Part 2
"Apa-apaan ini!" teriak Aaric Fox spontan pada Mary yang menabraknya di koridor kampus, menumpahkan cairan coklat kehijauan kental pada jas hitam yang ia kenakan siang itu.
Bau alpukat sekonyong-konyong menguar ke udara memenuhi rongga hidung. Kulit d**a Aaric pun terasa dingin oleh resapan cairan itu. Membayangkan aroma buah akan menempel seharian di tubuhnya membuat Aaric kesal. Padahal sebelum berangkat tadi ia telah mencuri-curi waktu melakukan yoga agar moodnya kembali stabil dan siap menghadapi pertarungan bisnis yang memusingkan. Gadis itu mengacaukannya kini.
"Aku sudah berhati-hati, Sir."
Suara sensual gadis itu menyergap telinganya, membuat pandangan Aaric langsung mengarah pada si Pemilik suara. Layaknya sebuah sihir, seraut wajah jelita yang sering ia lihat duduk menyendiri di antara bunga bakung di bawah pohon plum itu mampu menggantikan kekesalannya secara penuh. Ia nampak begitu menawan karena hari ini Mary mengepang rambutnya.
Mata jeli Mary bergerak-gerak menyusuri bercak-bercak noda pada jas yang dikenakan Aaric ditambah beberapa helai rambut jatuh di sekitar wajah gadis itu bak tirai yang menutupi keindahannya hingga membuat Aaric makin tenggelam dalam pesona. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya pandangan mereka bertemu. Pancaran tenang dari mata Mary yang polos seolah tak melakukan kesalahan apapun menjadi daya tarik tersendiri. Meskipun itu sebuah ketenangan absurd dan mustahil setelah menumpahkan minuman ke jas Aaric Fox, ketua yayasan di kampus besar itu.
Mary merogoh saku jaketnya mencari sesuatu seraya berucap, "Perhatikan jalanmu, Sir. Anda telah menabrakku dua kali."
Mary lalu mengelap jas itu sekenanya dengan sapu tangan dari dalam sakunya. Pembelaan yang mengagetkan Aaric karena itu adalah pertama kali mahasiswinya berani melempar kesalahan padanya di kampusnya sendiri. Keberanian Mary membuat Aaric berpikir bahwa merendahkan diri di hadapan orang lain mungkin tak pernah ada dalam kamus gadis itu karena dia adalah keponakan Rudolf Hill. Pewaris perusahaan garment terbesar di England. 'Cleopatra yang angkuh!' pikirnya.
"Sapu tanganmu tidak akan membuatnya kembali seperti semula. Kau juga masih punya hutang revisian padaku, Nona," kata Aaric serta merta melepas cepat jas itu lalu melempar pada Mary. Membuat jas itu menyampir di lengannya yang masih terangkat ke udara. Aaric rasa penting baginya mengajari gadis itu dengan bersikap tegas agar menundukkan kepala di hadapan orang yang lebih "tinggi" darinya tak peduli seberapa jelita dirinya. Apalagi sekarang sesuatu telah mengikat mereka.
"Bersihkan ini! Datang ke ruanganku besok dan terima hukumanmu," ucapnya ketus sekali lalu meninggalkan Mary yang terpaku di tempat untuk menunjukkan keengganannya pada sikap gadis itu.
"I'm sorry, Mr. Fox. Revisinya sudah kuletakkan di meja kantormu," Kata Mary.
Sudah agak jauh Aaric melangkah ketika penyesalan terselip dari suara setengah berteriak itu yang juga melenyapkan seketika asumsi Aaric sebelumnya akan keangkuhan yang melekat pada Mary. Ia mereka-reka hukuman apa yang sekiranya cocok untuk gadis seistimewa Mary Jenkinson. Aaric berbalik demi melihat gadis itu lagi, tapi Mary terlanjur berjalan menuju pelataran. Terbesit dalam ingatan Aaric foto gadis itu yang ditunjukkan Rudolf Hill semalam melalui layar ponsel, ketika mereka tengah menyantap makan malam di sebuah restoran elite.
"Kau pernah melihatnya 'kan, Tuan Fox? Saat usianya genap 20 tahun perusahaan akan kuserahkan padanya. Kurasa aku membutuhkan orang yang tepat untuk membantunya mengelola perusahaan sebesar itu. Aku beruntung sekali memilikinya sebagai penerus keluarga kami. Istriku yakin sekali Mary akan unggul jika mengikuti kontes kecantikan milik Presiden Amerika itu."
Rudolf Hill menyampaikannya sembari terkekeh disertai binar di mata rentanya, menunjukkan kekaguman mendalam pada gadis itu. Sebuah bujuk rayu yang ia tujukan pada Aaric secara halus. Bagaimana Aaric bisa mengabaikan tawaran itu ketika pada kenyataannya, ia memang sering memperhatikan gadis itu berlalu lalang di kampusnya. Bahkan bayangan Mary menggantung di pelupuk mata Aaric belakangan ini.
Perasaan itu memaksa Aaric menerima tawaran Rudolf Hill hingga mempertimbangkan kerja sama bukan dengan hitungan prospek atau peluang, melainkan sebuah tindakan impulsif yang seketika itu muncul ke dalam benak. Sebuah keputusan untuk sekedar menenangkan dirinya sendiri. Keputusan bodoh tak dapat dikalkulasi yang pada akhirnya memunculkan sebuah kesimpulan bahwa Aaric menggilai gadis remaja itu.
Ashley William sang sekretaris bangkit dari duduknya begitu melihat Aaric memasuki ruangan. Kepanikan terbesit di wajah wanita berambut blonde itu. Ia menunduk dalam menyiratkan permohonan maaf. Sikapnya membuat Aaric tiba-tiba merasa canggung.
"Kenapa wajahmu? Apa kau belum sarapan, Ashley? Apa karena revisi kemarin? Seperti pegawai magang saja," gurau Aaric pada wanita yang sudah akrab dengan candaan dan bentakannya itu. Ashley bergeming. Tak biasanya. Aaric tahu itu alarm bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi. Kekhawatiran menghampiri pria itu. Dengan waspada Aaric membuka pintu ruangannya.
Benar saja, Brad telah duduk bersilang kaki pada sofa di samping meja kerja. Lengan panjangnya merentang di sepanjang tepi sofa mendominasi tempat itu. Perasaan muak melanda Aaric seketika. Kehadiran Brad dianggapnya ketidak becusan seluruh pekerjanya hingga membuat pria itu bisa lolos sampai ke ruangannya. Sebuah seringai sinis Brad layangkan pada Aaric seraya bangkit. Ia mengambil langkah ke arah Aaric.
"Panggil security dan usir b******n ini," teriak Aaric dengan geram pada sekretarisnya.
"Mengusir sebagai sambutan untuk saudaramu, itukah yang diajarkan ibumu, Aaric?" ujar Brad dengan lantang setelah menendang pintu ruangan itu dengan kasar.
"Memalukan!" Brad meludah seolah melihat Aaric sebagai kotoran yang ingin diinjak-injak. d**a Aaric bergemuruh mendengar hinaan itu. Sontak ia menarik krah kemeja Brad ingin melampiaskan amarah yang mendesak di ubun-ubun.
"Tak pergi setelah diusir apakah ibumu mengajarkan itu? Oh, aku lupa. Kalian tak cukup bermoral memahami itu," tukas Aaric sinis.
"Ha ha ha anak pembunuh bicara moral di sini. Membuatku ingin mabuk saja," tawa Brad membahana memenuhi ruangan.
Sebutan keji itu memantul-mantul di kepala Aaric membuatnya ingin menusuk telinganya sendiri. Aaric mengambil ancang-ancang siap memukul sebelum Brad dengan menyebalkan berkata, "Aaric Fox memukul seseorang di kampus, pasti itu bagus tertulis di koran besok pagi."
Ancamannya selalu menjijikkan. Aaric mengepalkan tangan menahan ledakan amarah yang berusaha ia bendung. Lalu melepaskan krah Brad, secepat kilat berbalik membelakangi pria itu. Ia menatap sungai Thames di bawah sana yang membelah kota London.
"Mau apa kau ke sini?" Tangan Aaric mengepal kuat-kuat.
Tak dinyana Brad langsung mencengkeram bahu Aaric hingga berbalik menghadapnya. Pemuda berkaus oblong itu mencondongkan tubuhnya ke arah Aaric. Menatapnya dengan sorot mata yang begitu misterius seperti sebuah lorong gelap yang akan membawa siapa saja pada jurang kehinaan dan kenistaan. Hidung lancip Brad seperti pucuk senapan yang siaga mengintai mangsa. Memborbardir hingga tak dikenali bentuknya. Rambut pirang yang menyala dengan sedikit tarikan di ujungnya seperti bara api yang siap menghanguskan apa saja. Wajahnya adalah kombinasi sempurna untuk menggambarkan sosok manusia keji yang pernah Aaric jumpai di dunia ini. Aaric Fox menahan diri sekuat mungkin agar tidak menonjok wajah itu. Brad lalu melangkah mundur mendekati kursi Aaric dan mendudukinya.
"Aku hanya ingin melihat kampus milik ayahku ini. Bukankah aku lebih pantas duduk disini, Aaric? Ah ya! Bukan hanya ketua yayasan ini, CEO perusahaan dan rumah mewahmu di kawasan Kensington. Kurasa aku lebih cocok dengan semua itu."
"Dia bukan ayahmu, Braaad!" tukas Aaric dengan berang hingga matanya seolah hendak melompat meninggalkan lubangnya.
"Kau pikir apa sebab dia membawaku dan ibu pulang ke rumah jika bukan karena dia mencintaiku dan memujaku melebihi dirimu? Oh bahkan ayahku menyuapiku dengan bahagia saat pecundang cilik mengintip di balik tangga," ejek Brad diiringi tawa terbahak yang menjijikkan, "itulah kau, Aaric, pecundang!"
"Enyah kau dari hadapanku, b******n tengik! Kau tidak lebih dari pengemis busuk yang meminta-minta di tempatku! Ingatlah siapa dirimu, kau hanya anak p*****r murahan yang tinggal di flat kecil kawasan kumuh. Tubuhmu ceking karena harus berbagi makanan dengan tikus-tikus got setiap hari dan meringkuk kedinginan di pojok ruangan setiap malam. Ditinggalkan ibumu menjajakan diri di pinggir jalan Holbeck lalu memanjakan pria-pria kaya seperti ayahku dalam hotel mewah dan hangat. Berkacalah! Itulah tempatmu, Brad!" Makian demi makian adalah nuklir yang keluar dari bibir Aaric setiap kali berjumpa dengan pria itu.
"Masa lalu itu tak lagi penting, Aaric, saat anak ceking ini mampu mengeluarkan sang pangeran dari istananya hingga terlunta-lunta di luar negeri sampai menjual tampangnya untuk bertahan hidup." Tatapan Brad tajam menusuk mata Aaric. Mengumumkan peperangan sekali lagi. Bersamaan dengan itu empat orang security memasuki ruangan disusul Ashley di belakangnya yang kemudian memberi instruksi untuk menyeret Brad keluar. Ia sudah paham benar situasi seperti apa yang sedang dihadapi.
"Oh, tenanglah, Tuan-tuan. Tak perlu cara kasar begitu. Urusan dengan saudaraku sudah selesai, jadi aku akan keluar sendiri suka rela," ujar Brad seraya melangkah ke pintu meninggalkan ruangan itu.
Para security mengikuti di belakangnya dengan langkah waspada. Brad selalu melakukan hal-hal tak terduga. Seperti siang itu, tahu Aaric akan muntab setiap kali melihatnya Brad malah menjadikannya lelucon. Ashley mematung di depan pintu mengamati Aaric yang berdiri kaku di samping meja.
"Apa yang kau lakukan disitu? Keluar sana!" bentak pria bermata biru itu tak sudi dikasihani oleh sekretarisnya. Ashley tergagap. Dengan sigap ia berlalu menutup pintu ruangan itu, meninggalkan Aaric sendirian dengan amarah yang membara dalam d**a.
Wajah ibunya yang berlinang air mata tiba-tiba melintas di benak Aaric kala wanita itu diseret dengan kasar oleh dua orang polisi dengan luka lebam memenuhi tubuhnya, meninggalkan Aaric, bocah delapan tahun yang menangis tersedu di ujung tangga. Lalu tawa seorang wanita berambut ikal yang selalu berada di setiap tempat di rumahnya kembali terngiang. Wanita yang selalu bersikap manis layaknya seorang ibu padahal maksudnya agar anaknya itu bisa merebut semua milik Aaric. Melampiaskan amarah, Aaric dengan sekuat tenaga meninju lemari kaca tempat berkas-berkas penting tertata rapi. Suara pecahan kaca yang jatuh membentur lantai seketika memenuhi ruangan. Darah mengucur dari jari-jari tangannya bersimbah di lantai itu. Untuk beberapa saat Aaric tersesat dalam belukar masa lalu.
Ia merasa perlu untuk mengusir monster-monster itu dari pikirannya dan mengganti dengan bayangan indah makhluk penghias dunia. Makhluk bernama wanita bagai kunang terbang di seputaran tubuh yang kedinginan, menggoda untuk didekap. Ia pun menghubungi Ashley. Namun, yang Aaric dengar suara seorang pria yang tidak asing lagi milik Jim supirnya.
"Dimana, Ashley?" tanya Aaric. Yang ditanya pun menjawab wanita itu sedang ke toilet. Tak ingin terlibat dalam urusan kedua orang itu, Aaric memutus sambungan intercom setelah berpesan agar Ashley segera ke ruangannya.
Tak lama kemudian Ashley masuk tanpa mengetuk pintu sesuai aturan yang Aaric buat. Wanita itu terkejut melihat ruangan yang berantakan namun segera menguasai diri. Aaric memberinya tugas untuk menghubungi madame Olivia, penyedia kunang-kunang itu.
"Anda ingin massage, Sir? Tidak sedang bercanda 'kan?" tanya Ashley memastikan pendengarannya.
"Sedikit pijatan di bahuku cukup untuk saat ini."
Ashley tahu tidak mungkin atasannya itu cukup hanya pijatan di bahu. Pasti merambah ke lain-lain. Ia pun segera melaksanakan tugas yang diberikan Aaric. Kurang dari lima menit tugas itu sudah selesai. Tukang pijat profesional yang merangkap layanan plus-plus akan tiba di ruangan itu besok.
"Apa ada masalah dengan pendengaranmu, Ashley?" Aaric menguji.
"Tidak, Sir. Sepuluh menit lagi kita akan meeting dengan Skandinavian akan telat jika harus pijat dulu. Itulah tadi kukira Anda bergurau seperti biasanya," terangnya penuh percaya diri.
"Baiklah, aku akan bersiap," jawab Aaric melembut menetralkan perasaannya sendiri. Telat meeting dengan bangsa Viking akan berakibat fatal bagi karirnya. Setelah memberi perintah pada Ashley untuk membersihkan ruangan kapal pecah itu Aaric berlalu menuju wastafel membersihkan jari-jarinya dari sisa darah yang mengering. Kucuran air itupun mengalir ke gorong-gorong bersama luka hati Aaric yang kembali menyelinap ke dalam dadanya.
***