuk menuju cafe.   “Mau pesan apa, mbak?” tanya seorang pelayan cafe.     “Coklat panas satu sama strawberry cakenya dua mbak,” sahut Kimi yang langsung dicatat oleh pelayan tersebut.   “Baik, mbak. Silahkan tunggu sebentar, yah.” Ucap pelayan tersebut lalu masuk ke dalam pintu di sudut ruangan.   Kimi merapatkan cardingan yang dia kenakan. Tiba – tiba saja dia merasa suhu ruangan cafe ini berubah menjadi sangat dingin, padahal baru saja Kimi merasa tubuhnya seperti terbakar api. Tapi begitu cepatnya suhu tubuhnya berganti. Sepertinya sakitnya semakin parah saja. Seharusnya dia lebih baik istirahat di rumah, namun setelah kejadian tadi Kimi merasa tidak nyaman berada di rumah itu.   Lagu insomnia mengalun lembut dari handphoe miliknya. Kimi langsung mengangkat telpon tersebut tanpa repot – repot melihat siapa yang menelponnya.   “Halo, Kim. Kamu lagi dimana?” suara bariton milik Daniel langsung menyambut indera pendengaran Kimi.   “Aku lagi di cafe stars, Dan. Ada apa?”   “Pantas saja aku ke rumah kamu, kata pembantu kamu, kamu sedang keluar. Kamu sedang sakit? Kenapa suara kamu serak begitu?” terdengar nada khawatir dari seberang. Kimi tersenyum senang mendengarnya. Hanya Daniel lah yang selalu membuatnya merasa nyaman. Entah kenapa Kimi merasa laki – laki itu selalu tau bila dia sedang membutuhkan seseorang disampingnya.   “Aku nggak apa – apa, tenang aja.” Sahut Kimi pelan.   “Kalo gitu tunggu aku. Sepuluh menit lagi aku sampai di sana.” Daniel langsung menutup telponnya sebelum Kimi menjawabnya.   Kimi menghela nafas pelan. Daniel memang suka seenaknya sendiri. Tak lama kemudian pesanannya datang. Kimi langsung menyesap coklat panas yang sudah ditunggu – tunggu olehnya sejak tadi. Namun baru menyicip sedikit, tiba – tiba saja perutnya terasa mual. Gadis itu segera berlari menuju toilet yang tak jauh dari tempatnya duduk. Tubuhnya langsung lemas setelah mengeluarkan semua isi perutnya. Dia sampai harus berpegangan dengan pinggiran wastafel agar bisa tetap berdiri tegak. Pelan – pelan Kimi berjalan ke luar toliet dengan berpegangan dinding. Pandangannya mulai sedikit mengabur. Namun, baru saja dia memegang handle pintu, Kimi merasa sudah tidak kuat lagi. Kesadarannya semakin menipis, pandangannya perlahan – lahan berubah menjadi kabur, lalu semuanya gelap.   *****   Kalva mengacak – acak rambutnya, gelisah. Bayangan wajah Kimi sejak tadi selalu menghantuinya. Dia merasa dirinya sudah keterlaluan pada Kimi. Seharusnya dia menjaga dan membahagiakan gadis itu, bukan sebaliknya. Entah setan apa yang merasuki dirinya sehingga dia bisa sekejam itu pada Kimi, isterinya sendiri. Bahkan  Kalva dengan teganya membuat gadis itu menangis di hadapannya. Drtt..drtt...drrtt   Tiba – tiba saja Handphone Kalva bergetar di atas meja kerjanya. Dia segera meraih Handphone tersebut dan melihat layar Handphonenya. Telpon dari rumah? kedua alis Kalva saling bertaut. Tumben sekali orang rumah menelponnya. Kalva langsung menekan tombol hijau untuk menjawabnya.   “Halo?”   “Halo, den, ini Bik Asih. Bibi Cuma mau memberitahu bawah non Kimi sekarang berada di rumah sakit,” ucap Bik Asih dengan nada khawatir.   “Apa?? Rumah sakit? Baik, Bik. Kalva langsung kesana.” Laki –laki itu mematikan sambungannya kemudian segera menuju basment tempat mobilnya terparkir. Dia langsung  menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Rasa takut sekaligus khawatir mulai merasuki dirinya. Dia takut terjadi sesuatu dengan Kimi. Rasa bersalah mulai menghinggapi hatinya. Seharusnya dia lebih memerhatikan Kimi. Bukan malah mengacuhkannya seperti ini. Kimi tidak salah. Dia tidak tau apa – apa. Dia juga sama seperti dirinya yang dengan terpaksa menjalani pernikahan ini karena mereka berdua sama – sama mencintai orang yang sama. Hellena. Mereka berdua setuju menikah karena Hellena. Setelah menanyakan terlebih dahulu kepada bagian informasi dimana Kimi dirawat, Kalva langsung berlari menuju lantai dua. Dimana Kimi sedang berbaring. Sampai di depan pintu VIP nomer 24 langkahnya mulai melambat. Dia sedikit gugup sekaligus takut untuk masuk ke dalam ruangan tersebut, namun segera dienyahkannya perasaan tak nyaman tersebut. Perlahan Kalva memutar knob pintu tersebut, lalu mendorongnya.   Tiba – tiba saja tubuh Kalva membeku saat melihat pemandangan yang menyambut kehadirannya. Di depan matanya telah duduk seorang laki – laki yang sedang menatap lembut wajah Kimi yang sepertinya belum sadarkan diri. Tangan laki – laki itu tak henti –hentinya mencium lembut punggung serta jemari mungil Kimi.  Walau berada dalam jarak yang lumayan jauh, Kalva masih bisa mendengar bisikan – bisikan cinta yang laki – laki itu ucapkan di telinga Kimi. Rasa tidak suka melihat itu semua mulai menghampiri dirinya. Kimi adalah isterinya. Dan hanya dialah yang berhak menyentuh dan duduk di sebelah gadis itu. Bukan laki –laki itu yang entah dari mana datangnya dan sudah seenaknya menempati tempat yang seharusnya diperuntukkan untuknya. Tanpa sadar kedua tangan Kalva mengepal. Dia benci mendengar laki –laki itu membisikan kata cinta untuk Kimi. Dia marah saat tangan laki – laki itu mengelus rambut Kimi dengan lembut. Dia benci menyaksikan ini semua. Karena hanya Kalva lah yang berhak atas diri Kimi. Hanya dia. Laki – laki itu berjalan mendekati sosok tersebut yang masih belum menyadari kedatangannya. Dengan suara dingin serta datar Kalva berkata,”Jauhkan tangan kotormu dari tubuh isteriku!”           -TBC-      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN