Chapter 14 - Undangan Alumni

1083 Kata
= Kantor TJ Corp. Ruangan Stanley = "Presentasi-mu cukup bagus tadi. Sudah ada kemajuan." Sinar kegembiraan tampak di wajah Adit, tapi binar itu tidak berlangsung lama karena perkataan berikutnya. "Tapi tidak cukup bagus untuk saya. Atau pun Ilyas." Salah satu tangan Stanley mengetuk-ngetuk pemberat kertasnya. Pria itu memandang bawahannya tajam. "Sudah berapa lama kau join, Dit?" Menelan ludah, Adit menjawab gugup, "Hampir 3 bulan, pak." "Selama 3 bulan ini, apa pencapaianmu?" Pertanyaan itu membuat Adit terdiam. Matanya nanar memandang ke tangannya sendiri. Dengusan terdengar dari mulut Stanley. Raut wajah pria yang biasanya ramah itu menggelap. "Saya masih memaklumi kegagalanmu menyampaikan materi di awal kau baru join. Saya juga cukup maklum waktu kau bilang kekurangan SDM dan memojokkan bawahan Herman. Tapi sekarang?" Mulut Stanley makin menipis melihat pria di depannya tertunduk. "Apa lagi alasanmu, Aditya? Dua minggu yang lalu, Andromeda berhasil merekrut 2 orang tambahan di tim-mu dan keduanya lulusan universitas top dengan pengalaman 1 tahun. Hanya dalam waktu 3 minggu, dia berhasil menemukan orang-orang qualified yang sesuai dengan kriteria-mu. Tiga minggu, Dit. Tiga minggu! Dan sekarang, apa pencapaianmu dengan tambahan 2 orang dalam 2 minggu ini?" Kedua mata Stanley bersinar liar saat kemarahan pria itu memuncak. Tangannya meremukkan tumpukan berkas berisi proposal Adit dan melemparnya bengis ke muka pria itu. Tidak menyangka tindakan kasar Stanley, tubuh Adit beku. Proposal yang telah ia dan timnya persiapkan, tampak tergolek kusut di lantai seperti tumpukan sampah. "Aku beri waktu kau 1 minggu, Aditya! Perbaiki proposal-mu sesuai keinginan Ilyas tadi. Pakai otakmu untuk melakukan analisa, bukan hanya copy-paste data dari internet! Gunakan networking-mu selama ini dalam mencari informasi dari orang dalam! Lakukan komparasi kompetitor! Adakan analisa pasar jangka panjang! Gunakan tim yang baru kau rekrut!! Kau ini dibayar mahal sebagai Manager Marketing, bukan Sales!" Teriakan Stanley terdengar menggelegar dalam ruangan kerjanya. Suara Adit gemetar saat akhirnya pria itu bicara, "Ba- Baik pak Stanley." "Keluar sekarang! Satu minggu lagi kita adakan evaluasi yang tadi!" Tidak berani menjawab, Adit hampir keluar ruangan saat geraman Stanley terdengar lagi. "Bawa proposalmu! Seharusnya itu masuk ke tong sampah dan bukan ruangan meeting!" Dua orang pria yang baru keluar dari lift terlihat mengangkat alis saat berpapasan dengan Adit yang berwajah sangat merah. Kepala lelaki malang itu tertunduk malu. Tangannya yang memegang map sedikit gemetar. "Selamat sore pak Ilyas. Sore pak Herman." Anggukan tanpa dosa diberikan Ilyas. "Selamat sore. Kau baru dari ruangan Stanley?" "Ya. Saya baru bertemu pak Stanley. Saya permisi dulu pak." Menggeser tubuhnya dari depan pintu lift, pria tinggi itu tersenyum lebar. "Silahkan." Setelah lift tertutup, pandangan Ilyas terarah pada para sekretaris direksi. Masih dengan senyumannya. "Stanley ada tamu lagi sore ini?" "Tidak ada pak. Jadwal pak Stanley kosong." Tahu yang dipikirkan rekannya, Herman merangkul bahu Ilyas. "Kau mau dengar cerita lengkap Stanley kan, Hag?" "Tentu saja. Aku penasaran apa yang sudah dia lakukan sampai anak itu jadi cengeng seperti tadi." Tertawa keras, sosok keduanya pun menghilang di balik pintu salah satu direksi. Pemandangan itu membuat Sheila menoleh pada Tantri. "Mereka ngomong pakai bahasa apa?" Kepala seniornya yang sedang menyusun dokumen itu menggeleng pelan. "Jerman. Tapi jangan tanya artinya. Aku juga tidak paham." Berfikir sejenak, Sheila tampak merenung. "Apa aku belajar bahasa Jerman juga, ya?" "Hah?" Menoyor kepala Sheila, Tantri memutar bola matanya. "Kembali kerja, Shel. Jangan banyak berkhayal. Orang-orang seperti mereka jauh dari jangkauan kita. Mereka tidak akan pernah melihat kita, selain sebagai karyawan atau babu. Lebih baik kamu baca n****+ atau nonton drakor saja supaya kehaluanmu terpenuhi." Sementara itu beberapa lantai di bawahnya, terlihat Ema sedang menerima telepon di mejanya. Wanita itu mengigit-gigit bibirnya dan wajahnya sedikit tegang. "Aku ga yakin, Tik. Aku sebenarnya sudah ada rencana minggu ini." Suara di seberangnya terdengar kesal, "Masa iya kamu ga bisa datang lagi sih? Ini sudah hampir 8 tahun, An. Sejak kamu pindah ke kota J, kita belum pernah kumpul-kumpul lagi. Sekalian kita mau berkunjung ke tempat Ade yang baru lahiran, jadi bisa ketemuan. Gimana? Kamu bisa kan?" Mencoret-coret sesuatu di kertasnya, Ema menghela nafas pelan. "Siapa saja rencananya yang mau datang?" "Aku dan Cia berangkat barengan dari sini. Paling di tempat Ade, nanti kita ketemuan sama Mimin. Kan dia sudah tinggal di kota J juga." Darah di wajah Ema seolah tersedot keluar. Wanita itu terdiam. "An? Andie? Kamu masih di sana, kan?" Berusaha menekan kegusarannya, Ema mengepalkan tangannya kencang. "Mimin ini yang mana ya? Tetanggamu yang dulu itu?" Nada cerah terdengar dari suara wanita di seberang, "Iya. Yang orang kaya itu. Kamu juga kenal kan? Kalau ga salah, dia pernah ketemu sama kamu dan Adit waktu kalian main ke rumah. Oh ya, kamu belum tahu kan? Adit sama Mimin sudah nikah loh!" Hati Ema kembali berdarah. Sekuat tenaga, wanita itu berusaha menahan air matanya. "Oh ya? Mereka nikah? Aku baru tahu." "Ya kan kamu ga datang. Padahal Adit sampe nyamperin kamu ke rumah. Tapi ternyata kamu sudah pindah. Kok dadakan banget sih, An?" Ema tertawa pelan. "Iya... Memang dadakan, Tik. Maaf ya, ga ngabarin kalian." Helaan nafas Tika membuat Ema bertanya, "Kenapa, Tik? Kok kayanya berat banget?" "Engga sih... Cuman terus terang, tadinya aku, Cia sama Ade nyangkanya kamu bakal jadian sama Adit loh. Soalnya kalian kan deket banget, dari mulai kamu bantuin skripsi-nya dia. Kita kira kalian pacaran. Lah kok tau-taunya si Adit malah jadian sama Mimin. Bukan sama kamu." Menyeka lelehan air dari hidungnya sepelan mungkin, Ema membuang tisunya yang kotor ke tong sampah. "Ya namanya jodoh. Lagian mereka cocok kan. Sama-sama dari keluarga kaya. Mimin juga S-1 kan?" "Ini pendapatku doang ya... Tapi Adit itu cocoknya sama kamu, tahu. Waktu kalian deket, keliatan banget si Adit rajin lagi ke kampus ngurusin skripsi-nya. Padahal kan sebelumnya kamu nge-joki-in dia. Bisnis mobil bekas dia juga maju kan gara-gara kamu bantuin dia cariin pembeli dan sparepart-nya lewat sosmed. Tapi setelah nikah, kok dia malah melempem. Karir-nya mentok, makanya mereka sekeluarga pindah ke kota J. Rumahnya sudah di jual tuh yang di sini." Menggelengkan kepalanya, Ema berniat untuk mengakhiri pembicaraan itu. Ia baru saja akan bicara saat ada notifikasi telepon masuk ke ponsel-nya. "Tik, sori. Ada telepon masuk. Nanti saja aku kabarin lagi ya." "Pokoknya kamu harus datang." "Iya, iya. Dah!" Terburu-buru, Ema langsung menekan tombol hijau di layarnya. "Selamat siang pak. Ada yang bisa saya bantu?" Perhatian wanita itu terpecah saat seseorang menghampiri mejanya. "An... Apa kamu sibuk? Ada yang mau aku bicarakan." Tanpa sepengetahuan Ema, pria di seberang telepon mencengkeram ponselnya erat-erat. Lelaki itu hampir mematahkan benda tipis itu jadi dua, saat terdengar jawaban wanita itu yang tegas. "Maaf pak Aditya. Saya sedang sibuk. Saya harus menjawab panggilan ini."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN