9. Berita Mengejutkan

1372 Kata
Rasanya terlalu terburu-buru untuk maju, di saat kita tidak pernah tahu tentang apa yang sudah menunggu di depan. Keyakinan yang coba dipertahankan, mendadak nyaris ambruk saat rintangan datang tanpa pemberitahuan.             “Aku akan memperkenalkanmu pada seseorang. Dia adalah anak dari teman mama. Orangnya ramah, mapan dan sangat baik. Kamu tidak akan menyesal mengenalnya, Nay.” Mama tanpa basa-basi memberikan pernyataan yang mencengangkan. Ini bukan lagi soal cinta, melainkan pemaksaan agar aku segera menuju ke pelaminan. Walaupun mama tidak secara gamblang mengatakannya, aku bisa menebak apa yang mamaku pikirkan. Usiaku memang sudah cukup untuk berumah tangga, tetapi aku belum berkeinginan untuk menikah, terutama karena yang aku cintai, masih belum siap untuk melangkah ke jalan itu.             “Naya masih kuliah, Ma,” kataku berusaha untuk menjadikan pendidikan S2 yang belum selesai ditempuh sebagai pertahanan terakhir untuk menghalau niat mama yang sangat jelas.             “Kalian bisa bertemu dulu, Nay. Kalau cokok, kalian bisa bertunangan sampai kamu selesai S2, setelahnya baru kalian menikah. Mama jamin, dia adalah orang yang setia, tidak akan berkhianat,” sahut mama meyakinkan.             Aku meraih gelas, menuangkan air dan meneguknya setengah. Tenggorokanku mendadak kering. Beruntung aku tidak sedang makan. Kalau tidak, mungkin aku akan tersedak sampai batuk-batuk karena jawaban mama.             Elvira, adikku, yang juga ada di ruang tamu hanya diam. Matanya mengawasiku secara diam-diam. Aku tahu dia tidak akan keceplosan atau berusaha dengan sengaja mengatakan pada mama kalau aku memiliki kekasih yang usianya jauh lebih muda dariku. Akan tetapi, tidak mudah untuk melewati masa-masa kritis ini, terutama karena mama yang meminta. Sejak dulu, mama adalah wanita yang keras kepala. Sifat itu juga diwariskan padaku dan Elvira, tetapi tidak terlalu dominan. Itu sebabnya, aku tidak percaya diri untuk menentang keinginan atau keputusan mama.             Aku mencintai D. itu adalah kebenaran yang tidak dibantahkan. Walaupun pada awalnya, aku tidak berniat serius dengannya. Kebaikan hati dan kenyamana yang dia tawarkan padaku membuatku benar-benar yakin untuk bersamanya. Menikah pun, aku bersedia. Sayangnya, D mungkin tidak pernah berpikir ke sana. Dia belum sedewasa itu untuk berani mengorbankan masa mudanya, demi seseorang sepertiku. Aku bukan orang kaya, tidak secantik model ataupun aktris drama dan belum memiliki pekerjaan mapan yang bisa dipamerkan. Bagaimanapun, aku dan D pada hakikatnya sama, kami hanya manusia biasa dengan status sosial yang biasa lalu jatuh cinta. Kami bersama, walau tidak tahu untuk berapa lama.             “Bagaimana keputusanmu?” Elvira menatapku dengan cemas, mungkin dia tidak ingin aku bersikeras menentang sehingga akan menimbulkan konflik antara aku dan mama. Bagaimanapun, mama adalah single parent yang sudah merawat kami dari kecil sampai sekarang. Tidak mudah untuk melakukan itu sehingga mendurhakainya demi cinta, tentu tidak masuk akal. Namun, cinta memang begitu bukan?             “Aku tidak ingin menikah,” sahutku disertai dengan desahan napas panjang.             Elvira juga melakukan hal yang sama, “Mama berharap kamu menikahi lelaki mapan, bukan brondong dengan masa depan tidak jelas.”             Sakit, pernyataan Elvira mengandung belati yang menusuk. Aku tahu dia tidak sedang menjelekkan kekasihku, tetapi bersama orang lain selain dirinya, untuk sekarang, aku tidak menginginkannya. Kebenaran memang selalu pahit, tetapi menerima kebohongan manis juga tidak lebih baik. Aku tidak mau menjalani hubungan karena terpaksa, meskipun mama yang meminta.             “Coba kamu temui saja,” usul Elvira. “Jika tidak cocok, kamu bisa mengatakannya pada mama. Aku akan membantumu bicara padanya.”             Aku menoleh ke Elvira dengan spontans, cukup terkejut karena dia bersedia membantu. “Kamu yakin?”             Elvira mengangguk, “Walau aku masih muda, aku berhak untuk berpendapat dan mengemukakan suaraku. Bukankah itu tertuang dalam pasal 28 UUD 1945?”             Aku mendesis, di saat situasi serius, Elvira masih melancarkan lelucon basi. Walau aku akui, leluconnya tidak cukup buruk, itu sedikit membantu mencairkan suasana tegang di antara kami.             “Walau dia setahun lebih tua dariku, aku tahu kamu mencintainya.” Haru, pernyataan Elvira membuatku sedikit mendapatkan kekuatan. Ini memang menyebalkan, tetapi jatuh cinta, memang tidak pernah memandang jenis kelamin, karakter dan lainnya.             “Apa menurutmu aku perlu bicara dengan D?” Aku menanyakan pendapatnya lagi.             Elvira mengangguk, “Aku rasa jangan. Kamu hanya menemui lelaki itu sekali, tanpa niat untuk apapun. Kamu tidak harus menceritakannya,” terang Elvira/             Aku hanya terdiam, berusaha mencerna jawaban dari Elvira. Setelahnya, aku hanya mengangguk, merasa usul Elvira ada benarnya. Aku tidak perlu bercerita pada D. Aku tidak ingin dia menjadi khawatir atau berpikir yang tidak-tidak. Bagaimanpun aku tidak setuju dijodohkan, hanya setuju untuk bertemu dengan lelaki yang mama sarankan. Mungkin, kami bisa berteman atau semacamnya. Lelaki dan perempuan yang dijodohkan, tidak selalu berakhir dengan pernikahan. Aku yakin tentang itu. Jadi, aku memutuskan untuk berbicara dengan mama, mengatakan padanya kalau aku setuju untuk menemui lelaki pilihannya. Hanya bertemu, bukan setuju untuk dijodohkan.             “Terima kasih, Sayang,” ucap mama seraya memelukku. Aku hanya menganggukkan kepala, sejujurnya hati masih sedikit ragu, tetapi masalah tidak harus dihindari, tetapi dihadapi. Aku bukan pengecut, setidaknya untuk masalah ini. Walau soal D, aku memang pengecut nomer satu di dunia. Aku tidak berani mengaku pada dunia jika kami sedang jatuh cinta, entah karena takut tidak disetujui atau aku takut untuk melihat reaksi orang-orang.             “Mama akan mengaturnya. Setelahnya, nanti mama akan beritahu kapan dan dimana kalian akan bertemu,” lanjut mama.             Aku kembali mengangguk, tidak banya merespons. Setelah kembali ke kamar, aku hanya melihat fotoku dan D yang aku jadikan wallpaper di ponselku. Wajahnya sangat menawan, terutama senyumannya yang sangat manis itu. Dia membuatku terpesona, membuatku lupa akan perbedaan usia di antara kami dan juga anggapan picik dan sempit para manusia.             Aku tersadar saat ponselku berbunyi, ada dering notifikasi. Aku dan D sekarang sudah memakai w******p, bukan BBM lagi. BBM sudah menarik diri dari dunia ini, kini dia telah menjadi kenangan. Zaman memang menakutkan, yang ada menjadi seperti tidak pernah ada, yang tidak pernah ada mendadak ada. Mungkin, hakikatnya, memang seperti itu. Seiring waktu, perkembangan teknologi memang selaras dengan kebutuhan manusia.             Aku tersenyum membaca pesan di ponselku, dari D. Dia baru saja selesai belajar dan mengatakan kalau dia merindukanku. Aku membalas pesannya, mengatakan kalau aku jauh lebih merindukannya. Percakapan di antara kami berlanjut, hanya obrolan biasa antara dua insan yang jatuh cinta. Aku tidak menyinggung soal perjodohan yang mamaku inginkan, juga persetujuanku untuk bertemu dengan lelaki itu. Aku tidak mau membuat D sedih atau merasa terbebani. Bagaimanapun, semua belum jelas. Juga, sejujurnya aku takut, takut untuk kehilangan D lebih cepat. Aku percaya padanya, tetapi tidak terlalu percaya pada diriku sendiri.             Aku dan D jarang berkomunikasi melalui telpon, karena hubungan yang rahasia, takut ketahuan, dan lain sebagainya. Alasan yang klasik, tetapi dunia memang seperti milik kami berdua saat aku berbicara dengannya langsung atau tidak ( melalui telpon). Itu sebabnya, kami saling menelpon jika di luar rumah atau saat di rumahku tidak ada orang. Kami memang berusaha untuk berkencan seminggu sekali, tetapi kami bukan pengangguran. Bagaimanapun, kami pelajar, meski jenjangnya berbeda, di mana tugas-tugas dan hal mengenai sekolah membuat kami harus mengorbankan waktu kebersamaan kami sebagai gantinya. Ini tidak adil, tetapi hidup memang seperti itu. Tidak ada banyak pilihan untuk kami berdua dan aku tidak mau menjadi egois. Walau kadang sebal saat D lebih memilih teman atau urusan sekolahnya dibanding bertemu denganku, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dia adalah murid yang cerdas, unggulan utama dan kebanggaan orang tua dan sekolahnya. Mau tidak mau, aku harus mengorbankan perasaanku demi dia. Demikian pula sebaliknya. Meskipun D jauh lebih banyak membuatku sebal dibandingkan aku.             Hari semakin larut dan sudah pukul sebelas malam. D sudah menyelesaikan tugasnya dan besok, dia harus sekolah pagi-pagi. Ada jadwal pelajaran olahraga dan harus datang jam lima pagi. Itu sebabnya, dia memohon diri untuk menyudahi obrolan kami. Aku yang masih harus begadang untuk tugas kuliahku hanya bisa setuju. Sedikit kecewa karena dia tidak menemaniku sampai selesai, tetapi bersikap egois hanya akan membuat hubungan kami menjadi buruk. Aku tidak mau itu terjadi. Bagaimanapun, hubungan kami selama ini jauh dari pertengkaran. Aku dan dia memang berusaha untuk calm down dan saling mengalah saat terjadi perselisihan. Mungkin itu salah satu alasan mengapa hubungan kami bisa bertahan sampai setahun lebih.             “Aku mencintaimu, Ai. Semangat ngerjain tugasnya, aku tidur dulu. Sampai jumap besok, cantik. Semangat!” D mengirimkan voice note.             Aku hanya tersenyum simpul, terus memutarnya beberapa kali lalu membalas pesannya. Agak menegangkan karena takut terdengar orang rumah, tetapi jam segini, semua sudah pada tidur. Aman.             “Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah dan sampai jumpa besok. I Love you too.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN