6. Mantan

1197 Kata
Pagi yang indah, aku senyum lebar dan mengenang peristiwa semalam. Hatiku gembira, senang tak terkira, udah mirip lagu anak-anak kecil itu. Kesalahpahamanku dengan pacarku sudah selesai dan aku rasa memang tidak seharusnya cemburu. Dia mau menerima aku dengan keadaanku yang seperti ini saja itu sudah wujud nyata dari seberapa besar dia mencintaiku. Aku tidak perlu meragukannya lagi soal perasaan. Aku sudah berada di kampus, hendak keluar untuk fotocopy. Hari ini aku presentasi dan makalahku belum difotocopy. Semalam aku lembur mengerjakannya. Sama seperti halnya murid SMA, mahasiswa tidak jauh beda. Akan selalu ada teman k*****t yang jadi benalu, hanya titip nama di makalah atau sekedar bayar sumbangan. Bahkan ada yang datang kerja kelompok tetapi tidak untuk mengerjakan, hanya datang, ngabisin camilan atau pacaran. Menyebalkan. “Fotocopy, bang!” kataku kepada abang tukang fotocopy-nya. “Berapa rangkap, Dek?” tanyanya. “Lima,” kujawab. “Tunggu ya, duduk aja dulu!” suruhnya lalu mengambil makalah yang kuletakkan di meja. Aku mengangguk lalu duduk di kursi panjang yang memang sudah tersedia di sana. Aku menoleh kiri-kanan, belum banyak pengunjung. Hari memang masih pagi dan aku hanya melihat segelintir mahasiswa yang berada di warnet dekat tukang fotocopy.an. Ada juga yang sedang berdiri di dekatku, beli materai, beli lem dan ada yang hanya duduk tidak jauh dari tempatku duduk. Aku memandang jalanan di depanku. Deru kendaraan sedikit mengganggu. Ini memang di tepi jalan dan seharusnya aku sudah terbiasa dengan itu. Namun, manusia memang butuh pernyesuaian yang berbeda-beda. Begitu juga denganku, belum terbiasa dengan ini walau kampusku memang terletak di pinggir jalan raya. Ada sebuah mini bus berhenti, tidak jauh dari tempatku berada. Beberapa orang turun dan aku tertegun saat seorang lelaki juga turun. Ia mengenakan celana kain dengan baju kotak-kotak. Rambutnya agak ikal, belum kriting tapi, bibirnya rada tebal dengan warna yang agak merah, alisnya cukup lebat dan matanya sedikit sipit. Ia mengenakan ransel dan memegang sebuah makalah di tangannya. Ia berjalan pelan menuju tukang fotocopy dan aku hanya menunduk. Aku mengenalinya dan sungguh aku berharap ia tidak melihatku. Dia bukan musuhku, bukan teman juga. Hanya seseorang yang berasal dari masa lalu, mantan begitulah istilahnya. Kami pernah pacaran, cukup lama, 13 bulan dan kandas tanpa sebuah perpisahan yang dramatis. Dia terus berjalan, mendekat dan berdiri menunggu tukang fotocopy  yang sedang sibuk memfotocopy makalahku. “Berapa rangkap, Dek?” tanya si abang. “Enam, sekalian ntar sama sampulnya, Bang!” jawabnya. “Bentar ya, duduk aja dulu!” kata si abang. Tanpa diminta aku segera bergeser, menjauh, berharap dia tidak melihatku tapi baru saja berdoa begitu, dia melihatku. Sekilas mata kami beradu dan dengan mata yang berbinar dia berjalan ke arahku. “Naya,” sapanya dengan riang, sudah lupa soal masa lalu kelam kita berdua dulu. Aku hanya tersenyum kaku, terpaksa, kudongakkan kepalaku dan melihatnya. “Oh, Hai,” balasku, berupaya membalas sapaannya meski hati rasanya ingin segera pergi dari sana. “Gimana kabarmu?’ tanyanya, basa-basi pasti. Aku tidak percaya dia peduli. “Baik,” kujawab. “Kamu?” entah kenapa aku bertanya balik. Wujud kesopanan mungkin. Bagaimanapun aku manusia yang diajarkan untuk bersosialisasi bahkan sama mantan sekalipun. “Baik juga,” jawabnya seraya duduk di sebelahku. Aku hanya senyum, sambil sedikit menggeser dudukku. Rasanya tidak enak duduk terlalu dekat dengannya dan ia menyadari itu. Dia tertegun sejenak sebelum menggeser duduknya agak jauh dariku. “Ngapain di sini?” tanyaku lagi, berusaha mengusir kecanggungan yang sempat mendera. “Aku,” dia berhenti sejenak, sepertinya enggan melanjutkan. “Ketemu pacar?” tebakku. Dia tersenyum dan raut wajahnya menunjukkan bahwa tebakanku benar. Aku dan dia memang bukan satu kampus. Kami saling kenal di media sosial dan berlanjut pada kopi darat. Akhirnya kami pacaran dan putus setelah satu tanun lebih pacaran. Tidak ada perselingkuhan atau perdebatan, hanya sudah bosan dan berakhir tanpa perlu dikatakan. Dia mengangguk pelan. “Maaf,” katanya, merasa tidak enak. “Heh? Nggak apa-apa, kok!” kataku cepat, berusaha menyingkirkan praduganya bahwa aku masih menyimpan rasa untuknya. Demi ladang gandum yang belum jadi cokelat, aku sudah tidak memiliki perasaan apapun padanya. Saat ini yang kucintai hanyalah pacarku, ya walaupun dia masih anak SMA. Meski begitu, bagaimanapun pacarku itu seorang lelaki dan aku sudah cukup bersyukur untuk itu. “Mas,” panggilan itu membuatku dan dia menoleh bersamaan. Kulihat seorang wanita berjalan mendekat padanya. Dia sedikit memandangku dengan perasaan tidak suka dan mantanku itu ternyata peka bahwa pacarnya cemburu. “Kenalin, ini Aini, pacarku!” katanya memperkenalkan pacarnya. “Ini Naya, temanku,” ia juga mengenalkan aku. Aku dan Aini bertatapan sebentar lalu kuulurkan tangan padanya. Agak lama ia membiarkan aku lalu perlahan ia menerimanya, kami pun berjabat tangan singkat. “Maaf, kupikir kamu mantannya,” kata Aini mminta maaf. Aku tersenyum kecil. “Bukan, dia hanya teman,” bantah mantanku. Sekali lagi aku hanya tersenyum, miris. Jika ada lagu kekasih yang tidak dianggap, mungkin aku harus meminta penulis lagunya untuk merevisi atau membuatkan lagu tentang mantan yang tidak dianggap. Kami berpacaran setahun lebih dan yang kudapat setelah itu hanyalah kata teman, bukan mantan. Sedikit nyesek tapi belum sesak. Aku tidak begitu peduli, karena dia hanya masa lalu. “Yaudah, ayo temani aku jalan-jalan!” ajak Aini. “Aku masih mau fotocopy,” ujarnya. “Nggak usah, ayo!” desak Aini. “Ai,” panggilnya pada pacarnya dan aku seketika terdiam. Mendadak kangen pacarku. “Apa sih, aku nggak suka lama-lama di sini,” rengek Aini. “Tapi dia cuma teman, bukan mantan atau gebetanku,” jelasnya, berusaha membujuk pacarnya. “Nggak mau tahu, aku nggak suka!” Aini merengek lagi. “Dam,” panggilku pada Adam yang lagi berdebat dengan pacarnya. Adam menoleh ke arahku. “Aku duluan,” pamitku lalu menghampiri tukang fotocopian. Setelah membayar, aku pun pergi. Sempat aku menganggukkan kepalaku pada Aini, sekedar basa-basi untuk pamitan karena malas ngomong secara langsung. Cukup jauh, aku menengok ke belakang, bukan buat melihat Adam, hanya ingin memastikan perdebatan mereka tidak berlanjut. Kulihat keduanya sudah duduk berdua, rukun lagi dan aku senang karena sudah memutuskan untuk pergi. Handphoneku bergetar. Kutengok, ada pesan masuk. Ai, aku habis olahraga. Ai masih kuliah ya? Semangat ya, cantik buat presentasinya. Aku cinta Ai. Begitulah isi pesannya dan bak mantera sihir pesan darinya membuatku semangat lagi seolah peristiwa barusan tidak pernah terjadi. Iya, yang. Yang juga jangan lupa sarapan. Aku juga sangat mencintaimu. Kuketikkan balasan dan mengirimkannya. Sedetik kemudian pesanku berbalas, pacarku itu sudah mengirimkan aku fotonya dengan masih mengenakan baju olahraganya. Ia tidak berfoto ganteng, semuanya dengan ekspresi jelek. Ada yang manyun, memble dan bahkan ada yang matanya sengaja dibuat melotot. Sungguh, hanya dengan itu aku sudah tertawa. Receh sekali aku memang dan aku sangat bangga dengan itu. Aku menghela napas panjang, hatiku sudah kembali lega. Bertemu mantan sungguh membuatku resah. Aku tidak pernah menduga akan bertemu lagi dengannya. Namun aku sangat bersyukur tidak ada emosi apagi benci di antara kami. Aku tidak suka bermusuhan dengan siapapun, terkecuali jika terpaksa. Terpaksa pun aku akan memaafkan jika musuhku meminta perdamaian. Sungguh. Jadi, ketika mantanku mengatakan aku hanya teman baginya, itu sudah cukup dan aku tidak mau mengharap lebih. Adam Trisakti Perwira Alamsyah, mantanku, terimakasih karena sudah meninggalkan aku. Terimakasih sudah meluangkan waktu dan tenagamu untuk mencintaiku dulu. Terlepas keadaan kita sekarang, aku masih ingin berterimakasih. Karena berkat kepergianmu, aku bisa bertemu dengannya—seorang lelaki yang kini kucintai dan sangat kusyukuri karena menemani hari-hariku di hari kemarin, hari ini dan kuharap juga nanti. Aamiin. Masa lalu tercipta bukan untuk membuat seseorang tetap diam di tempat dan menolak maju karena luka. Ia tercipta untuk menjadi sebuah acuan agar manusia menjadi lebih baik lagi di masa-masa berikutnya, terutama masa kini. Karena manusia bukan hidup untuk masa lalu atau masa depan, tapi di masa kini. Dan aku juga mulai memahami, bahwa cinta pun demikian. Ia ada untuk seseorang yang dicintai hari ini, bukan orang yang kemarin atau masa datang. Namun jika boleh berharap, aku ingin dia—pacarku, menjadi satu-satunya lelaki yang akan kucintai di tiga waktu itu. Semoga.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN