Chapter 13 - Si Tukang Tidur

1200 Kata
= Rumah keluarga besar Tjakradinigrat. Beberapa hari kemudian. Hari Sabtu = Sambutan untuk pria yang baru datang itu hangat dan menyenangkan. Setidaknya, pelukan dari beberapa orang di sana benar-benar tulus padanya. Seorang wanita berusia hampir 90-an menghampiri tamunya yang baru datang. Tubuhnya yang ditopang tongkat sudah renta, tapi wajahnya masih terlihat cantik. Tampak ia menjaga kesehatan dan penampilannya. "Ilyas! Kamu akhirnya datang juga!" Mencium pipi yang keriput itu, Ilyas memberikan kotak kado kecil yang terbungkus indah. "Selamat ulang tahun, Oma." Bukannya menerima kado itu, mata tua yang sudah rabun itu malah antusias mencari ke belakang cucunya. "Mana dia? Kamu bawa dia, kan?' Tersenyum kecut, pria itu mer*mas lembut lengan nenek-nya. "Maaf, Oma. Dia tiba-tiba sakit. Aku tidak bisa membawanya ke sini." Menepuk kencang tangan Ilyas, mata tua itu melotot ke arahnya. "Sudah aku duga! Kamu bohong kan?" "Bukan, Oma. Aku tidak-" "A-Ahim! Bener-bener nih cucu-mu tukang bohong!" Wanita tua itu meninggalkan Ilyas, yang pasrah ditertawakan oleh para sepupu dan juga keponakannya. Menggaruk kepalanya, pria itu pun membaur dengan keluarga besarnya. Saling bertukar kabar. "Sudah lama sekali tidak ketemu, Ilyas. Kapan kau terakhir ke sini?" "Sekitar 5 tahun lalu, mungkin? Saking lamanya, aku juga sampai lupa!" Jawaban itu membuat para sepupu iparnya dan juga paman-pamannya tertawa keras. Pria itu dengan lihai mulai melipir, menjauh dari kerumunan yang mulai asyik membicarakan pasangan dan juga anak-anak mereka. Ia baru saja mengambil minum, saat seseorang menubruknya dari belakang dan membuat minumannya sedikit tumpah. "Ilyas!" Memutar bola matanya, Ilyas menaruh gelasnya di meja dengan jengkel. "Lepaskan aku, Di." "Kamu katanya punya pacar? Bohong kan?" Salah satu sepupu terdengar menyeletuk, "Telat sih kamu, Di. Keburu kesambet orang tuh si Ilyas." Semua orang tertawa, tapi wanita itu malah penuh drama menangis sambil memeluk pria itu. Susah payah, Ilyas melepaskan diri dan memutuskan segera menyingkir dari sana. Telinganya masih mendengar suara tawa orang-orang saat ia akhirnya masuk ke ruang perpustakaan besar dan menghempaskan diri di sofa. Kepalanya menyender ke belakang dan mend*sah lelah. Mengusap wajahnya beberapa kali, pria itu mengamati ruangan itu yang sepi. Ia memang butuh ketenangan. Dirinya mengingat masa-masa kecilnya dulu yang sering menangis di perpustakaan karena sulit beradaptasi dengan keluarga barunya. Meski kehadirannya disambut, tapi ia tetap merasa sebagai orang luar. Tampangnya sama sekali tidak mirip satu orang pun dan saat itu, ia juga tidak paham bahasa yang digunakan orang-orang di sekitarnya. Sepanjang masa kecilnya, ia hanya mengandalkan kakek-neneknya dan juga orang tua angkatnya dalam berkomunikasi, sehingga mereka pun memutuskan tetap membesarkannya di Jerman. Masa-masa itu cukup berat tapi saat mengingatnya sekarang, pria itu malah tertawa kecil. Bibir pria itu masih tersenyum, sampai pintu kayu berat itu tiba-tiba terbuka dari luar. Di depan pintu yang terbuka, tampak sosok wanita cantik dan anggun yang tertegun memandangnya. Bibir merah itu bergetar dan ia mengeluarkan suara yang merdu, "Albert..." Mata kelabu Ilyas mengerjap dan akhirnya menelusuri wanita itu dari ujung kaki hingga ujung rambutnya. Ia pun pelan berdiri dan mengantongkan kedua tangan ke saku celananya. Kepalanya sedikit meneleng dan bibirnya tersenyum simpul. "Yasmin. Aku tidak sangka kau akan datang hari ini." Mendapatkan sambutan yang cukup baik, wanita itu mendekat dan berdiri di depan Ilyas. Matanya yang indah memandang pria itu dengan binar yang pernah membuat lelaki itu bertekuk lutut. "Kamu kelihatan sehat, Al. Bagaimana kabarmu?" Senyuman Ilyas sedikit meredup. "Kabarku baik. Mana Bimo? Dia datang juga hari ini?" Kepala cantik itu menggeleng. Rambutnya yang panjang bergelombang terayun lembut. "Dia belum berani datang. Oma dan Opa masih belum memaafkannya." Mendengar itu, Ilyas membuang mukanya dan terkekeh pelan. "Tapi malah dirimu datang. Lucu sekali." "Al..." Memutar bola matanya, kepala Ilyas menggeleng pelan. "Nikmati saja pesta hari ini. Selamat siang." Langkah pria itu terhenti ketika tangan Yasmin memegang lengan Ilyas yang terbuka. Bulu mata lelaki itu bergetar saat merasakan sentuhan lembut dan sangat halus di lengannya. Sentuhan yang sama. Sentuhan yang dulu membuatnya sangat tergila-gila pada wanita ini, sampai dia menjadi m*niak dan hampir menjadi pria 'buta' karena sesuatu yang ia kira 'cinta'. "Lepaskan, Yasmin." Hembusan nafas hangat menembus kain kaos polo-nya. Ilyas tahu wanita itu bersender di punggungnya. "Al... Aku rindu kamu... Sangat rindu... Sudah lama kita tidak ketemu..." Pria mana pun akan merasakan desiran hasrat, saat tubuh wanita m*lek menempel seperti ini. Jantungnya masih berdebar untuk wanita ini, tapi ia sudah tidak merasakan apa pun. Apapun yang pernah dirasakannya dulu untuk Yasmin, telah lama layu dan mengering. "Aku tahu kau memang wanita tidak tahu malu, Yas. Tapi aku tidak sangka, kau akan bersikap serendah ini. Atau kau memang doyan melemparkan diri ke lelaki lain, saat sudah terikat dengan seseorang?" Perkataan tajam penuh sindiran itu berhasil membuat wanita di belakangnya menjauh. Tidak mengatakan apapun lagi, Ilyas segera keluar dari perpustakaan. Ia masih sempat menyapa beberapa orang dan akhirnya melajukan kendaraannya, menjauh dari kawasan perumahan itu. Setelah beberapa saat, dirinya pun menghentikan mobilnya di salah satu parkiran dekat mall. Hampir saja semuanya berantakan tadi. Menghela nafasnya, Ilyas tahu ia masih merasakan getaran pada wanita tadi. Dia laki-laki normal. Yasmin pernah membuatnya melayang hingga ke awang-awang, tapi wanita itu juga yang menjatuhkannya ke dasar. Ilyas tahu masalahnya dengan Yasmin belum tuntas. Atau sebenarnya sudah tuntas? Dia tidak tahu. Pria itu masih melamun saat perutnya berbunyi. Ia belum sempat makan siang karena keburu kabur tadi. Memutuskan untuk mencari makan, beberapa menit kemudian pria itu malah kembali ke mobilnya dengan dua bungkus makanan. Setelah bingung sebentar, ia pun menghubungi seseorang. Panggilan itu berlangsung beberapa lama, sampai akhirnya terdengar jawaban, "Halo?" "Halo, Em. Ini Ilyas." Tidak ada suara sebentar. "Pak Ilyas? Ada yang bisa saya bantu pak?" "Kamu sudah makan siang?" "Makan? Belum. Kenapa-" "Aku akan ke tempatmu sekarang. Jemput aku di lobi-mu sekitar 10 menit lagi." Dengan sengaja, pria itu menutup panggilannya dan langsung tancap gas. Dalam waktu kurang dari 20 menit, lelaki itu telah mengundang dirinya sendiri ke dalam apartemen seorang wanita. Matanya menelusuri ruangan itu dengan cepat dan hidungnya mencium wangi familiar. "Tempatmu nyaman, Em." Wanita yang mencepol rambut panjangnya itu menggaruk kepalanya. Ia tampak canggung sekali dan jelas tidak nyaman mengundang lelaki ke dalam tempatnya. Tapi ini Ilyas. Bos besarnya di kantor. Tidak mungkin dia menolaknya karena akan tidak sopan. "Hm. Silahkan duduk di sofa pak. Maaf, tempat saya mungkin terasa sempit. Bapak mau minum apa?" Gembira karena tidak ditolak, pria itu dengan santai selonjor di karpet dan menyender ke sofa. Tangannya mengambil remote TV dan mulai memilih saluran. "Air putih saja, Em. Sekalian piring dan sendok ya." Mulut Ema sedikit terbuka, lagi-lagi tidak habis fikir dengan kelakuan pria itu yang absurd. Para karyawannya di kantor pasti tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Dua orang itu pun akhirnya makan sambil menonton film. Beberapa kali keduanya saling berdebat mengenai tontonan dan film favorit masing-masing, sampai makanan mereka pun tandas dihabiskan. Menyimpan piring-piring kotor di wastafel, Ema menoleh pada pria yang masih menonton itu. "Saya mau buat teh. Bapak mau?" "Boleh." Lelaki itu masih fokus ke layar TV di depannya. Butuh waktu 10 menit bagi wanita itu untuk mencuci piring dan memasak air. Tapi ketika akhirnya membawa dua cangkir mengepul, Ema dihadapkan pada pemandangan yang membuatnya geleng-geleng kepala. Kepala Ilyas tengadah ke sofa, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan mulutnya terbuka cukup lebar. Kedua matanya terpejam erat dan terdengar suara dengkuran yang sedikit keras dari tenggorokannya. "Ini orang, kenapa seneng banget ketiduran ya?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN