Sean bernapas dengan berat. Pengaruh alkohol di dalam otak membuat hasrat kelaki-lakian bangkit saat melihat sosok molek tertidur di ranjang bersamanya. Apalagi, sudah cukup lama ia tidak melampiaskan apa yang biasa dilakukan setiap hari.
Bibir merah Zefanya terlihat basah dan begitu ranum bagai buah cherry segar baru saja dipetik dari pohon. Ia ingin merasakannya, ingin mengecup dan melumat. Maka, wajah pun didekatkan.
Sedikit demi sedikit makin mengikis jarak di antara dua bibir. Ia memejamkan mata karena hanya tinggal masalah sepersekian detik saja sebelum bersentuhan.
“Kamu kenapa, Hot Stuff?”
Mendadak suara itu merebak di udara dan Sean merasa ada sesuatu yang menyentuh bibirnya. Ia membuka mata, lalu mendengkus kesal.
Zefanya ternyata bangun dan menghalangi bibir mereka dengan jari-jarinya. Dua pasang mata cokelat terang saling memandang satu sama lain.
“Kamu istriku, aku rasa wajar kalau kita bercinta, bukan?” seringai Sean dengan napas memburu.
“Kamu gila?” geleng Zefanya dengan mata mendelik. “Lupa dengan perjanjian sendiri bahwa kita tidak boleh saling jatuh cinta?”
Sean terkekeh, “Bercinta bukan berarti harus jatuh cinta, Mi Amor. Bercinta ... melepas hasrat birahi yang membuncah. Tidakkah kamu ingin merasakan bagaimana jantannya aku di atas ranjang?”
Aroma alkohol menyeruak kasar dalam setiap kalimat yang diucap. Zefanya menghela kesal. “Kamu mabuk, Sean! Aku tidak mau bercinta denganmu!” dorongnya pada wajah tampan.
“Kalau aku tidak mabuk, mau bercinta denganku?” Sean tertawa sendiri.
“Aku tidak mau tidur denganmu malam ini!” dengkus sang wanita muda bangkit dari tidurnya.
Namun, mendadak tangan Sean menarik pergelangan tangan Zefanya hingga rebah kembali di atas ranjang. Lalu, dengan sigap ia menindih tubuh sang istri. “Jangan kabur, Anak Singa yang Nakal! Bad Lion Cub! Selalu saja tidak menurut!”
Zefanya makin mendelik saat tangannya dikunci di atas kepala, dicengkeram oleh genggaman kokoh suaminya. “Sean! Lepaskan aku!” bentaknya marah.
“Akan kulepaskan kalau aku sudah puas! Ayolah, mari kita bercinta, Mi Amor. Aku sudah dua bulan lebih tidak merasakan hangatnya tubuh wanita! Aku menginginkanmu!” desis Sean menciumi leher Zefanya dengan bibirnya yang dikelilingi kumis tipis.
Satu tangan kanan mencengkeran dua tangan Zefanya di atas kepala sang wanita, sementara tangan kiri kembali mengusap paha mulus dan terus ke atas.
Zefanya memberontak kencang, menggeleng hingga berteriak, “Kamu gila! Lepaskan aku! Lepaskan aku!”
Menarik-narik tangan yang di atas kepala, tetapi tak ada gunanya. Tubuh Sean yang besarnya hampir dua kali lipat dari raganya sendiri membuat lelaki itu sangat kokoh mencengkeram kedua pergelangan hingga tak bisa digerakkan.
“Mmhh, bau tubuhmu sungguh menggoda,” kekeh Sean makin terdengar bernafsu dan napasnya memburu.
Usapan di paha kian naik ke atas. Merayap hingga mulai masuk ke dalam celana pendek Zefanya yang longgar, terus naik dan menyentuh pangkal paha.
“Kamu gila! Lepaskan aku, Sean!” teriak Zefanya dengan napas terengah. Meski ia mengira mereka sudah pernah bercinta di hotel, tetapi saat ini dirinya benar-benar tak ingin disentuh oleh sang suami.
Menjejakkan kaki, tetapi juga tidak ada gunanya karena bobot tubuh Sean sukses membuat lututnya tak bisa bergerak bebas. Zefanya memutar otak, ia tidak ingin bercinta tanpa persetujuan darinya seperti sekarang.
“Uhm ... Hot Stuff, aku ... aku suka bercinta dengan ... uhm ... dengan ciuman bibir terlebih dahulu,” ucapnya melembutkan suara. “Bisakah kamu mencium bibirku?”
Sean mendongakkan wajah. Dia yang tadinya sedang menelusuri dad4 Zefanya menggunakan bibir di atas kaos sang wanita kini menyeringai. “Sudah kuduga, kamu tidak tahan juga, ‘kan? Kamu ingin merasakan kejantananku di atas ranjang, bukan?”
Zefanya tersenyum dan mengangguk, “Iya, Sean. Aku ... ah, kamu memang sungguh maskulin! Aku tidak tahan ingin bercinta denganmu! Sekarang, ciumlah bibirku ....”
“As you wish, Mi Amor ....” Sean tersenyum lebar. Sorot matanya semakin membara dengan nafsu birahi kelaki-lakian. Tangan yang sudah hampir menyentuh segitiga mungil sang istri berhenti bergerak.
Ia menyentuh dagu Zefanya, lalu mendekatkan bibirnya. “Selamat menikmati malam denganku,” desis Tuan Besar Lycus bersiap mencium dengan gaya yang teramat panas.
“Hmm, aku tak sabar!” senyum Zefanya mengedipkan mata.
Maka, bibir Sean mulai mendekat seperti tadi, terus mendekat, mendekat ....
“FUUUUUUCK!” teriak pemilik Big Cobra mendadak dengan nada yang mencerminkan sebuah rasa ... sakit.
Reflek, cengkeramannya pada tangan Zefanya terlepas bersamaan dengan tubuhnya yang menggelinding kembali ke atas ranjang, tak lagi menindih sang istri.
Sean memegangi mulutnya. Ada tetes darah mengalir dari sana. “You fuuucking shiit!” makinya dengan cara berbicara yang aneh. “Berani sekali kamu menggigit bibirku! Bangsaaat!"
Zefanya memanfaatkan momen ini untuk melompat turun dan berlari menjauh dari suaminya yang sudah dipengaruhi alkohol. “Maafkan aku, Sean! Tapi, kamu mabuk dan aku tidak mau diperkoosa!” teriaknya mengayun langkah dengan cepat.
“Aku akan tidur di kamar Tristan malam ini! Byeee!”
Sean terengah, tersengal, berkali-kali mengusap bibirnya yang berdarah di bagian tengah. Sama sekali ia tak menyangka permintaan Zefanya untuk dicium hanyalah taktik agar bisa menyerang seperti ini.
Biasanya, bibir Sean berdarah saat ia bertempur dengan musuh. Tidak pernah semasa hidup yang sudah 43 tahun ini mengalami bibir berdarah karena digigit seorang wanita.
“Sialan! Mimpi apa aku memiliki istri seperti dia! Fuucking crazy woman!” engah Tuan Besar Lycus menggeleng sambil melihat telapak tangannya yang masih diwarnai merah sedikit. “Lihat saja, aku akan membuatnya membayar semua ini!”
"KAMU AKAN BERTEKUK LUTUT DI ATAS RANJANGKU, ZEFANYA!"
***
Pagi datang, seperti biasa Zefanya bersiap ke kantor. Kali ini, ia akan berangkat lebih pagi dari kemarin. Tidak mau terlambat lagi karena harus turun di ruko dan berjalan sekitar 15 menit ke kantornya.
Saat sedang berkaca, Sean memasuki walk in closet dan membuat dadanya berdebar kencang. Setelah semalam menggigit bibir mafia terkuat di New York itu, baru sekarang mereka bertemu lagi.
Tatap mata Sean tajam menunjukkan kejengkelan, berjalan dengan tapak yang jelas mengintimidasi. Tubuh gagah kian mendekat, “Lihat apa yang kamu lakukan pada bibirku!” desisnya.
Zefanya tersenyum gugup. Ia melihat bibir suaminya yang sedikit bengkak di bagian tengah, hasil gigitannya semalam. “Uhm ... sorry, tapi ... uhm ... kamu mabuk semalam! Memaksaku untuk bercinta, padahal aku tidak mau! Jadi, aku terpaksa meng—“
“You’re my fuucking wife! Kalau aku mau bercinta denganmu, tugasmu hanya membuka kaki lebar-lebar dan memastikan aku bisa klimaks! Paham!” bentak Sean menggebrak meja kaca yang berisi deretan jam tangan mewah di dalamnya.
Kembali tersenyum serba salah, Zefanya hanya menjawab, “Aku sudah telat ke kantor. Kita bahas masalah ini nanti malam saja, ya? Bye!”
Namun, begitu ia melangkah, lengannya sudah ditarik oleh Sean hingga kini tubuh mereka bertubrukan dan pinggangnya direngkuh ketat tidak bisa bergerak. “Kamu akan menodong kemaluanku lagi, hah?” desis Sean mencengkeram dagu Zefanya.
Ia menyambar tas kerja sang istri dan melemparnya ke atas lantai. Mencegah kejadian kemarin terulang lagi. Jangan sampai ada adegan Big Cobra tertodong Glock 42.
“Kenapa? Kamu mau kutodong lagi?” jawab sang istri menatap kesal. “Kamu yang bilang aku tidak boleh jatuh cinta denganmu! Kamu yang bilang kita urusi saja urusan masing-masing! Lalu, mendadak kamu ingin bercinta denganku saat mabuk? Apa kamu sudah gila!” semburnya.
Zefanya terkekeh ketus, “Urusan birahimu bukanlah urusanku, Hot Stuff! Cari saja wanita lain untuk memuaskanmu! Atau ... minta saja mantan tersayang untuk kembali naik ke ranjangmu!”
Cengkeraman di dagu Zefanya mendadak menjadi semakin keras hingga wanita itu bisa merasa deretan giginya saling beradu. Tenggorokan pun mulai kesulitan untuk menelan liurnya sendiri. “Kkkhhh ... kkkhhh .... S-Sean!”
Senyum kejam Sean terlukis, “Apa yang kubilang kemarin tentang jangan menyebut nama Ghea dengan cara seperti itu, hmm? Kamu tidak pantas untuk menyebutnya!”
Hati Zefanya turut sakit mendengar apa yang baru diucap oleh Sean. Tidak hanya wajah dan rahang yang nyeri, tetapi perasaannya pun ikut tercengkeram dengan kencang. Tak pantas menyebut Ghea? Sedemikian tinggi posisi mantan cantik itu dibanding dengan dirinya?
“Dan satu hal yang harus kita sepakati di sini adalah ... kamu istriku, aku berhak untuk menjamahmu sesukaku, baik dalam keadaan mabuk atau pun sadar! Sekali lagi kamu berbuat kurang ajar padaku, akan kusobek seluruh pakaianmu, lalu kurantai kedua tangan dan kakimu, terakhir ... akan kucambuk seluruh tubuhmu!”
“Percayalah, Mi Amor! Aku sangat menikmati teriakan wanita ketika mereka dicambuk sebelum akhirnya mendesah nikmat saat bercinta denganku! Peluh mereka yang berjatuhan adalah oase bagiku!”
Jemari Sean perlahan melepas cengkeramannya di dagu Zefanya seiring bibir mencumbu garis wajah jelita. “Jangan pikir kamu bisa berbuat seenaknya padaku. Aku mempunyai kesabaran setipis kertas dibagi 10. Ingat itu!”
Begitu wajahnya terlepas dari cengkeraman Sean, bibir Zefanya segera menghirup napas sebanyak mungkin. Mata indahnya menatap dengan bulat sempurna, bersama dengan jantung yang berdebar sangat kencang. Ia terbatuk beberapa kali.
"PAHAM?" bentak Sean sangat kencang.
Tidak berkata apa-apa, Zefanya hanya berjalan menuju tas yang tergeletak di atas lantai. Mengambilnya, lalu menyampirkan di pundak dan melangkah keluar ruangan. Matanya memerah, berkaca-kaca, tenggorokan pun menahan emosi yang sedang mendorong isak.
‘Aku baik-baik saja! Aku baik-baik saja! Dia tidak akan berani berbuat kasar kepadaku di atas ranjang! Dia pasti berpikir tentang hubungan bisnisnya dengan keluargaku, Giovanny. Dia hanya mengancam saja, itu pasti!’ engah Zefanya menguatkan diri sendiri.
Sean menatap raga molek yang berjalan meninggalkannya seorang diri. Dalam hati, ia mendengkus lirih. ‘Aku tahu hidupmu sulit sejak kecil. Bukan maksudku menambah rasa pedih di kisahmu. Tapi, kamu harus belajar mengetahui siapa yang berkuasa di sini, Zefa. Kamu harus belajar untuk menghargaiku.’
‘Dan kamu ... harus belajar untuk menuruti apa yang kuinginkan. Terutama saat aku menginginkan tubuhmu!'
***
Berada di kantor, semua baik-baik saja sejak pagi. Zefanya tidak datang telat seperti kemarin dan ia mulai mengerjakan tugas yang menumpuk karena ditinggal pergi ke Italia selama seminggu. Situasi dirasa nyaman sampai ....
“Zefanya, kamu dipanggil ke ruangan Tuan Fieso,” ucap Serena, sang supervisor.
“Mau apa dia memanggilku?” sahut Nyonya Besar Lycus acuh. “Aku tidak mau datang ke kantornya. Kalau dia butuh aku, biar dia yang datang kemari,” lanjutnya asal bicara.
“Hey, tidak baik berkata begitu. Nanti kalau ada yang mendengarmu, bagaimana? Sopanlah sedikit,” tegur sang pengawas.
Menarik satu napas yang dirasa sangat berat, Zefanya mendongakkan wajah dan tersenyum semanis yang ia bisa, walau berat. “Fine! Aku akan ke ruangannya!”
Serena mengangguk, “Bagus, pertahankan sikap sopanmu itu. Sejauh ini, kerjamu sudah bagus, target-target sales-mu terpenuhi, bahkan di atas target. Tapi, bos selalu menyukai anak buah yang ramah, sopan, dan menurut.”
“Aku akan mengingatnya, Serena. Thank you very much!” Zefanya melangkah pergi dengan tetap mempertahankan senyum kecutnya.
Sampai di depan ruangan Fieso, ia mengetuk sebanyak tiga kali dan masuk setelah dipersilakan. Wajahnya yang tersenyum itu langsung berubah ketus. “Apa maumu memanggilku, Maling?”
Fieso tertawa mendengar bagaimana Zefanya memanggilnya. “Aku yakin kata Maling bukan kata yang tepat untuk memanggilku, Zefa. Ingat, aku adalah manajermu.”
“Hmm, memangnya aku peduli? Cepat, katakan apa maumu! Laporanku yang belum diselesaikan dari proyek terakhir sangat menumpuk!” desis sang wanita.
“Duduklah dulu, aku mau bicara serius denganmu,” ucap Fieso memandang lekat sama seperti pertama bertemu kemarin, dari atas sampai bawah. Berhenti sesaat di bagian paha mantannya yang mulus, baru beralih ke bagian lain.
Dengan malas, Zefanya terpaksa duduk di seberang manajernya. “Sekarang, apa maumu?”
Senyum Fieso nampak melebar sedikit demi sedikit. Bukan senyum ramah, lebih kepada senyum culas dan manipulatif. “Aku memperhatikan angka-angka laporanmu. Aku merasa biaya yang dikeluarkan agak berlebihan dalam setiap proyek entertainment yang kamu lakukan.”
“Aku tak mengerti maksudmu,” tukas Zefanya mengendikkan bahu.
“Apa kamu menggelembungkan angkanya?”
“Apa kamu menuduhku mencuri uang perusahaan, sama seperti kamu mencuri uangku, Fieso?”
Lelaki itu tertegun sesaat dengan mulut masih tersenyum kaku. Sejak dulu memang Zefanya selalu pintar berdebat. Akan tetapi, kali ini ia cukup kesal dengan ucapan sang mantan.
“Aku ingatkan sekali lagi, Zefa. Penggelembungan pengeluaran adalah hal yang serius. Kamu bisa dipenjara kalau terbukti bersalah," ancamnya tetap tersenyum.
Zefanya tertawa santai, “Semua yang aku lakukan valid. Semua pengeluaran ada bukti yang sah. Daripada kamu mengoceh terus dan menggangguku, lebih baik aku bekerja.”
“Aku sudah mengecek bukti-buktinya. Kamu selalu membeli segala sesuatu dengan harga yang di atas pasaran. Boleh tahu kenapa?”
“Aku membeli berdasarakan kualitas. Selama itu masih masuk dalam anggaran, why not?”
“Yakin tidak ada deal di bawah meja dengan suplier?” kekeh Fieso menatap curiga.
“Ffuck you, Fieso! Aku bukan pencuri sepertimu! Permisi, urusanku masih banyak dan kamu membuang waktuku!” Zefanya sudah terlalu muak untuk melanjutkan pembicaraan ini. Ia bangkit dari kursi dan melangkah menuju pintu keluar.
Namun, Fieso kembali memanggilnya. “Aku bisa membuat ini menjadi masalah bagimu, Zefa! Direktur Utama akan mencurigaimu. Kamu akan mengalami kesulitan dalam bekerja!"
“Lakukan apa yang kamu mau!” desis Zefanya tanpa menoleh ke belakang sama sekali. Ia tidak merasa melakukan kesalahan apa pun.
“Tapi, aku juga bisa membuat masalah ini menghilang begitu saja. Semua tergantung apakah kamu bersedia melakukan sesuatu,” utas manajer baru itu sembari menunggu mantannya berhenti melangkah dan membalikkan badan.
Dugaannya tidak salah, Zefanya memang berhenti melangkah dan membalikkan badan. “Apa yang harus aku lakukan?”
Senyum Fieso mengembang, “Kamu semakin cantik, aku ingin mengajakmu makan malam dan mengenang masa lalu. Siapa tahu setelah itu ... kita bisa menghabiskan malam berdua?”