Aya menatap ponselnya. Lelaki itu tidak lagi membalasnya.
Syukurlah!Apa sih maunya?Dia tidak mau aku macam macam, tapi buat apa kirim kirim pesan segala?Untuk apa menghubungiku?
Ih!!! Kenapa aku jadi kesal?
Bayangan malam itu kembali. Manggala mencium bibirnya dan menyentuh area sensitifnya. Ini membangkitkan rasa marahnya!
Tanpa sadar, Aya meremas kertas di meja!
Ahh.. Ingin rasanya membuat lelaki itu jera.Tapi, apa yang bisa aku lakukan?Kalau ingat wajah Bapak Suta.. Ah, ko aku jadi tidak tega.
Ok kejadian di balkon mungkin karena mabuk berat. Tapi di kamar hotel itu???Dia berani sekali melepas kancing kemejaku!!!
Aya menyilangkan tangan di dadanya. Ingin rasanya melindungi dan menutupi kedua buahdadanya saat itu, agar lelaki jahat bernama Manggala tidak melihatnya.
Tapi, apa daya! Dia terlalu kuat.
Untunglah si Manggala kurangajar tidak melanjutkan perbuatannya.
Aya lalu mengingat kemarahan yang muncul di mata lelaki itu.
Kenapa semarah itu?Kenapa dia seperti tidak siap menerima penolakan?Ah, sudah. Kenapa juga aku memikirkannya?
Tapi matanya.. Ia kembali mengingatnya.
Mata itu seperti memancarkan amarah tapi juga kesedihan.
Sedih kenapa?
Aya menggelengkan kepalanya berulang kali.
Sudah! Sudah!Kenapa juga aku terus memikirkannya?
Aya tak tenang. Ia akhirnya berdiri.
"Aku pergi dulu ke coffee shop," Ia berpamitan pada Marini, Kania dan Hesti.
"Ok bu," Marini membalasnya.
Aya menghubungi sahabatnya yang bernama Bestari Fakhira. Tari dan Aya telah bersahabat sejak sekolah menengah atas. Mereka dan Jana, bersahabat dengan baik.
Tari, "Yes sister."
Aya, "Di tempat biasa!"
Tari, "Ah ok!"
Sahabatnya itu seorang graphic designer sukses dan memiliki kantor desain sendiri di Bandung.
Setibanya di coffee shop, Aya tiba lebih dulu. Ia memesankan kopi kesukaannya dan Tari, lalu mencari posisi duduk yang berada di pojok.
Tak berapa lama, sahabatnya itu datang, "Hai. Ada apa?"
"Hhh.. Kamu pasti tidak akan percaya kalau aku ceritakan!" Aya menghela nafas.
"Ceritakan saja. Apa?" Tari menghirup kopi di hadapannya, "Ah, harum espresso memang the best."
Aya tersenyum, "Dua hari lalu, aku ke Jakarta kan? Tekadku bulat untuk mencari lelaki itu. Cinta pertamaku."
"Yes," Tari mengangguk, "Lalu?"
"Lalu, setibanya di hotel, malam itu, aku ke sky lounge, tiba tiba saja, ada lelaki melecehkanku!" Aya berteriak tertahan.
"Hah? Melecehkan bagaimana?" Tari langsung kaget.
"Dia mencium dan menyentuh bagian sensitifku," Aya berbisik.
"Gila! Apa maksudnya?" Tari bicara keras.
"Ssstt.. Banyak orang melihat," Aya meminta Tari bicara perlahan.
'Iya itu dia. Nafasnya bau alkohol. Dia mabuk," Aya berbisik, "Mungkin bisa jadi dia salah mengira aku dengan perempuan lain."
"Aku melaporkannya. Namun, singkat cerita ternyata dia CEO Grand Hotel Birawa yang artinya pimpinan di hotel tempat aku menginap," jelas Aya. "Itu sebabnya aku dipanggil ke ruangan sekretaris eksekutif. Dan ya sekretarisnya yang bernama Bapak Suta meminta aku melupakan kejadian tersebut."
"Jangan mau!" Tari memberengut kesal.
Aya tertawa, "Aku tentu saja tidak mau, Awalnya. Tapi lalu aku berpikir, dari cara Bapak Suta berbicara, sepertinya lelaki itu sumber masalah. Dan, jujur, aku tidak mau terlibat masalah."
"Akhirnya, karena Bapak Suta bilang akan membuatnya meminta maaf, aku berpikir untuk berdamai," jelas Aya.
"Eh, saat dia meminta maaf, ternyata kejadian terulang. Ahh!!!! Lelaki itu brengsekkk!" Aya kembali mengingat kejadian di tempat tidur. Betapa tubuhnya tersingkap dan lelaki itu menatapnya dengan dingin.
"A-APA?" Tari semakin kesal.
"Aku marah, dan akhirnya kembali ke Bandung. Rencanaku gagal total," Aya menarik nafas panjang.
"Kamu tidak terpikirkan untuk menuntut atau apa?" Tari mengerutkan keningnya.
"Aku tidak memiliki bukti atau saksi. Apa menurutmu para karyawan itu akan bersaksi melawan bosnya?" Aya mengerucutkan bibirnya.
"Tidak," Tari menggeleng.
"Iya, itu dia. Aku akhirnya menahan rasa," Aya mengetuk ngetuk meja. "Tapi, hal mengesalkan kembali terjadi."
"Apa?" Tari semakin penasaran.
"Dia datang ke butik!" Aya berbisik.
"WHAT? Darimana dia tahu alamatmu?" Tari kaget.
"Entahlah," Aya mengangkat kedua bahunya. "Saat di butik, dia mengancam dan mengintimidasiku. Bahkan merusak mannequin milikku."
"Ih, apa maunya lelaki itu?" Tari mengernyitkan keningnya.
"Nah, itu dia. Apa maunya? Bahkan tadi pagi mengirimkan pesan padaku," Aya memperlihatkan pesan itu pada Tari.
"Kacau. Kamu bilang lelaki ini CEO? Kelakuannya minus! Dia jadi CEO pasti karena anak yang punya!" Tari geleng geleng kepala.
"Itu juga dugaanku. Tapi, jujur, aku.. Mmm.. Sedikit takut. Apa menurutmu dia akan menyakitiku?" Aya menatap Tari.
"Sudah. Jangan takut, nanti juga berhenti dengan sendirinya," Tari menjawab yang ada di pikirannya.
"Tetap saja. Aku.. Khawatir..." Aya menarik nafas panjang.
***
Gala terus menerus membaca pesan yang dikirimkan Kirani.
Kamu marah?Tapi kenapa di pikiranku ini semua terasa lucu?Kata katamu tidak membuatku tersinggung.Kata katamu tidak memancing emosiku.
Gala lagi lagi tersenyum.
Tiba tiba ada pesan masuk dari papanya.
Sembada : Papa tunggu di rumah. Makan malam.
Gala menarik nafas panjang. Sejak ultimatum menikah, ia tidak ingin dulu ketemu papanya dan menghindar dari bahasan soal Nirmala ataupun Keluarga Harja.
Tapi bagaimana lagi? Permintaan dan ucapan Sembada Birawa adalah harga mati di Keluarga Birawa. Tidak ada negosiasi ataupun diskusi.
Gala berulang kali memainkan pulpen di tangannya dan mengetuk ngetukkannya ke meja.
Ah, bagaimana ini?Kalaupun menikah, rasanya tidak dengan Nirmala.
Ia tidak enak hati.
Apa yang harus aku lakukan?Bagaimana mungkin aku menikah?Apalagi, dengan perempuan yang tidak aku cintai sama sekali...
***
Aya kembali ke butik.
Kania menyambutnya dengan senyuman penuh makna.
"Ada apa?" Aya bertanya tanya.
"Lihat ini! Undangan Indonesian Fashion Day!" Kania tersenyum lebar.
Hesti dan Marini berjingkrakkan. Sekalinya jenama GAYATRI masuk ke Indonesian Fashion Day, artinya peluang mereka untuk semakin dikenal. Mereka akan naik kelas!
"Yes," Aya ikut bahagia. "Kapan acaranya?"
"Satu bulan lagi! Masih ada waktu dan ini bisa jadi momen untuk meluncurkan koleksi terbaru," ujar Hesti.
Aya mengangguk berulang kali. Ia senang, "Iya kalian benar. Ini ajang bergengsi untuk meningkatkan citra jenama kita. Tak hanya itu, target penjualan bisa jadi tercapai dan mungkin lebih."
Hesti mengangguk, "Iya. Ini jadi ajang buat eksis dan pencitraan!"
"Oh ya tempatnya dimana?" Marini melihat undangan tersebut.
Kania membacakannya, "Grand Hotel Birawa."
Aya langsung mengerucutkan bibirnya.
OH NO!
***
Gala diam di mobil dengan perasaan tak menentu. Ia sedang dalam perjalanan dari kantor ke Kediaman Keluarga Birawa.
Sepanjang jalan, ia hanya diam. Dalam hati, ia merasa gundah. Ada rasa gamang yang tak tergambarkan.
Apa yang harus aku lakukan?Kenapa papa mengajakku makan malam?
Ah! Pasti ada sesuatu!
Mobil mulai masuk melewati pagar dan bergerak mendekat ke arah rumah besar dengan cat warna putih tersebut. Gala semakin gundah saja. Perasaannya tidak enak.
Pengemudi mobilnya kemudian menghentikan kendaraan tepat di area pintu masuk rumah. Gala pun turun dan melangkah masuk ke dalam rumah. Ia masuk ke ruang makan.
Sembada Birawa sudah menunggunya. Di sampingnya, ada Puspa Birawa, ibu tirinya.
Ibu kandungnya, Kahiyang Birawa sudah meninggal dunia lima belas tahun lalu. Dan sekitar tujuh tahun lalu, papanya menikah lagi dengan perempuan yang usianya jauh lebih muda darinya. Tapi, Gala tidak peduli.
Ia mengecup pipi papanya dan menyalami Puspa apa adanya. Gala tidak pernah terlalu dekat dengan perempuan itu, jadi kadang hanya bicara seperlunya saja.
Gala duduk di deretan kursi yang berada di sisi kanan papanya.
"Kita makan dulu. Setelah selesai makan, ada yang mau papa bicarakan," Sembada berkata tegas.
Gala tidak ingin membantahnya.
Ya nanti aku dengarkan saja dulu.
Mereka pun makan dalam diam. Setelah selesai, staf rumah tangga membereskan semua peralatan makan hingga meja makan itu kembali bersih.
"Papa mau bicara," Sembada menatap putra satu satunya.
"Ya," Gala dengan serius mendengarkannya.
"Segera umumkan pertunanganmu dengan Nirmala Harja," Sembada menatapnya tajam.
Diam diam, Gala mengepalkan tangannya.