Aku sudah siap, meski belum mandi. Cukup memakai parfum beberapa kali dan aku sudah jadi cantik lagi. Malam ini aku mengenakan celana jeans dan jaket tebal mengingat malam ini cuacanya dingin. Aku pamitan pada mama sebelum pergi saat pacarku itu mengirim pesan bahwa sudah ada di tempat dimana biasanya dia menjemputku.
“Ma,” teriakku.
“Ya?” sahut mama tanpa beralih dari layar TV, lagi asyik nonton acara TV.
“Naya keluar dulu,” pamitku.
“Kemana?” tanya mama.
“Ada perlu sama temen,” jawabku lalu bergegas pergi sebelum mama menginterogasiku lebih jauh.
“Jangan malem-malem,” pesan mama.
“Iya,” sahutku setengah berteriak karena aku sudah berjalan keluar dari rumah.
Aku setengah berlari, menyusuri jalan sempit yang biasa ada di komplek perumahan padat. Walau kotaku tidak sebesar ibukota, gang di sini bisa dibilang sempit dan menyesakkan. Sekitar tiga menit waktu yang kubutuhkan sampai akhirnya berhasil menemuinya.
“Lama,” keluhnya.
“Masih pamit mama,” kataku seraya naik ke sepeda motornya.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Lah yang ngajak siapa?” kataku melempar pertanyaan.
Dia hanya menghela napas lalu mulai menyalakan sepeda motornya. Sepeda motor pun mulai berjalan pelan meninggalkan area rumahku.
Udara sedikit dingin—bukan mau modus, kulingkarkan tanganku di pinggangnya dan kurebahkan kepalaku di punggungnya. Merasa hangat, kupeluk ia lebih erat.
“Betah amat,” sindirnya.
“Dingin,” kataku sekenanya.
Dia tersenyum geli dan menggenggam tanganku yang melingkar kuat di pinggangnya.
“Sudah makan?” tanyaku.
“Belum.” jawabnya.
“Mau makan?” tanyaku menawarkan.
“Boleh,” jawabnya. “Tapi aku nggak bawa uang,” imbuhnya.
“Nggak apa-apa, aku yang traktir!” sahutku.
“Okey,” katanya. Dia memang bukan lelaki jaim yang sok jaga image dan sikap itulah yang sedikit banyak membuatku tertarik padanya.
Malam semakin menanjak dan tak terasa sudah dua puluh menit kami hanya menyusuri jalanan yang lengang karena kami memang sengaja mengarahkan sepeda motor meninggalkan kota yang ramai. Alasan utamanya untuk menghindari peluang bertemu dengan temannya. Bisa gawat kalau ketemu, dia bilang begitu saat itu.
Tiba-tiba ia menepi, menuju sebuah warung bakso di pinggir jalan. Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi bertengger di bahunya.
“Makan di sini ya,” katanya sambil memarkirkan sepeda motornya.
Aku hanya mengangguk lalu turun dari sepeda motornya. Setelah itu aku mengikutinya yang berjalan lebih dulu menuju ke warung bakso. Kami berdua masuk dan tidak terlihat pengunjung satu pun. Aku rasa kami adalah pembeli pertama. Dia memesan bakso dan minuman. Setelah itu duduk di sebelahku yang sudah duduk duluan.
Kami duduk bersebelahan dan sembari menunggu pesanan datang, ia mengulurkan tangannya.
“Handphone!” pintanya.
“Ngapain?” tanyaku.
“Ngecek,” jawabnya sambil berupaya mengambil handphone yang kupegang.
“Nggak mau,” kataku seraya menjauhkan handphoneku darinya.
“Dih gitu,” katanya tampak kecewa.
“Biarin!” kataku.
“Nih, handphoneku kamu pegang juga, kau geledah kalau perlu!” katanya sambil mengulurkan handphonenya.
“Nggak apa-apa?” kutanya dia.
“Nggak apa-apa, nggak ada rahasianya juga.” jawabnya santai.
Aku pun memberikan handphoneku lalu kuambil handphone miliknya. Kuperiksa semua, dari pesan BBM, Wa sampai galerynya. Dia hanya punya dua sosmed jadi yang bisa kuperiksa hanya dua itu. Kulihat-lihat galerynya dan tidak ada yang spesial. Chatannya juga biasa saja. Kalau tidak nanya tugas, obrolan para cowok di kelasnya atau hanya sekedar info lomba.
Aku terdiam saat kulihat sebuah pesan wa yang cukup berada di bawah. Pesan itu dari Zie Malisa. Seketika aku merasa badmood. Memang tidak mesra, hanya sebatas tanya-jawab soal tapi itu sudah mampu membuat hatiku mendidih.
“Kenapa?” tanyanya, sepertinya dia peka saat aku marah.
“Kesel,” jawabku lalu meletakkan handphonenya di meja.
“Zie?” tebaknya yang langsung kusambut dengan anggukan kepala.
“Cuma nanya soal,” terangnya.
“Tetap aja cemburu,” kataku masih saja marah.
“Kenapa?” tanyanya lagi, belum paham betul sebab aku marah.
“Kesel ya kesel,” jawabku jutek, merasa sebal karena dia tidak peka. Walau sbenarnya hal ini tidak perlu diperdebatkan jika kuingat lagi hal itu.
Dia meletakkan handphoneku yang awalnya dia pegang. Dia genggam tanganku lalu mengusap lembut pipiku.
“Aku hanya mencintaimu lho,” katanya.
Aku hanya diam.
“Udah tahu,” sahutku.
“Udah tahu masih cemburu?” tanyanya.
Aku anggukan kepalaku dan dia tertawa geli. Aku tatap ia sinis dan ia hanya tertawa. Dia pererat genggamannya dan menatapku lekat, tawanya berubah menjadi sebuah keseriusan dalam hitungan detik.
“Segitunya nggak percaya sama aku?” tanyanya yang seketika membuatku tertegun.
“Sudah berapa kali kubilang? Aku hanya mencintaimu dan terlepas dari siapapun yang mendekatiku, aku hanya milikmu,” jelasnya.
Aku terdiam, rasa bersalah tiba-tiba menguasaiku dan membuatku menitikkan airmata. Ia usap airmata di pelupuk mataku.
“Namanya Zie Malisa, teman sekelasku. Sejak SMP, kami sudah saling kenal walau berbeda sekolah. Dia sering mengikuti lomba yang sama denganku, kemampuannya juga lumayan sehingga kami sering bertukar informasi soal lomba. Hanya itu, tidak lebih,” ia berhenti sejenak. Mengamatiku yang hanya mampu menundukkan kepala.
“Saat SMA, kami bertemu lagi, satu kelas juga. Tapi perasaanku padanya hanya sebatas teman sehingga pada akhirnya aku tahu dia menyukaiku dari temanku yang lain. Akhirnya aku jauhi dia, perlahan karena aku nggak pernah mau pacaran. Tapi..” Ia menggantungkan kalimatnya lagi.
“Semua berubah saat aku bertemu denganmu. Aku melanggar prinsipku untuk nggak pacaran, aku ajak kau pacaran dan semakin kacau saat aku harus menerima kenyataan bahwa kita nggak seusia. Kamu bahkan menghilang dan itu membuatku hancur, sehancur-hancurnya. Kamu tahu?” Ia menegaskan kalimat terakhirnya dan membuat jantungku tertikam dasyat.
“Dia mendekatiku, teman-temanku menjodoh-jodohkan aku dengannya dan itu membuatku berpikir bagaimana jika kucoba agar bisa melupakanmu. Namun, aku nggak bisa jadi kuhentikan saja. Kami nggak pernah pacaran, hanya pernah beberapa kali kencan. Percayalah, saat aku dengannya yang kupikirkan hanya dirimu.”
Aku menundukkan kepalaku semakin dalam. Hatiku sakit dan airmataku mengalir cepat. Aku terluka dan semakin merasa berdosa karena telah menuduhnya.
“Makanya, kucari kamu sekuat tenagaku. Aku nggak bisa kehilanganmu, belum bisa. Aku masih mencintaimu dan bahkan seorang Zie Malisa yang sudah kukenal bertahun-tahun dan jelas menyukaiku, jelas seumuran dan setiap hari kutemui, nggak mampu meluluhkan hatiku. Aku nggak pernah mencintainya meski satu menit! Masih nggak percaya padaku?” ia bertanya, penuh penekanan dan sedikit nada kekecewaan.
“Ai,” panggilnya.
Aku mendongakkan kepalaku saat ia memegang daguku sebagai isyarat agar aku menatapnya. Mata kami beradu, wajah kesedihan di wajahnya terpanjtul jelas di mataku.
“Aku memang anak kecil, belum mengerti tentang cinta, pikiran wanita dan juga harus bagaimana untuk meredakan amarahmu. Tapi, bisakah kamu percaya padaku? Aku bukan tipe lelaki yang akan mengkhianati pasanganku,.” Ia berkata lagi, kali ini dengan begitu lembut. Dia meminta bukan memerintah.
Aku menganggukkan kepalaku pelan lalu spontan memeluknya.
“Maaf,” kataku.
Dia hanya merespon dengan menepuk ringan punggungku dan aku mendengarnya menghela napas panjang.
“Yaudah, jangan marah lagi ya,” pintanya.
Aku melepas pelukanku dan mengangguk mantap.
“Sip,” sahutnya lalu tersenyum lebar.
“Maaf, sudah selesai?”
Celetukan itu membuat kami menoleh dan langsung malu saat kulihat penjual baksonya sudah berdiri dengan dua mangkok bakso di tangannya. Kami hanya menundukkan kepala, salah tingkah dan si penjual hanya meletakkan bakso pesanan kami di meja lalu berlalu dan kembali dengan dua buah es teh.
“Silahkan,” kata si penjual lalu meninggalkan aku dan dia yang hanya mampu diam, malu sekali. Sumpah.
Kami pun mulai makan. Kulirik dia yang makan baksonya hanya dengan kecap dan sambal. Ia memang tidak pernah makan pakai saos saat makan bakso, mie ayam atau apapun. Dia bilang saos di tempat makan warnanya beda, merahnya meragukan. Entah apa yang ia maksud dengan meragukan yang jelas selama setahun pacaran, aku tidak pernah melihatnya makan saos. Walau kami beli pentol atau sosis pun dia hanya suka makan dengan kecap atau putihan.
“Habis,” katanya sambil senyum.
Kulirik mangkok baksonya yang sudah kosong lalu beralih pada mangkok baksoku yang masih tinggal separuh. Aku memang tergolong lambat soal makan dan itu terkadang membuatnya mengejekku dengan kelemahanku itu. Dasar siput, begitulah cara ia mengejekku dan aku tidak keberatan atas itu selama dia tidak menyebutku gajah atau truk gandeng. Aku tidak suka dibilang atau disamakan dengan sesuatu yang berukuran besar dan menjurus pada kata “fat”.
Aku letakkan sendokku dan kugeser mangkok baksoku ke arahnya.
“Makan!” suruhnya sambil berpura-pura melotot.
Aku hanya tersenyum lebar.
“Kenyang,” kataku.
Ia menghela napas panjang.
“Kali ini aja ya, kalau beli lagi dimakan sendiri!” katanya.
Aku mengangguk.
“Iya, iya,” sahutku.
Ia mulai memakan baksoku dan aku hanya tersenyum melihatnya. Iseng, kuambil handphoneku dan mulai kufoto dia. Dia sempat menutup mukanya dengan tangannya tapi kusuruh dia menyingkirkan tangannya. Ia menurut dan kami saling tertawa, bahagia seolah lupa kalau kami baru saja berdebat.
Tak lama setelah itu, kami memutuskan untuk pulang. Tentu saja bayar dulu, aku yang bayar. Sudah janji traktir walau terkadang ia yang mentraktirku.
“Kencan berikutnya, aku yang bayar,” katanya saat aku naik ke sepeda motor.
Aku hanya mengangguk pelan.
Sepeda motor pun mulai melaju, meninggalkan warung bakso. Aku melingkarkan kembali tanganku di pinggangnya dengan kepala yang bersandar di bahunya.
“Aku cinta Ai,” bisiknya dan aku hanya tersenyum menatap langit malam yang entah mengapa begitu indah di malam ini.