Zefanya memejamkan mata sembari menutup wajah dengan kedua tangan. Ia meratapi nasib di mana harapan satu-satunya yaitu sang adik tiri, telah hilang. Kini ia kekurangan $70.000 dan tidak tahu harus ke mana. Hidupnya dikelilingi lelaki kaya, tetapi tak satu pun nampak bisa memberikan bantuan.
‘Meminjam kepada Ayah tak diberi. Meminjam kepada Paman Massimo, dia juga tak akan berani memberi tanpa seijin ayah. Meminjam pada Hot Stuff, manusia menyebalkan itu pasti akan bertanya ini dan itu. Bertanya kenapa ayah tidak membantu dan lainnya. Di akhir nanti, dia bisa tahu soal Amanda,’ keluh Zefanya merasa kepala berdenyut kencang.
Tak ada pilihan untuk terus bekerja sembari memikirkan bagaimana caranya membayar hutang pada lintah darat. Hingga sore datang dan waktunya untuk pulang kantor, tak ada satu pun yang bisa ia pikir untuk menjadi solusi.
Dengan gontai, kaki mulus dan jenjangnya melangkah ke luar kantor. Berjalan di atas trotoar menuju tempat pemberhentian bus, tiba-tiba langkahnya dihadang oleh tiga orang lelaki tinggi besar.
“Zefanya yang cantik! Mana uang kami, hah?” seringai seorang lelaki dengan bekas luka di wajah. “Katanya kamu hari ini mau membayar?”
Terkejut, napasnya sontak tersendat. Menatap tiga pria yang sedang memandanginya bagai seonggok daging lezat, ia bergidik sendiri. “Aku tidak bisa membayar penuh. Tapi, aku bisa membayar separuhnya,” jawab Zefanya pasrah.
“Hey, Andri! Dia hanya bisa bayar separuh!” tawa salah satu dari mereka menyebut nama sang pemimpin, yaitu Andri Chevenko. Seorang preman kecil-kecilan yang kerjanya memeras dengan bunga teramat tinggi.
Yang bernama Andri terkekeh, “Sudah kukatakan kemarin, biaya keterlambatan dan juga bunga berbunga akan membuat hutangmu semakin menggunung, Cantik. Aku punya penawaran lebih menguntungkan untukmu.”
“Apa?” sahut Zefanya dengan cepat.
Andri tersenyum meshum, “Pulang ke rumahku, lalu tanggalkan seluruh pakaianmu. Kemudian telentang di atas ranjang, buka kakimu dan biarkan aku merasakan kenikmatan tubuhmu yang semampai ini. Wajahmu membuatku tergila-gila!” tawarnya dengan seringai menjijikkan.
Zefanya tertawa sinis, “Maaf, aku tidak ada selera dengan lelaki bajingann macam kamu! Aku akan membayar separuh hutangku sekarang juga! Tunggu, aku transfer uangnya ke rekeningmu!”
Tawa gerombolan lintah darat itu saling bersahutan. “Dia bilang tidak ada selera. Padahal, kalau sudah kamu masuki juga dia akan teriak keenakan!”
“Kalian memuakkan! Membayangkannya saja membuatku ingin muntah!” desis Zefanya sembari menatap layar ponsel, mengirim uangnya ke rekening sang lintah darat. “Sudah! Periksa rekeningmu sekarang, b******k!”
Andri mengambil ponsel dari saku kemudian tersenyum dingin dan manggut-manggut. “Aku beri waktu maksimal tiga bulan lagi dan semuanya harus lunas! Kalau kamu menunggak, pilihannya adalah hilang rumah, atau menjadi b***k pemuas nafsuku, Zefanya yang cantik!”
“Dan aku tidak sabar untuk menjilati seluruh tubuhmu! Kamu pasti akan menjerit nikmat!”
“Cuih!” Zefanya meludah ke atas trotoar. Demi apa pun dia tak akan sudi dijamah oleh para lintah darat.
Kaki kembali melangkah setelah tiga cecunguk itu pergi meninggalkannya. Mendadak, sebuah Ferrari merah menyala mendekati kantor. Ia berhenti berjalan dan menoleh ke belakang.
‘Fieso?’ pekiknya dalam hati.
Bagaimana Zefanya tidak merasa dunia ini sangat tidak adil kepada dirinya, karena di sana seorang wanita cantik nampak turun dari posisi sopir Ferrari tersebut dan menyambut sang mantan dengan sebuah ciuman mesra.
‘b******n penipu itu sekarang pacaran dengan wanita kaya raya? Sial! Kenapa hidupnya selalu mujur sementara aku menderita begini!’ umpatnya dalam hati hingga mengepalkan tangan saking marahnya dengan apa yang dia lihat.
Sampai Fieso masuk ke dalam kendaraan dan berada di balik kemudi, lalu menghilang dari pandangan, barulah Zefanya membalikkan badan, kemudian melangkah dengan gontai. ‘Apa aku tidak ditakdirkan untuk bahagia?’
***
Di sebuah kamar tidur, ada sepasang suami istri sedang berbincang. “Kenapa kamu begitu tidak menyukai Zefanya? Kamu tidak mengenal dia,” ucap Evan tersenyum.
“Aku bukan tidak menyukainya untuk alasan pribadi, aku hanya tidak nyaman dengan keberadaannya. Aku tidak tahu siapa dia, dan apa tujuannya mau dijodohkan dengan Sean.”
“Apa kamu tidak ingat bagaimana dulu Abigail menyiksaku?” tukas Ghea cemberut sembari mengoleskan body lotion di kakinya yang berkulit putih cerah. “Di awal, Abigail bersikap baik seakan menjadi sahabatku. Setelahnya, ternyata dia menjebakku, menjelekkan aku di depan Sean.”
“Bahkan, Abigail juga yang akhirnya membuat aku pergi dari Lycus Mansion. Setelah aku pergi, dia langsung menjadi istri Sean. Wanita kadang bisa sedemikian culas dan licik, Evan.”
Lelaki yang dipercaya menjadi tangan kanan Sean itu tersenyum teduh, “Kalau sekarang Zefanya mau menyerangmu seperti Abigail dulu, untuk apa? Kamu sudah bukan siapa-siapanya Sean lagi.”
“Iya, memang, tapi ... apa kamu lupa ada Reagan? Jika Sean terlalu mempercayainya, kemudian dia ternyata jahat, apakah tidak bahaya? Sean itu terlalu gampang percaya dengan orang!” desis Ghea.
Evan tertawa pelan, “Percayalah, Sean justru tipe orang yang sangat tidak mudah percaya dengan orang. Buktinya dia menjadikan aku tangan kanannya karena dia sangat takut ada pengkhianat yang menggagalkan bisnisnya dengan keluarga Giovanny.”
“Itu juga! Setelah Sean membencimu selama ini, tiba-tiba dia melepas semua dan berdamai denganmu? Itu juga aneh! Aku bertanya apa ini caranya untuk bisa berdekatan denganku? Dia bilang, kalau iya kenapa? Ish! Aku kesal sekali mendengarnya!” gerutu Ghea masih terus mengoleskan pelembab kulit.
“Kamu tahu gaya bicara Sean seperti apa. Dia hanya asal bicara. Dan ... memang dia masih mencintaimu. Tapi, dia tidak akan mengganggu kita. Dia hanya ingin bisa dekat dengan Reagan, Putra Mahkotanya,” ucap Evan mendekati sang istri, kemudian mengecup pundak halus.
Jemari kokoh sang mantan agen CIA memeluk pinggang ramping dari belakang. “Aku tahu kamu trauma dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Sean, serta orang-orang terdekatnya.”
“Tapi, kita tidak ada pilihan lain, Ghea. Kamu tidak mungkin membawa Reagan pergi darinya. Dia akan mengobrak-abrik seluruh dunia jika sampai itu terjadi. Dan hidup kita tidak akan pernah tenang.”
“Sean sudah menurunkan egonya dengan membiarkan kita bersatu. Tidak bisa semuanya kita yang menang. Dia pun juga harus menang, yaitu dengan membesarkan Reagan bersama. Kalau Zefanya yang kamu takutkan, sudahlah ... Sean pasti bisa mengatasinya.”
Ghea menghela panjang dan berat, lalu menutup botol body lotion yang sudah selesai ia pakai. Menatap Evan, mengecup bibir sang suami, dan berucap lirih. “Kamu benar, apa pun yang berhubungan dengan Sean membuatku takut.”
“Bahkan, aku masih takut kamu menjadi tangan kanannya adalah sebuah rencana tersembunyi, entah apa, yang dilakukan untuk membuatku kembali padanya. Saat aku tahu kematianmu hanyalah sebuah kepalsuan, aku berpikir ... entah kepalsuan apa lagi yang sanggup dia perbuat.”
“Tapi, kamu tidak cemburu akan kehadiran Zefanya, ‘kan?” canda Evan, tetapi menatap lekat.
Ghea mengembus kasar dan cemberut, “Kamu yang benar saja! Buat apa aku cemburu? Kalau aku masih ingin bersama Sean, sudah dari kemarin aku naik ke ranjangnya.”
“Aku hanya tidak mau Reagan memanggil Mommy kepada seseorang yang belum kuyakini kebaikannya. Sampai aku yakin Zefanya bukan orang jahat, aku akan tetap menjaga jarak dan berhati-hati dengannya. Aku tidak mau jatuh di lubang yang sama seperti Abigail dulu,” tandas Ghea.
Evan mengangguk, lalu tersenyum sendu. “Ya, sudah. Sekarang, kita matikan lampu dan ... aku merindukan desahanmu,” cium sang lelaki di bibir istrinya sembari tangan meremas lembut buah d4da sintal di balik gaun tidur tipis.
Ghea tertawa pelan, “Apakah kita akan mulai program membuat adik untuk Reagan?”
“Oh, tentu saja! Aku sungguh ingin memiliki anak denganmu, Baby,” angguk Evan mulai menelusuri paha bagian dalam hingga sampai ke segitiga lembut yang hangat.
Tak lama, suara desahan dua anak manusia mulai terdengar di kamar yang mewah tersebut.
***
Sementara itu, di Lycus Mansion, sepasang suami istri juga sedang ada di atas ranjang. Zefanya sudah terlelap di sisi suaminya sementara Sean sendiri masih terus terjaga.
Jam dinding telah menunjukkan pukul 1 dini hari dan dia masih belum bisa tertidur. Otaknya dipenuhi ketegangan akan pengiriman barang pertama yang sangat takut dikacau musuh, dan juga bayangan dari wanita yang tak lagi ia miliki.
“Ffuck it!” erangnya bergumam setengah berbisik. Turun dari ranjang, membuka lemari minuman keras, dan membawa keluar satu botol bertuliskan Whiskey. Ini adalah salah satu minuman kesukaannya.
Duduk di sofa sebelah ranjang, ia mulai menuang minuman keras itu sembari menghisap rokok. Menenggaknya beberapa kali, kemudian menatap ke arah peraduan. Memori bagaimana dulu ia bercinta dengan seorang perawan di kamar ini kembali melintas.
‘Dan sekarang aku tidak bisa memiliki tubuhmu itu lagi, Ghea. But, it’s okay! Kamu memilih Evan ketimbang aku. Mungkin kita tidak berjodoh.’
Menghela panjang dan kasar, dua gelas Whiskey kemudian ia habiskan lagi. Sean hanya ingin bisa segera tidur. Berbagai hal yang mengganggu pikirannya membuat ia kesulitan untuk terlelap.
Setelah sekitar lima gelas lebih ia tenggak, barulah matanya mulai terasa sedikit berat dan mengantuk. “Hmm, akhirnya,” erang sang mafia mulai bangkit berdiri, lalu melangkah dengan gontai menuju ranjang.
Saat kembali rebah di ranjang, bersamaan dengan itu pula Zefanya membalikkan badan hingga kedua wajah mereka kini saling berhadapan. Ia hanya memakai kaos kecil dengan celana pendek.
Sean bisa melihat belahan dad4 yang menyembul dari balik lubang leher kaos press body tersebut. Bahkan, ia bisa melihat bra mungil yang dipakai istrinya, berwarna merah jambu menggemaskan.
Lalu, mata melirik ke bawah di mana celana pendek yang dipakai Zefanya tersingkap hingga ke pangkal paha. Kulit putih, keharuman hangat tubuh sang istri, dan tentunya ... beberapa tetes alkohol yang mempengaruhi pikiran normal sang lelaki.
‘Ah, s**t!’ keluh Sean saat merasa aliran darahnya mengalir lebih cepat. ‘Ffuck! Kenapa aku ingin menjamahnya?’
'Aku ingin melihatnya hanya memakai pakaian dalam seperti di hotel kemarin! Shiit!'
Dada Tuan Besar Lycus bagai dipompa dari dalam. Paras cantik Zefanya sedang terlelap sungguh membangkitkan gairahnya. Bibir merah muda itu begitu menggoda hasrat, terlihat basah ....
‘Dia hampir saja meledakkan Big Cobra tadi pagi. Bukankah dia harus dihukum atas perbuatannya? Hukuman yang sangat jelas yaitu ... membuatku senang!’ erang Sean dalam hati bersama pikiran tak jernihnya. ‘Dia harus dihukum! Ya, aku akan menghukum Lion Cub nakal ini!’
Tangan kekar bergerak maju menuju pipi putih mulus ... semakin lama semakin dekat, ingin membelai, ingin menyentuh kulit wajah jelita.
Dorongan sensual dari dalam batin Sean membuatnya juga mendekatkan wajah tampan. Ia mengarahkan kepada bibir Zefanya ... menutup mata, dan ....