bc

Om CEO

book_age18+
1.6K
IKUTI
15.3K
BACA
billionaire
playboy
scandal
badboy
goodgirl
sensitive
CEO
boss
drama
like
intro-logo
Uraian

Mary Jenkinson, seorang gadis yang terlahir dari hubungan tidak sah berjuang mencari sang ayah yang menjadi misteri. Sedangkan Ellena, ibunya, semakin menikmati hidup bebas yang ia jalani di Prancis setelah didepak dari rumah oleh mendiang orang tuanya.

Mewarisi sebagian besar kekayaan keluarga Jenkinson membuat Mary memanfaatkan keadaan itu untuk menekan ibunya agar mengungkap kebenaran tentang sang ayah. Namun, Ellena yang hanya pulang sesekali ke tempat tinggal mereka di kota Egham tetap keukeh menyimpan rahasia itu. Sifat tempramen pada diri Ellena memicu pertengkaran demi pertengkaran yang mendominasi setiap perjumpaan mereka.

Sementara itu, untuk memperluas jaringan bisnis, Rudolf Hill, adik dari mendiang sang kakek mengatur perjodohan antara Mary dengan Aaric Fox. Seorang pria populer, mantan model majalah fashion di New York yang kini menjalankan kerajaan bisnis keluarganya sekaligus ketua yayasan di kampus Mary.

Sikap agresif Aaric yang dengan sengaja membawa Mary ke sebuah pesta dan langsung menyatakan pada media masa bahwa Mary adalah calon istrinya sebelum gadis itu tahu tentang perjodohan yang sudah diatur, membuat Mary semakin takluk pada pria yang terpaut usia jauh darinya itu. Ternyata diam-diam Mary telah mendambakannya selama bertahun-tahun.

Kehadiran Brad Braxter, saudara tiri Aaric yang ingin menuntaskan dendam kesumat adalah parasit Bedbugs yang merayap di celah-celah sempit, menghisap dan menggelikan bukan main dalam hubungan dua sejoli itu.

Keisengan Brad memuncak ketika mengetahui Mary pergi ke kota Bath seorang diri. Kesempatan itu ia gunakan untuk mengganggu Aaric dengan 'sedikit' ancaman. Tak ayal paniknya Aaric sehingga ia memacu mobilnya tengah malam menuju kota itu. Sialnya, mobilnya kehabisan bensin di daratan kosong Salisbury. Keadaan itu memaksanya untuk berlari melintasi ladang gandum dan peternakan domba serta beristirahat di Stonehenge yang mistis.

chap-preview
Pratinjau gratis
Part 1
Burung-burung Robin mematuki serangga di dahan pohon plum, menjatuhkan beberapa tangkai daun di antara rumpun bunga bakung yang melingkar di bawahnya. Salah satu tangkai itu jatuh di atas komik klasik ternama asal Prancis dalam pangkuan seorang gadis yang duduk di bangku panjang. Kampusnya terletak di sebelah kiri, sedang sebelah kanannya perusahaan penerbitan. Dipisahkan oleh taman yang kira-kira sama lebar dengan seperempat panjang lapangan bola, kedua bangunan itu merupakan bagian dari Fox Group yang tersohor. Beberapa kali gadis itu melengkungkan senyum disertai rona merah di wajah. Ia nampak asik, tak terusik oleh angin musim dingin yang menerbangkan beberapa helai rambutnya. Mungkin karena sangat suka dengan komik di pangkuannya. Dentuman sepatu seorang wanita bertubuh ramping berambut pirang mengalihkan sejenak perhatian. Gadis itu menatap seksama, seperti berkaca pada sebutir embun. Wanita berambut pirang berhenti tepat di depan pintu ruangan yang menjadi pusat segala aktifitas di perusahaan. Dihuni seorang pria lajang yang pernah menjadi model majalah fashion kala remaja dan menjelma menjadi pengusaha muda tersukses di Eropa ketika berada di pertengahan kepala tiga. Aaric Fox, namanya. Tetiba salah satu dari dua daun pintu yang menghubungkan ruangan tersebut dari dunia luar serta merta terbuka, membentur dinding hingga bergetar. Gadis di taman terperanjat seperti dibangunkan dari tidurnya pukul empat. "Bereskan ini! Revisi dalam sepuluh menit!" bentak Aaric seraya membanting tumpukan berkas di hadapan si wanita tadi. Menimbulkan suara gaduh yang menyita perhatian para karyawan yang lalu lalang di sekitarnya. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik, beberapa yang lainnya berjalan cepat menjauh dengan bijak. Aaric Fox berbalik dan hilang ditelan pintu berukir serupa hiasan renda khas gaya gotik yang dulu populer di abad pertengahan. Gadis itu langsung bangkit dengan mengernyit. Ia membantu si wanita mengumpulkan kembali berkas-berkas yang berserakan. "Tidak perlu repot-repot, Nona. Aku sudah biasa," ucap wanita dengan name-tag bertulis Ashley William di dadanya. Nada bicara yang cepat menunjukkan bahwa ia selalu berlomba dengan waktu. "Tidak masalah. Daripada aku diam saja menunggu supir menjemput," jawab gadis itu. Kedua bibir ranumnya rekah. "Sungguh baik hatimu, Miss Mary Rose." Ashley membalas senyum itu sembari mengusap peluh di dahinya. Mary hanya menanggapinya dengan senyum. Ia bergerak gesit mengumpulkan kertas-kertas itu. Wajahnya gusar setiap kali menemukan lembaran yang kotor. Sepertinya dia pandai berempati pada kesusahan orang lain. "Aku tadi melakukan kesalahan fatal. Itulah mengapa Tuan Fox membentak. Biasanya tidak seperti itu," sambung Ashley. Ada getaran aneh di tiap akhir kalimatnya. Mary tertawa menampakkan deretan gigi putihnya. Lalu, "apa katamu, Mrs. William? Setiap hari aku menunggu supir di taman dan setiap hari pula melihat Mr. Fox marah-marah padamu. Katakan itu pada media masa, padaku tidak perlu." Ashley tersenyum kaku. Seperti ketahuan mencuri sapu. Detik berikutnya tawanya membahana, meski wajahnya masih terlihat tegang. "Mrs. William, sepertinya kau akan dapat masalah. Lihat ini!" seru Mary seraya meraih selembar kertas yang mengapung di kolam berhias bebatuan andesit. Angin membuat air kolam terus bergerak hingga ia kesulitan mengambil kertas itu. Ikan-ikan yang kelaparan mengira benda putih tersebut santapan. Makin jauhlah dari jangkauan. Saat gadis itu hendak mengambil ranting kering sebagai perpanjangan tangan, ia terperanjat mendapati Aaric Fox sudah berdiri di belakangnya. "Pekerjaanku sudah kacau dan kau menambah masalah dengan menjatuhkan laporan penting ke dalam kolam, Nona? Jadi, kau ini pahlawan kesiangan untuk sekretarisku. Begitu?" cerca Aaric membuat gadis itu tergegap. Mary terbeliak. Gurat kepanikan terpancar jelas di wajah. Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu sebelum kembali bungkam sebab Aaric menyahut lagi, "tunjukkan tanggung jawabmu dengan mengetik ulang laporan itu dan memberikannya padaku besok. Aku sudah sangat bermurah hati memberimu waktu sebanyak itu." Pancaran mata biru pria itu menghunjam ke wajah Mary. Seolah-olah singa melihat rusa. Ujung bibir Aaric sedikit tertarik ke atas, ganjil. Mary mengarahkan pandangan ke rumput basah, menghindar dari tatapan pria jangkung tersebut. Beberapa saat kemudian ia mengiyakan perintah Aaric Fox. "Ashley, apa jadwalku sesudah ini?" tanya Aaric seraya berlalu angkuh meninggalkan Mary. Ashley yang sedari tadi diam pun tergopoh mengikuti langkah panjang atasannya. Ia menyebutkan beberapa kegiatan yang ditanggapi anggukan kecil oleh pria itu. Keduanya lenyap di ujung koridor yang menuju ke lokasi parkir. Mary terpaku sembari menekan d**a. Di matanya ada sorot harapan sekaligus gelisah. Menatap kertas basah itu ia tersenyum. Manis. Seakan hilang segala beban. *** Dengan langkah ringan, Mary mendekati si supir di pelataran kampus. Pria paruh baya itu sedang berbincang dengan petugas keamanan sebelum menyadari kehadiran nona mudanya. Segera saja ia bergegas membukakan pintu sebuah limousin hitam yang terparkir tidak jauh dari mereka. "Nyonya Ellena Jenkinson telah menunggu Anda di salon tidak jauh dari sini, Nona," ucap Tommy, si supir, ketika Mary sudah duduk di jok belakang. Gadis itu bergeming. Membuang wajahnya dari pria yang telah bekerja pada keluarganya nyaris dua puluh kali musim dingin. Matanya nanar menatap ke pelataran kampus yang lengang disertai gigi yang beradu. Sedang Tommy fokus menyetir, memasuki keramaian lalu lintas kota London. "Untuk apa aku memenuhi undangan itu, Tommy?" tukas Mary menatapnya dari kaca spion. Pria itu melirik sekilas juga melalui spion sebelum berujar, "Bagi para orang tua, anak-anak adalah kebanggaan, Nona. Anak adalah bagian dari diri orang tua itu sendiri. Aku membayangkan jika anakku suatu saat menentangku. Entah, bagaimana harus kujalani hidupku jika itu terjadi." "Tapi aku dan anakmu berbeda, Tommy!" bantah Mary nampak kesal dengan ucapan cenderung membela sang ibu yang dilontarkan oleh pria ujung senja itu. "Kedua orang tua anakmu utuh dan mencurahinya dengan kasih sayang, sedangkan aku? Bahkan aku tidak pernah tahu siapa ayahku. Pria yang membuatku lahir dari seorang remaja berusia enam belas tahun dan ibuku itu, wanita seperti apa yang bahkan tidak memiliki sedikit pun sifat keibuan. Aku anak kandung yang disia-siakan lebih dari anak tiri. Undangan makan malam ini tidak lebih untuk mengelabuhiku agar masuk perangkapnya," tambah Mary. Api berkilat-kilat di matanya. Wajah pualamnya memerah sempurna. Mary melepas jaket rajut yang dikenakannya dan melempar sembarang ke kursi penumpang yang kosong di samping. Seolah bersama jaket itu ia menghempaskan amarah. "Seseorang pasti memiliki alasan terhadap setiap keputusan yang dipilihnya, Nona. Nyona Ellena pun begitu hanya tidak mengatakannya." Ekspresi Tommy tak berubah. Ia tetap fokus membelah jalanan, waspada pada rambu-rambu lalu lintas yang menjamur di kota itu. Mary menyandarkan kepala dengan kasar pada jok mobil berbungkus kain beludru coklat yang lembut. Ia memejamkan mata, menghela nafas panjang. Sinar matahari menyusup melalui kaca mobil yang jatuh di hidung lancipnya tidak jua mencairkan ketegangan di wajah jelita gadis itu. *** "Akhirnya kita sampai juga setelah menunggu di salon berjam-jam. Akan kutunjukkan padamu seberapa bagus seleraku, Mary," kata Ellena membanggakan diri ketika mereka memasuki sebuah restoran bergaya Italia. "Kau menghabiskan uangku untuk hal tidak perlu. Belum jerakah kau, Bu? Kakek telah mendepakmu tanpa sepeser pun warisan. Seharusnya kau menyesal dan tidak lagi kecentilan di hadapan para pria," ucap Mary lirih di sela langkah mereka. Ellena terbahak mendengarkan ucapan putrinya hingga para pengunjung lain menoleh ke arah mereka. Sepertinya ia memang suka mengundang perhatian banyak orang. "Kekasihku telah menyewa ruang pribadi untuk kita, Sayang. Kau beruntung sekali karena sebentar lagi dia menjadi ayahmu," ujar Ellena dengan nada agak keras. Namun, tatapannya mengintimidasi Mary Rose. Dengan langkah berat gadis itu pun mengikuti ibunya menaiki tangga lebar. Di sekitar mereka para pelayan berpakaian apik berjalan hilir mudik. Mereka memasuki sebuah ruangan yang terletak di balkon luas. Hanya ada tiga kursi dengan meja berhias bunga berwarna semarak. Salah satu kursi telah diduduki pria yang memakai setelan jas model kenamaan meski tampak kontras dengan tubuhnya yang tambun. Pria itu langsung berdiri melihat keduanya. Rambutnya klimis dengan beberapa uban yang mulai tumbuh. Ellena mengenalkan Antony Smith pada Mary. "Senang bertemu Anda, Mr. Smith," kata Mary sembari berjabat tangan dengannya. Ellena menyenggol lengan gadis itu. "Panggil daddy, Lof," ujarnya bersemangat disambut tawa oleh Antony. "Kau memiliki putri yang menawan, Honey. Pantas saja kau tidak mau kalah pamor darinya," kata Antony. Pandangan pria itu menyusuri tubuh Ellena yang tampil mewah dengan memakai gaun malam hitam berbordir manik-manik kristal. Antingnya berkilauan diterpa cahaya dari lilin-lilin di sudut-sudut ruangan. Sangat kontras dengan Mary yang hanya mengenakan gaun mini brokat berwarna merah muda. "Ia mewarisi semua itu dariku. Sebenarnya saat kau memuji putriku kau pun sedang memujiku, Darling," kata Ellena semringah. Tak henti-henti ia menyunggingkan senyum di depan pria itu. Ellena dan Antony kemudian berbincang mesra tak menghiraukan keberadaan Mary. Dengan wajah masam gadis itu melempar pandangan pada violinist yang berdiri di tengah ruangan, memainkan My Heart Will Go On dari Celine Dion. Pemusik itu hanyut dalam penghayatan sampai mengabaikan helaian rambut yang tersampir di wajahnya. Bayangan seorang pelayan berdasi kupu-kupu yang melangkah ke arah mereka merampas perhatian Mary. Pelayan itu menyajikan Bruschetta, appetizer khas Italia. Tanpa formalitas memilih menu, tanpa memberinya pilihan. Rahang Mary seketika mengeras. Memandang tajam Ellena dan Antony bergantian. "Antony tadi terlalu lama menunggu kita, Sayang. Jadi, aku mintanya memilihkan menu untuk kita. Awalnya ia menolak segala hal sebelum bertanya dulu padamu. Tapi, aku bilang kau akan selalu setuju pada apapun keputusanku. Termasuk sementara waktu Antony akan tinggal di rumah kita," jelas Ellena sembari mengusap d**a kekasihnya. Tentu sudah mafhum makna tatapan itu. Mary seketika bangkit. Lalu, "Aku sudah duga. Maaf, Tuan Smith. Aku ada janji dan harus segera pergi." Gadis itu melenggang dari ruangan. Tangannya meremas ujung gaun hingga kusut. Langkah kakinya lebih panjang dari biasa. Ketika hendak melewati pintu, secara mengejutkan bahunya dicengkeram dengan kasar. Refleks Mary berbalik, langsung sebuah tangan mendarat dengan kasar di pipi. Menyisakan bekas merah. "Kau memalukan, Mary," desis Ellena. Matanya terbelalak. Pelayan berdasi kupu-kupu sempat melihat ke arah mereka sebelum akhirnya masuk ke pintu dapur di seberang ruangan sembari bergumam tidak jelas. "Sebuah tamparan terlalu murah untuk pendirianku, Ibu. Memalukan katamu? Tidak memberiku kesempatan memilih menu dan menyetujui Antony tinggal di rumahku sesuka hati. Kenapa kau bisa sedang aku tidak? Kakek telah memberikan rumah itu padaku. Hakmu hanya sebatas tamu. Jangan pernah lupakan itu, Bu!" kata Mary seraya tersenyum sinis. Bibir bagian bawahnya bergetar. Mendengar keberanian putrinya Ellena mencengkeram lengan Mary dengan kuat. Desisan serupa kobra mengamuk lolos dari mulutnya. "Dengar aku, Mary. Kau sedang membenturkan dirimu sendiri ke tembok besi dengan terus menanyakan siapa ayahmu. Kau akan hancur sendiri. Ini kelima kali dan akan jadi yang terakhir kau menolak pernikahanku," bisiknya geram di telinga gadis itu. Senyum yang tadi ia tampakkan di depan Antony telah minggat entah kemana. "Hancur demi mendapatkan yang diinginkan itu lebih baik daripada melakukan hal sia-sia dengan memaksaku menyetujui pernikahanmu, Ibu," tukas Mary seketika melepaskan cengkeraman Ellena. Ia berlari mengambil jarak terjauh. Mengitarkan pandangan. Mungkin berharap tidak ada tamu lain di tempat itu yang menyaksikan pertengkaran memalukan mereka. Ia pun segera berhambur menuju pintu putar. Sedang Ellena mematung di tempat sembari memijat pelipis. Wanita bermata lebar itu kemudian berbalik. Dalam sepersekian detik senyum kembali menghiasi wajahnya. Seolah tangan tidak melakukan apapun dan lidah tidak bergerak sedikit pun. Di lantai dasar restoran mewah itu dentuman sepatu mengiringi bulir air mata yang jatuh dari netra Mary. Ia mengelus pipinya yang memerah, bekas tamparan tadi. Rintihan lirih lolos dari bibir yang mengatup rapat. "Aku tidak punya cara lain, Ibu. Aku tidak punya. Maaf ...." ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

GAIRAH CEO KEJAM

read
2.3M
bc

Sekretarisku Canduku

read
6.6M
bc

See Me!!

read
88.2K
bc

Partner in Bed 21+ (Indonesia)

read
2.0M
bc

I Love You Dad

read
286.6K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
122.9K
bc

HYPER!

read
573.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook