Mendadak Lamaran.

903 Kata
POV Desi. Apa maksud ucapan Om Imam waktu itu? Kenapa Om Imam secara terang-terangan mengatakan kalau Aziz harus menyatakan perasaannya padaku. Bukankah Om Imam tahu, aku dan Aziz hanyalah teman. Pertemanan kami ini murni tanpa ada embel-embel sepasang kekasih. Memang kuakui, waktu Aziz pertama kali datang ke komplek perumahan ini, aku menaruh perasaan suka padanya. Cuma hanya sebatas sekadar suka, tidak ada maksud lain lagi. Sore ini, kulihat Aziz duduk di teras rumahnya. Dari arah kamar ini, aku bisa melihat kalau dia sedang memandangi rumahku. Bukan hanya itu saja, Aziz pun tampak bimbang sekali. "Lagi lihatin apa nih anak Ibu?" sapa ibuku saat melihat aku sedang duduk di dekat jendela kamar. Ibu melongok ke luar jendela, dia tampak mencari sesuatu diluar. Namun, beberapa menit kemudian, ibu melihatku. "Kamu lagi lihat apaan, Des? Ngapain duduk di dekat jendela?" Aku menggeleng cepat. Aku tidak mau kalau Ibu tahu aku sedang melihat Aziz di teras rumahnya. "Gak ada, Bu. Desi cuma lagi bersihin kaca jendela kamar aja," jawabku berbohong. "Hem, ya udah. Ibu kira kamu lagi melamun." Saat kami sedang berbincang-bincang, tiba-tiba dari arah luar, Budhe Sri~ibunya Aziz berkunjung ke rumah. "Assalamualaikum .... Bu Donat, Ibu ada di rumah?" sapa Budhe Sri. "Iya, ada," sahut ibuku yang kemudian beranjak dari tempat tidur. Kakinya bergerak menuju pintu depan. Beliau melihat sosok Budhe Sri yang tampak anggun memesona tengah berdiri di depan pintu. Sontak saja ibuku langsung mempersilahkan Budhe Sri duduk di sofa tamu. "Tumben Budhe mampir ke sini. Ada apa, ya, budhe?" Ibuku mulai berbasa-basi. Tak lupa aku pun ikut serta dalam perbincangan antara ibu dan Budhe Sri. "Ah, enggak ada apa-apa. Cuma mau main aja ke sini. Kebetulan saya lagi ada waktu luang, jadi saya sempatkan mampir ke rumah Bu Donat." Ibuku memang mendapat julukan sebagai penjual donat setelah bisnis kuliner ibu laris dan banyak peminatnya. Tujuannya cuma satu, agar mudah dikenal masyarakat. Padahal nama asli ibuku adalah Titin Masitoh. Beliau asli keturunan Sunda-Cianjur. "Oh, begitu." Ibuku mengangguk dengan ramah. Lalu, tak lama setelah itu, ia menyuruhku membuatkan minuman untuk Budhe Sri. Mau tidak mau, aku pun membuatkan minuman untuk Budhe. "Oh, iya yang lain pada ke mana? Pak Lukman masih di kantor, Bu?" tanya Budhe Sri sambil menyeruput minuman sirup yang telah disajikan tadi. "Bapaknya anak-anak masih di kantor. Kalau anak-anak, masih pada di sekolah. Belum pulang. Mungkin banyak kegiatan di sekolahnya. Jadi, pulangnya agak kesorean." Budhe Sri mengangguk pelan. Disruputnya minuman tadi. Lalu, tampak tidak sadar, Budhe Sri menatap ke arahku. Lama juga ia menatapku, sekitar lima menit. "Desi kelas berapa sekarang, Bu?" "Kelas tiga SMP, Budhe. Bentar lagi mau lulus dan masuk ke sekolah favorit. Tadinya mau dititip ke saudara bapaknya anak-anak, cuma Desi enggak mau. Katanya gak mau jauh dari saya," kekeh Ibu. Duh, percaya diri sekali anda, Wahai Ibu. "Wah, kalau begitu ... nanti SMA-nya bareng sama Aziz aja, ya. Biar saling jaga. Biar Budhe bisa mantau Aziz lewat kamu, Des." "Ya, saya sih gimana anaknya aja Budhe. Kalau Desi mau, nanti saya bilang ke bapaknya anak-anak, kalau Desi sekolah bareng sama anak Budhe." "Hem ... benar-benar. Kalau dipaksain malah jadi gak jodoh," celetuk Budhe Sri. "Gak jodoh, maksudnya gimana?" tanya Ibu. Aku juga waktu itu penasaran apa maksud perkataan Budhe Sri. Budhe Sri tersenyum. Matanya beralih menatapku. "Kamu pernah kirim surat buat Aziz, ya?" Deg! Aku terdiam. Kali ini aku tak sanggup untuk menatap wajah Budhe Sri. Antara malu dan grogi campur aduk jadi satu. Bagaimana bisa Budhe Sri tahu kalau aku pernah mengirimkan surat untuk Aziz. Apa Budhe ikut membaca surat itu. Ah, betapa bodohnya aku ini. "Emang iya, Des? Kamu pernah kirim surat ke Aziz?" tanya ibuku kemudian. Ibu jadi latah ingin tahu tentang surat-menyurat itu. "Hem ... itu---itu cuma iseng, kok, Budhe," kataku gugup. Aku tak sanggup menatap wajah keduanya. Hanya bisa menunduk sambil memilin kertas yang aku genggam. Seketika Budhe Sri tertawa mendengar penuturanku yang katanya hanya iseng. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini tentangku. Yang jelas, aku rasanya ingin sekali menghilang dari pandangannya. Sungguh, aku benar-benar malu. "Aziz itu anak Budhe yang gak pernah bergaul dengan siapa pun. Sama cewek aja dia gak terlalu begitu dekat. Cuma sama kamu dan teman-teman kamu saja dia akrab," imbuhnya. "Semenjak pindah ke komplek perumahan ini, saya khawatir, Bu Donat. Khawatir kalau Aziz gak punya teman main. Tapi, sekarang saya sudah tidak khawatir lagi. Aziz punya teman, apalagi temannya itu anak Ibu Donat ... Desi." Entah apa maksudnya perkataan Budhe. Apa itu rayuan atau pujian yang tulus dari lubuk hatinya. Perkataan Budhe membuatku ingin tersenyum manis. "Iya, Bu. Semenjak ada Aziz, gang perumahan ini jadi rame. Tiap malam, Aziz selalu ngajak main anak-anak. Setiap saya intip mereka di kaca jendela, mereka bermain petak umpet, gobak sodor, bentengan. Kayaknya seru." Ibuku menambahkan. "Aziz juga kayak yang nyaman ya main sama Desi," ujar Budhe Sri. "Gimana kalau kita jadi besan, Bu?" "Besan? Ma-maksudnya gimana, Budhe?" tanya Ibu. "Nanti kalau Desi dan Aziz sama-sama sudah dewasa, kita nikahkan. Saya ke sini pun niatnya mau melamar Desi untuk Aziz." Budhe Sri dengan santainya berkata pada Ibu. Bukan hanya aku saja yang terkejut dengan tujuan Budhe Sri, tetapi ibuku pun ikut terkejut. Bagaimana mungkin seorang wanita terpandang di komplek perumahan ini, meminta agar anaknya dijodohkan dengan anak penjual kue donat? Tidak! Ini cuma mimpi. Mimpi yang akhirnya membuatku jatuh dan pasti rasanya sakit. "Gimana Bu? Bu Donat setuju tidak?" Budhe Sri bertanya lagi. Sekali lagi ia memastikan agar ibuku menerima pinangannya. [] []
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN