Bagian Enam

1504 Kata
Aku mengambil handuk kesayanganku di lemari, handuk berwarna peach dengan motif bunga. Setelah mandi aku memilih pakaian yang akan kugunakan untuk pergi ke supermarket bersama mama, bila biasanya aku sangat suka mengenakan baju terusan sepanjang lutut atau sering juga aku mengenakan rok di atas lutut, namun kali ini aku ingin mengenakan baju lengan panjang serta jeans sepanjang mata kaki. Pilihanku jatuh kepada baju lengan panjang berwana biru muda bermotif unicorn. Aku merapikan rambutku, membuatnya terikat satu agar terlihat lebih rapih. “Maaaa aku siap” “Mama juga udah siap nih tinggal tunggu taksinya dateng ya” “Lho kok kita naik taksi ma? Emangnya mobil mama kemana?” “Eemm begini Rania, mobil mama sudah dijual sebulan yang lalu untuk biaya rumah sakit kamu, karena saat itu tabungan papa dan mama sudah sangat menipis jadi kami memutuskan untuk menjual mobilnya, lagi pula sekarang kan mama sudah tidak bekerja jadi kalau dipikir-pikir ya tidak terlalu butuh mobil lah” “Maafin Rania ya ma, lagi-lagi Rania menyusahkan papa dan mama” “Harus berapa kali mama bilang Rania, kejadian kemarin itu bukan salah kamu, inget kan apa yang papa bilang, ini semua sudah jalan yang Allah berikan untuk keluarga kita. Toh saat ini kan kita masih punya satu mobil, itung-itung untuk mengurangi kemacetan di Jakarta lah hehehehe” Aku tidak tahu harus berkata apa, mau menyesali pun semuanya sudah berlalu, jadi yang bisa kulakukan sekarang hanyalah berjalan maju. Sesampainya di supermarket kami langsung menuju bagian kebutuhan dapur. Aku pun memulai percakapan, ‘Ma, 2 hari lagi kan aku mulai masuk sekolah, boleh ga aku minta sesuatu sama mama dan papa? Bukan sesuatu yang berat kok ma” “Boleh, kamu mau minta apa?” jawab mama sambil memasukan saus dan kecap botolan ke dalam stroller. “Aku mau beli seragam sekolah baru ma, tapi kali ini yang lengan panjang juga rok panjang” “Lho? Kok serba panjang? Kamu mau pakai kerudung ke sekolah?” “Iya ma, aku mau pakai kerudung” “Alhamdulliah, baiklah besok kita beli ya” “Sekalian beli kerudungnya juga ya ma” “Iya Rania” ucap mama lembut. Setelah merasa semua kebutuhan dapur sudah tercukupi kami berjalan ke bagian tempat cemilan, aku dan papa hobi sekali mengemil jadi harus ada bermacam-macam cemilan di rumah. Mulai dari ciki, biskuit, coklat dan lain-lain. Tidak lupa mama membeli berbagai macam buah. Semua barang yang dibutuhkan sudah berada di stroller, untuk itu aku dan mama bergegas menuju kasir, antrean kasir cukup panjang, kami pun mengantre di kasir nomor 2, tapi kemudian.... “Kalau tidak punya uang ya gausah belanja dong nek” “Tau nenek ini bagaimana sih” “Ah si nenek bikin antrean panjang aja” Kami rasa ada yang tidak beres di antrean paling depan, mama pun berjalan ke depan. “Maaf, ada apa ini?” tanya mama kepada mbak kasir dan si nenek. “Begini bu, nenek ini tidak bisa bayar belanjaannya dengan alasan dompetnya hilang” jelas si mbak. “Bukannya beralasan nak, tapi memang dompet nenek beneran hilang” percakapan mereka terdengar hingga belakang. “Memangnya nenek tidak tahu dompetnya hilang dimana?” tanya mama. “Tidak nak, diperjalanan menuju supermarket tadi dompet nenek masih ada di dalam tas, tapi pas nenek selesai belanja dan mau bayar dikasir nenek baru sadar kalau dompet nenek sudah hilang, nenek rasa terjatuh saat nenek turun dari angkutan umum” “Oh begitu ya, maaf, belanjaan ibu ini totalnya berapa mbak?” “124 ribu bu” jawab mbak kasir. “Yasudah kalau begitu pakai uang saya dulu saja nek, ini mba uangnya” “Ndak usah nak, nenek jadi merepotkan dan punya hutang nantinya, nenek tidak mau berhutang” “Tidak apa-apa nek nanti kapan-kapan kalau kita ketemu lagi nenek bisa menggantikan uang saya kok” “Baiklah, terima kasih banyak ya nak” “Sama-sama nek, sini saya bantu bawakan belanjaannya” Setelah selesai membayar, aku dan mama membawa barang belanjaan sambil berjalan menghampiri si nenek. “Nek, perkenalkan ini anak saya namanya Rania” “Hallo nek, aku Rania” “Wah cantik sekali, kalo nama nenek Asih, nak” “Oh iya, salam kenal Nek Asih” sapaku hangat. Karena si nenek terlihat sangat lelah dan keberatan dengan barang belanjaannya, mama menawarkan bantuan kepada Nek Asih, “Nenek rumahnya dimana? Biar saya antar pulang” “Tidak usah, rumah nenek tidak terlalu jauh kok dari sini” “Tidak apa-apa nek, bareng kami saja ya” Setelah mendapatkan taksi kami bertiga langsung masuk ke dalam taksi. “Selamat siang bu, bagaimana harinya? Menyenangkan?” sapa si supir taksi. Aku cukup terpikat dengan sapaan sang supir taksi yang sangat hangat dan sopan karena menurutku, di zaman yang seperti ini jarang sekali menemukan supir taksi yang seperti beliau. “Alhamdulillah menyenangkan pak” “Mau kemana bu?” tanya si supir taksi. “Eh iya, rumah nenek di daerah mana? Nama jalannya apa?” “Jalan Arjuna, lurus saja dari sini nanti ada g**g di sebelah kiri, nenek turun disitu saja” Ketika mendengar suara Nek Asih, sang supir taksi langsung menengok ke bangku penumpang, “Lho Bu Asih?” “Ehh Agus, kamu jadi supir taksi sekarang?” Sepertinya mereka sudah saling mengenal, “Ya bu, saya sudah berhenti menjadi supir pribadiPak Baroto karena mereka semua pindah keluar kota, jadi saya menjadi supir taksi sekarang” Kami hanya mendengarkan percakapan mereka berdua, antara si nenek dan supir taksi. Pak Agus –begitulah nama supir taksi yang kudengar tadi- memarkirkan taksinya tepat di depan g**g yang Nek Asih tunjuk, setelah berpamitan dengan kami semua serta mengucapakan beribu-ribu kali terima kasih kepada aku dan mama, Nek Asih pun keluar dari taksi dan berjalan memasuki g**g kecil tersebut. “Bu selanjutnya kita mau kemana?” “Puter balik ya pak, kita ke Perumahan Pondok Permai Blok B Nomor 15” “Baik bu” Dalam perjalanan menuju rumah aku memikirkan mimpi yang belum lama ini terjadi kepadaku, aku bingung mengapa aku bisa mengalami mimpi yang terlihat sangat nyata serta tidak bisa kulupakan hingga saat ini, aku masih ingat setiap detail dari mimpiku bahkan jika aku harus menceritakan kembali aku yakin tak akan ada satu hal pun yang terlewatkan. “Nenek yang tadi itu pernah koma selama 7 bulan bu” “Astagfirullahaladzim, 7 bulan pak? Bagaimana ceritanya?” mama ku langsung menghadap ke arah pak Agus. “Beliau mengalami kecelakaan pesawat 3 tahun lalu dalam perjalanan liburannya, namun naasnya pesawat yang beliau tumpangi menabrak pegunungan hingga jatuh di tengah hutan, awalnya identitas Bu Asih tidak ditemukan, setelah dinyatakan hilang selama 2 bulan, seorang pendaki gunung menemukan tubuh Bu Asih, orang-orang kira waktu itu Bu Asih sudah meninggal, jadi tim SAR membawanya menuju rumah sakit untuk diotopsi, dalam perjalanan menuju rumah sakit Bu Asih sempat sadarkan diri selama 10 menit setelah akhirnya beliau kembali tak sadarkan diri, namun saat itu tim SAR yang membawanya masih bisa merasakan nafas dan denyut nadi bu Asih, oleh karena itu mereka membawa Bu Asih ke UGD bukan ke kamar jenazah, dokter juga berkata kalau beliau masih hidup tetapi sangat sulit untuk diselamatkan, jika dirawat secara intensif pun kemungkinan beliau untuk kembali sadar hanya sekitar 10%. Saat itu keluarga Bu Asih bisa dibilang merupakan keluarga yang sangat berkecukupan hingga mereka memutuskan untuk merawat Bu Asih di rumah sakit secara intensif meskipun kemungkinan beliau untuk kembali sadar hanya sekitar 10% dan itu berarti kemungkinan beliau meninggal sekitar 90 persen. ” Aku dan mama saling tatap-tatapan. “Lalu setelah itu pak?” kali ini aku yang sangat penasaran. “Berbulan-bulan bu Asih di rawat dirumah sakit dalam keadaan koma, seluruh harta kekayaannya sudah terkuras habis untuk membiayai pengobatan, kedua anak beliau sudah putus asa karena tidak mempunyai uang lagi untuk membayar tagihan rumah sakit. Tepat di hari 7 bulan beliau koma, saat itu juga beliau sadar dari komanya. Yah bisa dibilang itu merupakan kekuasaan Allah, banyak juga orang-orang yang menyebutnya dengan hidup kedua….” Pak Agus melanjutkan ceritanya “….setelah mengalami koma kini hidup beliau berubah 180 derajat, jika dulu beliau sangat jauh dari agama, saat ini beliau taat sekali, malah beberapa kali saya lihat beliau menjadi pendakwah di acara pengajian ibu-ibu yang diselenggarakan seminggu sekali di Musholla Alfalah” “Bapak ini kok tahu banyak tentang Bu Asih ya?” “Iya bu kebetulan dulu sebelum kecelakaan pesawat itu terjadi saya merupakan supir pribadi Bu Asih, hingga saya diberhentikan oleh anaknya bu Asih karena mereka sudah tidak mampu lagi membayar gaji saya. “Nah bu sudah sampai di depan rumah” “Wah iya pak, tidak terasa ya sudah sampai, gara-gara keasikan cerita sama si bapak hehe” “Iya bu, tapi yang tadi itu bukan gosip loh ya, karena saya berbicara sesuai kenyataan yang ada” “Iya pak saya percaya sama bapak. Oh iya ini pak uangnya” “Kembaliannya.....” “Ambil saja pak, hitung-hitung sebagai rasa berterimakasih kepada bapak karena sudah berbagi cerita yang begitu luar biasa” “Wah terimakasih banyak, Bu” “Sama-sama, Pak”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN