"Gak lucu, Om!" sahut Desi ketus.
Gadis berbaju dress putih itu tampak sedikit kesal dengan ucapan Om Imam yang terlalu bar-bar di depan teman-teman.
Terlebih lagi, Nuri pun hadir. Wajahnya langsung berubah ketus juga saat Om Imam mengatakan itu.
Om Imam tertawa renyah melihat Desi yang tampak kesal olehnya.
"Ya, sudah kalau gak mau, Om gak maksa," jawabnya santai. Sesantai aura wajahnya.
Awas kau ya Om Imam!
"Ziz, kamu jangan diam aja dong!" celetuk Desi. Gadis manis berponi itu menatapku sengit.
"Om Imam lagi becanda itu, Des. Jangan ditanggapi!" Aku balas seadanya dengan nada santai. Harus santai, karena kalau kelihatan grogi bisa-bisa Desi menangkap gelagat aneh pada aura wajahku.
"Iya ... tapikan itu gak lucu, loh. Masa iya cuma gara-gara pengin poto gratis, harus pacaran dulu," ucapnya, masih terdengar ketus.
Gara-gara Om Imam nih. Makin panjang urusannya. Tahu sendirilah Desi orangnya seperti apa. Dia paling tidak suka diajak bercanda soal itu. Yang ada di pikirannya ya hanya berteman.
"Eh, siapa bilang Om nyuruh kamu pacaran? Om cuma bilang, Aziz nyatain cinta ke kamu. Bukan pacaran," jawab Om Imam dengan santai pula.
"Sama aja, Om. Ujung-ujungnya kan pacaran. Gak mau, ah! Desi gak mau! Nanti ibunya Aziz marah!" tolak Gadis bermata belo itu.
"Mending aku pulang aja. Males ...."
Nah, kan ... kalau sudah begini, pasti nanti Desi bakalan tidak mau menyapa selama satu Minggu.
Huft!
Nasib-nasib. Dasar Om Imam! Emang kagak punya kerjaan itu orang.
"Hei, Des. Mau ke mana? Gak jadi ini potonya diambil?" Om Imam memperhatikan Desi yang tiba-tiba pergi dan tidak mempedulikan kata-katanya.
"Ziz, kejar dong! Jangan diam aja! Yaelah ...."
"Syukurin! Kalau becanda tuh yang wajar aja, Om," ocehku. Aku pun sama tidak peduli pada ucapan Om Imam.
Aku pun memilih untuk meninggalkan Om Imam yang masih mengoceh di ruang tamu rumahnya. Pergi, itu jalan yang terbaik. Daripada masih di rumah Om Imam dan mendengar laki-laki berambut gondrong itu mengoceh meledek tanpa henti. Ditambah lagi dengan tatapan mata Nuri yang seakan-akan ingin meminta penjelasan tentang perkataan Om Imam tadi.
***
Sore menjelang. Suasana di sore itu sangat indah. Desiran suara angin, seakan menambah sejuk udara di sekitarnya. Suara burung gereja berkicau riang pun ikut meramaikan suasana di sore itu.
Sore itu, aku mencoba untuk meminta maaf pada Desi soal perkataan Om Imam yang nyeleneh tadi siang. Berharap Desi tidak marah lagi. Dan, kita bisa bermain kembali seperti biasanya.
Namun, ada sebagian kecil di hati yang ingin menunda niat baikku itu. Sesuatu seperti sedang berbisik kalau Desi masih marah dan tidak mudah untuk memaafkan Kejadian siang tadi. Ah, galau jadinya hatiku ini.
Tanpa sadar, Ibu menyentuh pundakku.
"Ngapain kamu duduk di teras sambil melamun?"
"Anu ... itu, Bu. Aziz lagi mikirin mau melanjutkan sekolah di mana?" jawabku berbohong.
"Ya, itu sih terserah kamu. Kamu maunya di mana. Tapi, harus dipikirkan matang-matang, jangan sampai salah pilih."
"Iya, Bu. Makanya ini Aziz lagi bingung. Kalau nanti Aziz sekolahnya bareng sama Desi, bolehkan, Bu?"
"Eh ... tumben kenapa mau bareng sama Desi?" tanya Ibu, menyelidik.
Amsyong! Kenapa bisa keceplosan begini? Kalau Ibu sampai curiga dan berpikir aku suka sama Desi, bisa gawat. Yang ada Ibu mengajak orangtua Desi untuk besanan.
Gak ... gak ... gak ...! Aku menggeleng cepat.
Lagi-lagi Ibu menangkap gelagat aneh yang aku lakukan. "Kamu kenapa Aziz?"
Entah dari mana datangnya, adikku Rizal datang. Dengan santainya dia berkata, "Mas Aziz suka sama Mbak Desi, Bu."
Waduh!
Kening Ibu berkerut. Alisnya bertaut dan itu menandakan bahwa ia tidak paham dengan ucapan adikku.
"Mas Aziz suka sama Mbak Desi? Desi anaknya Bu Lukman yang jualan Donat itu, ya?" tanyanya sedikit menyelidik. Bukan menyelidik lagi, tetapi benar-benar ingin tahu.
"Betul itu." Rizal menanggapi.
Sejenak Ibu terdiam. Ia mengamatiku dari atas sampai bawah. Mencoba menatap mataku sampai-sampai aku canggung dibuatnya. Kalau gelagat Ibu seperti itu, tandanya ia sedang mencari kebenaran dari kedua anaknya.
"Kalau begitu, Ibu mau ngelamar Desi aja sekarang."
Duarrr!
Suara Ibu begitu menghantam hatiku. Antara sedih, takut dan bahagia menyatu padu dalam hati. Gimana tidak?! Ibu memahami sekali keinginan putranya hanya dengan satu kali ucapan. Namun, di balik itu semua, aku takut nanti Desi jadi ilfeel sama aku.
Bimbang. Aku benar-benar bimbang.
"Nanti saja, Bu. Tunggu Ayah pulang aja," celetuk Rizal.
Dasar mulutnya itu ... uh, pengin aku unyel-unyel biar tidak sok tahu.
"Tidak usah! Kalau sama Ayah, nanti jadi serius. Ibu aja dulu. Cuma mau memastikan biar Mbak Desi tidak diambil laki-laki lain selain anak Ibu."
Mendengar penuturan Ibu, aku terkejut bukan main. Ibu benar-benar tidak bisa diajak bercanda. Semuanya dianggap serius. Kalau sudah begini, aku pasrah. Tunggu tanggal mainnya saja. Desi bakalan marah atau bahagia mendengar kabar berita dari ibunya dan ibuku nanti. []